Perwali Surabaya 33/2020 Kembali Diminta untuk Direvisi
Ratusan pekerja mendesak pencabutan Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya.
Oleh
IQBAL BASYARI/ AMBROSIUS HARTO
·6 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 300 orang yang menyatakan diri sebagai pekerja tempat hiburan berdemonstrasi di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/8/2020). Mereka mendesak pencabutan Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya.
Pengunjuk rasa menilai, peraturan yang ditandatangani Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada Senin (13/7) itu merugikan buruh termasuk pekerja tempat hiburan. Regulasi juga dipandang tidak efektif untuk mencegah penularan wabah Covid-19 (coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) yang mewabah di Jatim sejak Maret 2020 dan hingga kini masih berstatus pandemi global.
Mudah-mudahan bisa segera direvisi karena penggunaan tes cepat tidak bisa dipakai untuk memastikan seseorang tertular atau tidak. (Windhu Purnomo)
Demonstrasi yang juga diikuti oleh kalangan pekerja seni budaya itu seirama dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Sejak Risma menandatangani peraturan 33/2020 itu, kalangan masyarakat, antara lain, buruh dan akademisi khususnya epidemiolog segera meminta perbaikan bahkan pencabutan.
Dalam aksi Senin itu, salah satu tuntutan ialah pencabutan pembatasan aktivitas masyarakat pada malam hari. Pasal 25 menyatakan adanya pembatasan aktivitas di luar rumah mulai pukul 22.00 WIB. Pembatasan dikecualikan untuk kegiatan pemenuhan kesehatan, pasar, transportasi, stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU), jasa pengiriman, dan minimarket atau swalayan yang terintegrasi dengan bangunan fasilitas masyarakat, antara lain rumah susun sederhana sewa.
”Penyebaran Covid-19 bisa terjadi kapan saja, tidak mengenal siang atau malam,” kata seorang demonstran, Anita.
Sudah sekitar lima bulan, Pemerintah Kota Surabaya melarang operasional tempat hiburan, antara lain panti pijat, karaoke, pub, diskotek, spa, bioskop, taman hiburan, dan gedung pertunjukan. Kebijakan ini diambil dengan dalih melindungai masyarakat dari ancaman penularan Covid-19. Namun, di sisi lain, mata pencaharian pekerja sektor hiburan dan pariwisata mati.
”Kami siap untuk menerapkan protokol kesehatan agar tempat hiburan tidak menjadi tempat penularan,” ujar Anita.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, meski ada larangan operasional, beberapa tempat hiburan ada yang buka. Yang melanggar terpaksa terkena razia dan dijatuhi sanksi menutup operasional. Menurut Irvan, sejak peraturan itu berlaku, aparatur telah merazia dan memaksa menutup operasional 43 tempat hiburan.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, menilai, sejumlah aturan dalam regulasi dimaksud tidak tepat. Salah satunya terkait klausul wajib menunjukkan hasil pemeriksaan tes cepat dengan hasil nonreaktif atau tes usap dengan hasil negatif bagi pekerja luar kawasan aglomerasi Surabaya yang berlaku 14 hari.
Aturan ini dinilai tidak tepat karena Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO dan Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan tes cepat untuk mendiagnosis orang yang terinfeksi Covid-19. Masa berlaku tes cepat selama 14 hari tidak tepat karena tidak ada kepastian bahwa dalam 14 hari usai tes, seseorang tidak tertular virus korona jenis baru.
Pada rekomendasi WHO, tes cepat hanya digunakan untuk skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, penguatan pelacakan kontak seperti di lembaga pemasyarakatan, panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan pada kelompok-kelompok rentan, serta untuk tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain.
”Mudah-mudahan bisa segera direvisi karena penggunaan tes cepat tidak bisa dipakai untuk memastikan seseorang tertular atau tidak,” kata Windhu.
