Tren permintaan konsumen terhadap energi terbarukan menunjukkan peningkatan. Kondisi ini berpotensi dijadikan sebagai modal pemulihan ekonomi dan rencana pembangunan ekonomi ke depan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 secara global berdampak menurunkan permintaan terhadap energi, tetapi tren permintaan konsumen terhadap energi terbarukan menunjukkan peningkatan. Kondisi ini berpotensi dijadikan sebagai modal pemulihan ekonomi dan rencana pembangunan ekonomi ke depan.
Data IEA Global Energy Review 2020 menunjukkan, permintaan energi secara global pada kuartal I-2020 turun hingga 3,8 persen. Penurunan permintaan energi terjadi di sektor batubara (8 persen), gas (5 persen), dan minyak (9 persen). Namun, permintaan energi terbarukan meningkat 0,8 persen.
Begitu pun permintaan energi di Indonesia yang menurun akibat pandemi Covid-19. Konsumsi listrik pada April 2020 sebesar 19,39 terra watt hour (TWh), turun 1,67 persen dibandingkan April 2019. Realisasi konsumsi bahan bakar minyak solar pada Maret 2020 sebesar 1,32 juta kiloliter, turun 3 persen dibandingkan Maret 2019.
Pada sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia baru 2,15 persen. Padahal, potensi energi terbarukan Indonesia sebesar 442 gigawatt (GW) atau 6,5 kali kapasitas pembangkitan saat ini.
Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kementerian ESDM Saleh Abdurrahman menilai, keadaan ini menunjukkan peluang usaha di sektor energi terbarukan sangat menjanjikan. Terlebih, energi merupakan kebutuhan dasar manusia yang dapat turut memulihkan ekonomi.
”Pengembangan energi terbarukan merupakan program prioritas dalam mendukung ketahanan energi dan memperkuat ekonomi daerah. Ini juga menjadi peluang untuk memperluas peran dan kontribusi sektor energi terbarukan dari hulu hingga ke hilir,” kata Saleh, Kamis (6/8/2020).
Guna mewujudkan target energi baru terbarukan hingga 23 persen dari total energi yang dihasilkan pada 2025, kata Saleh, perlu penguatan kerja sama antara pemerintah, industri, pengembang usaha rintisan, dengan perguruan tinggi. Kerja sama ini bertujuan untuk menemukan ide-ide terbaru yang dapat mengoptimalisasi pemanfaatan energi terbarukan.
Paparan ini dibahas dalam webinar yang diadakan Shell Indonesia dan Institut Teknologi Bandung bertajuk ”Wirausaha Muda sebagai Agen Perubahan di Industri Energi Indonesia”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Direktur Utama Medco Power Indonesia Eka Satria; Direktur Utama PT Xurya Daya Indonesia Eka Himawan; dan Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Tri Mumpuni.
Eka Satria menyampaikan, optimalisasi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia memang masih menemukan tantangan. Salah satunya pemikiran untuk mencari energi dengan biaya rendah, tetapi tidak memikirkan dampak emisi ke depan yang sebenarnya berujung pada biaya tinggi.
”Untuk itu, dibutuhkan dukungan pemerintah yang kuat untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan. Penting juga adanya permintaan dari masyarakat yang sadar untuk menggunakan energi bersih sehingga pada akhirnya kita mendapat energi yang ramah lingkungan,” ujar Eka.
Senada dengan itu, sebagai pelaku usaha, Eka Himawan mengatakan, potensi energi terbarukan yang besar di Indonesia belum sejalan dengan pemanfaatannya. Ini menjadi tantangan untuk mengedukasi publik dan mendorong pemerintah agar dapat mengakselerasi penggunaan energi terbarukan.
Saat ini, PT Xurya Daya Indonesia, usaha rintisan di bidang energi terbarukan, telah memfasilitasi lebih dari 30 proyek pemanfaatan energi solar dengan total kapasitas 12 megawatt peak (MWp). Adapun proyek lain yang sedang dikerjakan dengan total kapasitas mencapai 70 MWp.
”Saya melihat belum banyak kompetitor yang terjun di sektor energi terbarukan. Tentunya keadaan ini juga dapat dimanfaatkan oleh generasi muda untuk membangun usaha di bidang energi terbarukan,” ujar Eka.
Pembangunan manusia
Tri Mumpuni menyampaikan, sektor energi terbarukan memang menjadi peluang usaha yang menjanjikan bagi generasi muda. Bukan hanya untuk memperoleh keuntungan secara finansial, melainkan memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa.
Dalam memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, kata Tri, hal pertama perlu dibangun adalah manusia sebelum membangun infrastruktur. Mulai dari mengenalkan energi terbarukan, apa manfaatnya bagi kehidupan sosial dan ekonomi, hingga akhirnya masyarakat mau terjun langsung untuk menggunakannya.
”Misalnya masyarakat di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sekarang mereka sudah punya pusat kegiatan ekonomi koperasi, di mana listrik bisa mengeringkan kacang mete sehingga ada nilai tambah bagi produk mereka. Ini yang harus dibangun,” kata Tri.
Secara persentase, menurut Tri, pembangunan manusia harus dilakukan 70 persen, sementara pembangunan infrastruktur cukup 30 persen. Sebab, apabila tidak ada partisipasi masyarakat, pemanfaatan energi terbarukan tidak akan berlanjut.