Hadapi Pandemi, Industri Alas Kaki Perkuat Jaringan Antarpebisnis
Pandemi Covid-19 berdampak anjloknya kinerja industri alas kaki nasional. Selain kolaborasi dan memperkuat jaringan antarpebisnis, menggelorakan cinta produk lokal diyakini mampu memulihkan usaha dan ciptakan peluang.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
HUMAS UK PETRA
Rektor Universitas Kristen Petra Djwantoro Hardjito serta Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih (kanan) saat pelaksanaan Indonesian Footwear Creative Competition, Selasa (19/3/2019), di Kampus Siwalankerto, Surabaya, Jawa Timur.
SIDOARJO, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya kinerja industri alas kaki nasional. Selain kolaborasi dan memperkuat jaringan antarpebisnis, menggelorakan gerakan cinta produk lokal juga diyakini mampu memulihkan kinerja industri alas kaki, sekaligus menciptakan peluang pasar baru.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih dalam acara Soft Lounching dan Talkshow Indonesia Footwear Network di Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) di Sidoarjo mengatakan, kinerja industri alas kaki nasional selama masa pandemi turun drastis hingga 70 persen.
”Adapun total produksi alas kaki tahun lalu mencapai 1,271 miliar pasang dan menjadikan Indonesia sebagai produsen alas kaki terbesar keempat di dunia. Ada 300 industri alas kaki berskala besar dan sedang. Selain itu ada 18.000 Industri Kecil Menengah (IKM) yang tersebar di sentra-sentra produksi,” ujar Gati Wibawaningsih.
IFN akan mengolah data seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam industri alas kaki, menampilkannya dalam platform daring yang mudah diakses, mempromosikan usaha untuk memperluas pasar, dan membangun kolaborasi untuk meningkatkan daya saing.
Penurunan kinerja industri alas kaki akibat dampak pandemi Covid-19 tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh dunia. Data World Footwear Business Condition Survey selama Januari-April menunjukkan, penurunan kinerja penjualan global mencapai 74 persen. Pada industri kecil dan menengah, penurunannya bahkan sampai 90 persen.
Ada banyak faktor penyebab turunnya kinerja industri alas kaki nasional. Selain daya beli masyarakat yang menurun, bahan baku yang tersedia juga sangat terbatas. Kondisi itu diperparah dengan terjadinya gangguan di lini distribusi. Gangguan distribusi bahkan mencapai 80 persen karena jaringan ritel dan penjualan alas kaki tutup sebagai dampak penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS
Kepala Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia Kementerian Perindustrian Heru Budi Susanto di Tangerang, Banten, Selasa (3/4/2018).
Gati menambahkan, meski kinerja industri alas kaki nasional turun, kinerja ekspornya justru naik. Selama Januari-Juni, nilai ekspor alas kaki tercatat 2,81 miliar dollar AS atau meningkat 9,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 2,56 miliar dollar AS. Ekspor total alas kaki nasional tahun lalu mencapai 406 juta pasang atau senilai 5,12 miliar dollar AS. Indonesia merupakan eksportir produk alas kaki terbesar ketiga di dunia.
Ekspor meningkat
Meningkatnya kinerja pasar ekspor ini memunculkan peluang bagi pelaku industri alas kaki nasional untuk memulihkan kembali usahanya di masa pandemi. Pasar ekspor didominasi oleh produk-produk dari merek-merek global sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi pengusaha dengan merek lokal.
”Dengan kondisi bisnis yang tidak mudah ini di masa pandemi ini, industri alas kaki dituntut berinovasi. Salah satunya dengan berkolaborasi dan membangun jaringan antarpebisnis untuk mendapatkan peluang kerja sama dan meningkatkan citra diri,” ujar Gati.
Dalam upaya membangun jaringan antarpebisnis, BPIPI Kemendag menginisiasi pembentukan Indonesia Footwear Network (IFN), sebuah gerakan komunitas industri alas kaki dari hulu hingga hilir. IFN berperan mengumpulkan data pelaku usaha yang terlibat dalam industri alas kaki mulai dari produsen bahan baku, supplier bahan penolong, hingga sumber material. Selama pandemi, bahan baku sulit diperoleh.
