Pembukaan pusat perbelanjaan atau mal sejak masa transisi menuju adaptasi kebiasaan baru di sejumlah daerah belum signifikan pulihkan bisnis ritel. Evaluasi kebijakan pemerintah dan inovasi peritel dibutuhkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan pusat perbelanjaan atau mal sejak masa transisi menuju adaptasi kebiasaan baru di sejumlah daerah belum signifikan memulihkan bisnis ritel. Evaluasi kebijakan pemerintah dan inovasi peritel pun dibutuhkan untuk menggairahkan aktivitas ekonomi di pusat perbelanjaan modern tersebut.
Beberapa pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang biasa menyewa tempat di mal mengakui belum merasakan pemulihan usaha dari pembukaan mal. Lika, pemilik usaha pakaian gaya hidup Cantik, saat dihubungi, Jumat (7/8/2020), mengaku belum kembali ke mal.
”Sejak pandemi, saya enggak pernah ikut bazar di mal. Sejak masuk normal baru juga belum ada tawaran untuk mengisi mal. Ajakan baru datang dari perkantoran saja,” kata pengusaha yang berbasis di Tangerang, Banten, itu kepada Kompas.
Dengan belum aktifnya aktivitas usaha di mal, ia pun masih mengandalkan usaha sampingan yang telah digelutinya selama pembatasan sosial. Ia berjualan roti dan kue secara daring agar tetap mendapat penghasilan.
Sementara itu, Neneng, pengusaha pakaian anak dengan nama Arsylla Kids, sudah kembali berjualan di salah satu mal, di Tangerang, sejak awal Agustus 2020. Belakangan ini, ia juga mendapat tawaran dari penyelenggara acara (event organizer) untuk mengisi bazar di beberapa pusat perbelanjaan hingga bazar luar ruangan.
Meski demikian, ia mengaku masih memilah bazar pusat perbelanjaan yang ingin diikuti. Selain karena kekhawatiran pada penyebaran penyakit Covid-19, ia juga merasakan daya beli dan minat masyarakat untuk berbelanja di mal masih belum meningkat. Belum dibukanya beberapa fasilitas mal, seperti tempat bermain anak, juga mengurangi kunjungan konsumen ke mal.
”Di bazar mal yang ada saja pembelinya sedikit. Sekali beli mereka juga hanya mampu beli sedikit, yang biasanya bisa Rp 400.000-Rp 500.000 sekali transaksi, kini cuma Rp 100.000. Pakaian yang nilainya segitu biasanya cuma untuk kado saja. Kalau untuk beli pakaian baru masih sedikit,” tuturnya.
Saat ini, omzet hariannya masih berkisar Rp 2 juta per hari atau kurang dari setengah rerata omzet di masa sebelum pandemi yang mencapai Rp 5 juta per hari. Nilai omzet tersebut, menurut dia, hanya cukup untuk membayar sewa dan pegawai, tidak cukup untuk memupuk modal.
Ketua Umum Dewan Perwakilan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, kebijakan masa transisi di sejumlah daerah mulai Juni belum diikuti jumlah kunjungan mal yang normal. Saat ini persentase pengunjung mal baru 30-35 persen kapasitas normal atau tidak sampai 50 persen, sesuai aturan pembatasan kunjungan.
Tidak hanya itu, dari total pengunjung yang datang, ia mengatakan, baru 10-15 persen pengunjung yang berbelanja. Minat belanja pengunjung masih berkisar pada kebutuhan pokok, sedangkan kemampuan membeli barang yang tidak direncanakan hilang.
”Dalam kondisi normal, 40-50 persen dari total transaksi belanja di pusat perbelanjaan itu karena impulse buying (pembelian tidak terencana). Impulse buying hilang, nilai transaksi pun rendah,” katanya yang dihubungi secara terpisah.
Agar aktivitas pelaku usaha dan masyarakat sebagai konsumen ritel kembali normal di masa adaptasi kebiasaan baru, Roy berharap pemerintah daerah di tempat pusat perbelanjaan mendukung pemulihan aktivitas ekonomi dan perlindungan kesehatan secara paralel.
