Membangkitkan daya beli dibutuhkan untuk mencegah Indonesia mengalami resesi. Rasa aman dan percaya masyarakat diciptakan agar aktivitas ekonomi bergulir.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi rumah tangga pada Agustus-September menjadi kunci untuk mencegah Indonesia masuk ke dalam resesi. Daya beli dapat dibangkitkan dengan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terkait dengan penanganan Covid-19.
Pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia tumbuh minus 5,32 persen secara tahunan. Angka pertumbuhan ini anjlok dari triwulan I-2020, yakni 2,97 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II terkontraksi karena semua pengeluaran dalam struktur produk domestik bruto (PDB) tumbuh negatif. Konsumsi rumah tangga yang pada triwulan II-2020 berperan 57,85 persen terhadap PDB tumbuh minus 5,51 persen secara tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kontraksi pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 ini lebih dalam dari prediksi pemerintah. ”Indonesia belum mengalami resesi karena ini kontraksi pertumbuhan ekonomi pertama kali,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Rabu (5/8/2020).
Resesi terjadi jika pertumbuhan ekonomi secara tahunan negatif atau minus dalam dua triwulan berturut-turut. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 minus, Indonesia masuk ke jurang resesi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terakhir kali ekonomi Indonesia tumbuh negatif pada triwulan I-1999, yakni minus 6,13 persen. Pada Maret 2020, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia.
Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko menyampaikan, melihat triwulan II-2020, kondisi perekonomian Indonesia cukup berat. Daya beli masyarakat, yang tecermin dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga, anjlok. ”Penurunan daya beli harus diganjal dengan alokasi proporsi perlindungan sosial yang besar. Intinya, jangan sampai daya beli turun semakin tajam,” katanya.
Jika konsumsi rumah tangga tak diperbaiki, kinerja ekonomi akan mandek, bahkan bisa terkontraksi semakin dalam. Bantuan sosial juga dapat mencegah angka kemiskinan dan pengangguran melonjak.
Meski demikian, Prasetyantoko optimistis pemulihan ekonomi Indonesia akan berlangsung relatif lebih cepat karena keterkaitan Indonesia dengan perdagangan internasional dan investasi asing rendah.
Berbalik positif
Sri Mulyani menegaskan, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 diupayakan berbalik menjadi positif. Strateginya ialah menerbitkan stimulus baru untuk menjaga konsumsi rumah tangga miskin dan membantu dunia usaha.
Stimulus yang akan diluncurkan pada semester II-2020 adalah tambahan bansos untuk penerima Program Keluarga Harapan berupa 15 kilogram beras, bantuan tunai Rp 500.000 untuk penerima Kartu Sembako, bansos produktif Rp 2,4 juta untuk 12 juta UMKM, dan bantuan tunai Rp 500.000 untuk 13 pekerja dengan upah di bawah Rp 5 juta per bulan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan, BI mempercepat digitalisasi sistem pembayaran untuk penyaluran bansos, elektronifikasi transaksi pemerintah daerah, serta implementasi ekonomi dan keuangan digital.
Penanganan Covid-19
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan, optimisme dunia usaha terkait pemulihan ekonomi dipengaruhi upaya pemerintah menangani Covid-19. Jumlah kasus baru Covid-19 mesti dapat ditekan untuk menciptakan kepercayaan masyarakat, yang akan memengaruhi daya beli dan geliat dunia usaha.
Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede mengakui, untuk mendorong masyarakat kelas menengah meningkatkan konsumsi, penanganan Covid-19 mesti lebih maksimal. Di tengah pandemi Covid-19, masyarakat kelas menengah lebih memilih menabung daripada membelanjakan uang mereka. ”Ada keraguan dan motif berhati-hati yang membuat masyarakat enggan berbelanja,” katanya.
Data uang beredar yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, dana pihak ketiga di bank per Juni 2020 tumbuh 7,6 persen secara tahunan. Khusus tabungan perorangan tumbuh 8,5 persen secara tahunan.
”Program utama semester II adalah Indonesia aman dan sehat, membangkitkan kepercayaan konsumen masyarakat dan dunia usaha dengan mengurangi pesimisme akibat Covid-19. Caranya, kita harus memastikan belanja kesehatan lebih cepat lagi,” katanya.
Bank Dunia, dalam laporannya, ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” yang dirilis pada Januari 2020, menyebutkan, ada sekitar 52 juta orang kelas menengah di Indonesia. Pengeluaran rata-rata kelompok ini Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per bulan setiap orang (Kompas, 31/1/2020).
Vika Anggraeni (25), karyawan di Jakarta, menyebutkan, pengeluarannya pada April-Juni 2020 meningkat 0,02 persen ketimbang Januari-Maret 2020. Sebab, ia berbelanja berbagai produk guna memenuhi protokol kesehatan dan mendukung kegiatan bekerja dari rumah. Namun, alokasi pendapatannya untuk dana darurat dan tabungan tidak berubah. ”Sampai akhir tahun ini, saya masih merasa kondisi keuangan pribadi saya aman. Akan tetapi, jika pandemi masih berlanjut hingga 2021, saya khawatir dengan kondisi finansial saya,” ujarnya.
Sebagaimana disampaikan Kepala BPS Suhariyanto, pemerintah harus berupaya ekstra agar konsumsi rumah tangga dan investasi bergerak positif pada triwulan III-2020. Kedua komponen itu menentukan pertumbuhan ekonomi triwulan selanjutnya.
BPS mengatakan, ekonomi di triwulan III terlihat ada peningkatan.
Rilis pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 sudah diantisipasi pelaku pasar. Pada perdagangan Rabu, Indeks Harga Saham Gabungan ditutup menguat 1,026 persen ke 5.127,051.
Menurut analis PT Jasa Utama Kapital, Chris Apriliony, pelaku pasar dalam negeri sudah mengantisipasi data perekonomian. ”Sentimen positif lain, BPS mengatakan, ekonomi di triwulan III terlihat ada peningkatan,” ujarnya.(KRN/AGE/DIM/JUD)