”IFN akan mengolah data seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam industri alas kaki, menampilkannya dalam platform daring yang mudah diakses, mempromosikan usaha untuk memperluas pasar, dan membangun kolaborasi untuk meningkatkan daya saing,” ujar Kepala BPIPI Heru Budi Susanto.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS
Contoh sepatu Royal Kraton Pride yang mengikuti lomba desain sepatu Indonesian Footwear Creative Competition 2017 oleh Naomia Maharani di Tangerang, Banten, Selasa (3/4/2018). Desain tersebut terinsipirasi dari baju Keraton Jawa dengan aksen sulur bunga berwarna keemasan.
Tidak mudah
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko mengatakan, pihaknya optimis kinerja ekspor masih bagus meski ada pandemi Covid-19. Dia memprediksi terjadi penurunan tidak lebih dari 10 persen. Salah satu alasannya produk yang diekspor itu merupakan pesanan sebelum masa pandemi.
”Permasalahannya, tidak mudah menembus pasar ekspor terutama bagi IKM karena banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Mereka perlu bimbingan dan juga kolaborasi dengan industri besar, serta membangun jaringan,” ujar Eddy.
Aprisindo sebenarnya sudah membangun kolaborasi antara industri yang memiliki pasar ekspor dan IKM. Bahkan, sudah ada 300-an IKM yang ikut program. Konsepnya sederhana seperti program inti plasma atau program anak binaan. Industri besar memberikan pola barang yang akan diproduksi, material bahan baku, dan melatih sumber daya manusia yang memproduksi.
Sementara itu, menjawab keluhan tentang krisis bahan baku di masa pandemi, Ketua Umum Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia Budi Purwoko mengatakan, kondisi industri kulit sangat terpukul. Ada dua jenis kulit, yakni kulit besar seperti kulit sapi untuk sepatu, tas, jok, dan kerajinan. Selain itu, ada kulit kecil, seperti kulit kambing untuk garmen, sarung tangan, dan tatakan sepatu.
Utilisasi kulit besar per bulan mencapai 116.000 lembar sedangkan kulit kecil mencapai 1 juta lembar per bulan. Selama pandemi, produksi kulit sapi berhenti total dan sekarang mulai bergeliat lagi. Dampaknya semua tenaga kerja dirumahkan. Sementara produksi kulit kecil masih berjalan tapi minim.
”Pelaku industri kulit berharap pelaku usaha alas kaki bisa kembali berproduksi dan mengambil bahan baku kulit. Pada saat yang sama, berharap pemerintah membuat regulasi yang mendorong kebangkitan pengusaha lokal,” kata Budi Purwoko.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS
Contoh sepatu yang mengikuti lomba desain sepatu Indonesian Footwear Creative Competition 2017 oleh Yodi Aldy Dharmawan di Tangerang, Selasa (3/4/2018). Sepatu bernama Tigris itu merupakan sepatu olahraga untuk lari yang terinspirasi dari Panthera tigris Sumatrae atau harimau sumatera.
Budi Purwoko mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada produk lokal. Misalnya mewajibkan TNI dan aparatur sipil negara membeli dan memakai sepatu lokal untuk memberdayakan pelaku IKM alas kaki. Mengimbau masyarakat untuk menggunakan produk lokal dan memperkecil konsumsi produk impor.
Permasalahannya, tidak mudah menembus pasar ekspor terutama bagi IKM karena banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Mereka perlu bimbingan dan juga kolaborasi dengan industri besar, serta membangun jaringan.
Menjawab hal itu, Gati Wibawaningsih mengatakan, pihaknya sependapat untuk mendorong gerakan nasional bangga Indonesia atau gerakan cinta produk lokal. Menurut dia, banyak produk lokal berkualitas bagus dan tidak kalah dengan produk impor. Apabila berhasil, gerakan ini bisa mengatasi masalah penurunan daya beli akibat pandemi.
”Tantangannya, meningkatkan kecintaan masyarakat terutama generasi milenial pada produk lokal,” ujarnya.