Perilaku Membakar Hutan Tidak Mendukung Pembangunan Bendungan di Nusa Tenggara Timur
Perilaku membakar dan menebang hutan di Nusa Tenggara Timur dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah membangun bendungan dan embung di sejumlah kabupaten/kota di daerah itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Perilaku membakar dan menebang hutan di Nusa Tenggara Timur dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah membangun bendungan dan embung di sejumlah kabupaten/kota di daerah itu. Pembangunan tidak terpadu menyebabkan delapan bendungan dan sekitar 2.000 embung di NTT tidak menyimpan air. Petani pun sulit mengolah lahan.
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Nusa Tenggara Timur (NTT) Mikhael Riwu Kaho di Kupang, Minggu (9/8/2020), mengatakan, saat ini lima dari delapan bendungan dan sekitar 2.000 embung yang sudah dibangun pemerintah di NTT mengalami kekeringan luar biasa. Lima bendungan itu adalah Tilong dan Raknamo di Kabupaten Kupang, Rotiklot di Belu, Napung Gete di Sikka, Temef di antara Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Menurut dia, pada Januari-Mei 2020 kelima bendungan itu menyimpan air hujan 40 persen-70 persen tetapi perlahan-lahan menyusut, sampai Agustus ini menyisakan masing-masing di bawah 1 juta metrik kubik air untuk bendungan. Sementara embung menyimpan air sekitar 100.000 metrik kubik, bercampur lumpur.
Harus dimanfaatkan air itu seefektif dan efisien mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan bendungan. Kalau menunggu sampai penuh, air itu perlahan menguap dan habis selama kemarau berlangsung.
Penyebab tidak terisinya air bendungan dan embung di NTT karena curah hujan terbatas. Aksi pembakaran dan penebangan hutan, terutama di sekitar kawasan bendungan dan embung, tidak mendukung keberadaan bendungan dan embung, memperburuk kekeringan di sekitar bendungan dan embung. Semestinya, kawasan hutan di sekitar bendungan dan embung dijaga, dirawat, dan ditanami kembali pohon-pohon untuk menghasilkan air.
Dosen Kehutanan Universitas Nusa Cendana Kupang ini mengatakan, sebelum bendungan dan embung dibangun, terlebih dahulu dilakukan penghijauan di sekitar kawasan bendungan dan embung itu, dengan melibatkan masyarakat lokal. Masyarakat dibagi per kelompok, menjaga dan merawat pohon-pohon yang ditanami itu.
Kelompok masyarakat yang sukses menata kawasan hutan sekitar bendungan dan embung diberi penghargaan yang sifatnya sebagai pemicu semangat menciptakan lingkungan yang hijau. Ini tanggung jawab dinas kehutanan.
Menjadikan pupuk
Sementara itu, Dinas Pertanian dan Peternakan NTT dilibatkan menjaga kawasan hutan sekitar dengan mengubah pola olah lahan, dari sistem membakar dengan menebas, mengumpulkan, kemudian menjadikan pupuk. Musim kemarau seperti sekarang, kegiatan membakar lahan sangat berpotensi terjadi kebakaran yang meluas, sulit dihentikan kecuali api memasuki hamparan batu karang.
Mikhael menilai, selama ini pembangunan bendungan dan embung-embung di NTT tidak dilakukan secara terpadu dengan sektor lain. Masing-masing sektor bekerja sendiri, tanpa koordinasi satu sama lain. Masing-masing sektor belum berkolaborasi mendukung pembangunan yang ada.
Musim hujan di NTT menghasilkan sekitar 16 miliar metrik kubik (m3) air hujan, 5 miliar metrik kubik di antaranya dimanfaatkan untuk pertanian, penambungan bendungan, dan embung. Sebanyak 11 miliar meter kubik lain dibuang ke laut. Sebab, sebagian besar pulau di NTT, seperti Timor, Sumba, Rote, dan Sabu, tidak memiliki hutan dan kontur tanah pun berupa tanah kapur sehingga begitu hujan turun, air langsung mengalir melalui DAS kemudian menuju laut.
Ia menilai, mestinya begitu air hujan tertampung di bendungan atau embung, segera mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan terbatas masyarakat sekitar bendungan. Jangan menunggu air hujan tertampung sampai meluber di permukaan bendungan karena saat ini curah hujan sangat terbatas.
”Harus dimanfaatkan air itu seefektif dan efisien mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan bendungan. Kalau menunggu sampai penuh, air itu perlahan menguap dan habis selama kemarau berlangsung. Tentu ada teknik khusus, bagaimana air bendungan yang terbatas itu dimanfaatkan sehingga tidak sampai dasar bendungan itu menjadi kering,” katanya.
Direktur Yayasan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) NTT Umbu Wulang mengatakan, aksi pembakaran hutan jauh lebih masif dibandingkan upaya pemerintah daerah melakukan penghijauan di seluruh kawasan hutan di provinsi ini, terutama sekitar bendungan dan embung yang dibangun.
”Saatnya Pemprov NTT dan pemkab/pemkot di provinsi ini melakukan gerakan massal menanam pohon. Minimal di setiap pekarangan rumah. Satu kepala keluarga menanam tiga pohon kemudian merambat ke penghijauan di luar kawasan permukiman penduduk, terutama di sumber-sumber mata air, bendungan, dan embung,” ujar Wulang.
Direktur Lingkar Insani NTT Maria Toge mengatakan, dalam penelitian di 17 kabupaten/kota di NTT dalam dua bulan terakhir, terjadi kekeringan luar biasa di sejumlah wilayah. Lahan pertanian warga sama sekali tidak bisa ditanami, termasuk kawasan sawah tadah hujan yang selama ini dimanfaatkan petani untuk jenis tanaman hortikultura.
Para petani mengaku air sumur bor pun sudah kering sejak Februari 2020 sehingga tidak dapat disedot lagi. Dengan demikian, petani tidak bisa menanam sama sekali, kecuali petani yang memiliki sumur bor dengan kedalaman lebih dari 17 meter. Itu pun debit air hanya cukup untuk tanaman usia 30-60 hari, panen.
Ketua Kelompok Tani ”Senang Bersama”, Oesao, Kabupaten Kupang, Fritz Lengko mengatakan, saat ini petani sedang memasuki puncak kemarau, Agustus-November. Pada masa ini semua petani di NTT kesulitan menanam. Ini rutinitas hidup yang dilalui petani.
Saatnya Pemprov NTT dan pemerintah daerah melakukan gerakan massal menanam pohon, minimal di setiap pekarangan rumah. Satu kepala keluarga menanam tiga pohon kemudian merambat ke penghijauan di luar kawasan pemukiman penduduk, terutama di sumber mata air, bendungan, dan embung.
”Kelompok tani Senang Bersama beranggotakan 25 orang, hanya dua petani yang memiliki sumur bor berkedalaman lebih dari 17 meter. Mereka masih bisa tanam sawi, tomat, kol, kacang panjang, dan jagung. Areal yang mereka tanami masing-masing 5 are dan 10 are. Anggota lain tidak bisa menanam sama sekali,” kata Lengko.
Beberapa anggota Kelompok Tani ”Senang Bersama” menjual kayu bakar, menjual daging buah asam, memelihara ternak sapi dengan sistem paronisasi, dan kerja serabutan. ”Ini memang rutinitas tahunan petani Oesao, mungkin juga seluruh petani di NTT,” kata Lengko.