”Pelaku industri ritel semua sudah melakukan protokol kesehatan, mulai dari di mal sampai di toko ritel. Kemudian, kita minta pemerintah mendukung kegiatan ritel dengan memperpanjang waktu operasional,” katanya.
Perpanjangan waktu operasional mal, menurut dia, penting. Dengan terbatasnya waktu buka mal, justru memicu masalah baru.
”Kalau mal cepat tutup, peritel makanan yang butuh sayur mayur rugi karena enggak bisa simpan barang lebih lama. Ada juga yang harus mengurangi tenaga kerja atau seperti mal di Papua atau Manado yang malah terjadi penumpukan pengunjung yang hanya bisa datang sepulang kerja,” lanjutnya.
Inovasi
Selain mengharapkan evaluasi dari pemerintah, Roy juga menyarankan peritel melakukan inovasi pemasaran untuk menarik pengunjung agar dapat berbelanja dengan aman. Berbagai inovasi pun diupayakan pengelola mal.
Mal Senayan City, di Jakarta Pusat, misalnya, menggunakan teknologi terbaru pada sarana dan prasarana mal untuk mempermudah penerapan protokol kesehatan, seperti mesin pengecekan suhu otomatis dan alat otomatis berisi cairan pembersih tangan.
Public Relations Senayan City Leonardo menjelaskan, sejak dibuka lagi pada pertengahan Juni lalu, 90 persen tenant di mal ini sudah buka (Kompas, 7/8/2020). Namun, di mal ini, jumlah pengunjung masih 25-30 persen kapasitas pada hari kerja dan 35 persen pada akhir pekan.
”Dengan kondisi itu, Senayan City secara aktif melakukan berbagai terobosan kegiatan,” katanya.
Terobosan itu, di antaranya program drive thru dan Senayan City Live Shopping. Pelanggan dapat menghubungi toko terkait untuk berbelanja, menikmati promo yang diberikan khusus selama live streaming berlangsung, pembayaran elektronik tertuju ke toko terkait, dan pengambilan barang dilakukan dengan sistem drive thru di titik penjemputan di lobi selatan.
Terobosan lain dihadirkan Mal Kota Kasablanka di Jakarta Selatan. Pusat perbelanjaan ini mengolaborasikan tenant dan perusahaan e-dagang, yaitu Lazada. ”Kami membuat halaman khusus di Lazada. Jadi, begitu buka aplikasi, semua barang yang dijual di Mal Kota Kasablanka akan terlihat di Lazada,” kata Promotion Manager Kota Kasablanka Agung Gunawan.
Dengan pembatasan kapasitas yang masih dijalankan, Mal Kota Kasablanka menerapkan sejumlah aturan untuk memberikan keuntungan kepada tenant. Kebijakan itu, antara lain, pengurangan harga sewa, diskon sewa, dan pengurangan biaya perawatan gedung.
”Ini merupakan tantangan yang harus dihadapi. Kami harus bisa menciptakan ide dan kreativitas, juga kerja sama yang baik untuk melewati situasi ini,” katanya.
Strategi tersebut tentunya diharapkan bisa berimplikasi pada naiknya daya beli dan penjualan ritel. Dalam proyeksi pertumbuhan penjualan eceran Juni 2020 dalam Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (BI) Mei 2020, kinerja penjualan eceran diindikasi sedikit mengalami perbaikan meskipun masih dalam fase kontraksi.
”Seluruh kelompok menunjukkan perbaikan kinerja penjualan meskipun masih tetap dalam fase kontraksi,” tulis BI dalam laporannya.
Kontraksi penjualan terdalam masih terjadi pada sub =kelompok sandang sebesar minus 74 persen secara tahunan pada Juni 2020. Sementara penjualan kelompok makanan, minuman dan tembakau tercatat minus 3,2 persen relatif lebih baik jika dibandingkan dengan penjualan kelompok komoditas lainnya.