Pandemi Covid-19 membuat kematian seolah datang lebih awal bagi peternak unggas skala kecil. Penurunan harga jual terus berulang dan makin intens beberapa tahun terakhir. Mereka ”bertarung” di medan yang timpang.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Dalam situasi normal, napas peternak unggas rakyat sebenarnya sudah tersengal-sengal. Jatuh bangun di medan perang yang timpang dan tekanan bertubi-tubi yang memaksa mereka rugi berkali-kali. Pandemi Covid-19 membuat waktu kematian seolah datang lebih awal.
Anjloknya permintaan sejak pandemi datang membuat peternak skala kecil kelimpungan. Pembatasan pergerakan di sejumlah wilayah seiring dengan meluasnya kasus Covid-19 di Indonesia menekan harga ayam ras di tingkat peternak hingga jauh di bawah ongkos produksinya. Dengan modal cekak, mereka semakin terdesak.
Di Jawa Barat, salah satu sentra produksi ayam pedaging nasional, harga ayam di tingkat peternak anjlok hingga Rp 6.000-Rp 8.000 per kilogram (kg) pada pertengahan April 2020, jauh di bawah ongkos produksinya yang Rp 18.000 per kg. Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional menyebutkan, dari sekitar 12.000 peternak di Ciamis, Jawa Barat, 70 persennya tidak lagi mengoperasikan kandang secara optimal.
Tiga bulan kemudian, situasi belum membaik. Segenap faktor membuat harga ayam di tingkat peternak rentan anjlok. Terutama akibat kelebihan suplai dan kontrol produksi yang tak jalan dan membuat pasar jenuh. Pada akhir Juli 2020, giliran Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) ”menggeruduk” Kementerian Pertanian untuk mengeluhkan anjloknya harga ayam hidup.
Menurut PPRN, harga jual ayam hidup di tingkat peternak berkisar Rp 14.000-Rp 15.000 per kg akhir Juli 2020. Padahal, harga acuan pembelian di tingkat petani sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 ditetapkan Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. Selain faktor permintaan, anjloknya harga jual ayam hidup di peternak mengindikasikan pasar kelebihan pasokan.
Entah butuh berapa unjuk rasa lagi untuk menyuarakan problem itu. Yang jelas, jumlah hari rugi terus bertambah dan makin intens beberapa tahun terakhir. Para peternak juga berulang menggelar parlemen jalanan, mendatangi kementerian/lembaga pemerintah, atau membagi-bagikan ayam secara gratis. Namun, segenap bentuk protes itu belum memutus rantai persoalan.
Industri perunggasan memang diliputi ketidakadilan. Betapa tidak, peternak kecil dengan segenap keterbatasannya mesti berhadapan dengan perusahaan modern terintegrasi dan bertarung di pasar yang sama. Oleh karena kalah efisien, hasilnya mudah ditebak, peternak rakyat bakal kalah telak. Pilihannya serba tidak enak, bertahan rugi atau mati.
Jumlah peternak unggas mandiri, yakni peternak yang tidak terikat perusahaan unggas, terus menurun. Data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) dalam Voluntary Poultry Report (Wright dan Darmawan, 2017), jumlah peternak mandiri terus berkurang dari sekitar 100.000 peternak pada tahun 2008 menjadi 6.000 peternak tahun 2016. Pangsa pasarnya pun turun dari 70 persen menjadi 18 persen selama kurun waktu tersebut.
Kini makin jelas, problem fluktuasi harga jual tidak bisa diselesaikan dengan pemotongan produksi semata. Jalan pintas ini tidak berkelanjutan. Problem struktural mesti diselesaikan dengan merombak kebijakan perunggasan. Biar lebih adil bagi peternak kecil.