Selain itu, lanjut Windhu, ada kelemahan dalam penegakan hukum peraturan dengan komitmen pemeriksaan di 17 lokasi perbatasan Surabaya dengan Sidoarjo, Gresik, dan Bangkalan. Dalam kenyataannya, komitmen untuk mengadakan pemeriksaan di perbatasan tidak direalisasikan oleh aparatur Pemerintah Kota Surabaya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai Peraturan 33/2020 itu cacat hukum. Pemberlakuan sanksi tidak sah. Seluruh peraturan dari kepala daerah yang memuat sanksi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah direvisi menjadi UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam regulasi ini disebutkan perundang-undangan yang dapat memuat sanksi hanya UU atau peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) dan peraturan daerah.
”Pada hakikatnya, pemberlakuan sanksi adalah pengurangan hak masyarakat sehingga harus diatur dalam ketentuan yang melibatkan masyarakat dalam hal ini legislatif (DPR atau DPRD),” ujar Koordinator Posko Pengaduan Covid-19 LBH Surabaya Jauhar Kurniawan.
Dinas Pendidikan Surabaya pada Senin menggelar simulasi Proses Belajar Mengajar (PBM) di dua sekolah, yakni SMPN 3 dan SMPN 15. Rencananya, tahap awal, uji coba PBM dilakukan di 21 SMP, baik swasta maupun negeri yang mewakili 5 wilayah sebagai percontohan.
Simulasi di dua SMPN tersebut diperankan oleh karyawan serta para guru. Kepala Bidang Sekolah Menengah Dispendik Kota Surabaya Sudarminto mengatakan, sebelum PBM di sekolah diputuskan, masing-masing sekolah yang ditunjuk sebagai percontohan wajib menyerahkan standar operasional prosedur (SOP) protokol kesehatan. Selanjutnya, tim dari dispendik melakukan monitoring kesiapan di lapangan dan dilanjutkan dengan simulasi protokol kesehatan.
”Simulasi itu memberikan gambaran ketika anak (peserta didik) mulai masuk ke sekolah, proses pembelajaran di sekolah, hingga pulang ke rumah,” kata Sudarminto.
Gambaran simulasi protokol kesehatan di sekolah, pertama, sebelum masuk gerbang sekolah peserta didik wajib dicek suhu tubuhnya menggunakan thermo gun. Kemudian, mereka diarahkan petugas untuk cuci tangan dengan sabun dan masuk antrean ke bilik disinfektan.
Simulasi itu memberikan gambaran ketika anak (peserta didik) mulai masuk ke sekolah, proses pembelajaran di sekolah hingga pulang ke rumah. (Sudarminto)
”Sebelum anak-anak mengikuti pelajaran, yang dilakukan guru adalah mengingatkan protokol kesehatan terlebih dahulu baru dilakukan pembelajaran,” katanya.
Menurut dia, SOP protokol kesehatan tak hanya diterapkan saat peserta didik mengikuti PBM di kelas. SOP juga telah dirancang ketika peserta didik ingin ke toilet atau melakukan aktivitas lain. ”Bahkan ketika mereka pulang sekolah,” ujarnya.
Selain itu, Sudarminto menyebut, ketika PBM di sekolah itu berjalan, jumlah peserta didik setiap kelas beserta jam pelajaran dikurangi. Terlebih lagi, pihaknya juga mengimbau pihak sekolah agar mengutamakan mata pelajaran yang dinilai esensial.
”Tidak harus seluruh mata pelajaran, dan jam pelajaran tidak harus 45 menit, bisa 25 menit. Kemudian yang masuk (peserta didik) tidak perlu 100 persen, mungkin 25 persen atau 50 persen tergantung kesiapan sarana prasarana sekolah,” katanya.
Di sisi lain, menurut dia, pihak sekolah juga wajib memberlakukan protokol ketat bagi warga yang masuk ke lingkungan sekolah. Tak hanya bagi peserta didik, guru ataupun karyawan yang memiliki penyakit penyerta dilarang masuk ke sekolah. Hal ini semata-mata untuk mengantisipasi terjadinya kasus Covid-19 di lingkungan sekolah.
Nanti siswa dengan penyakit bawaan tidak pelru masuk sekolah, termasuk orangtuanya juga tidak mengizinkan. Jadi banyak faktor, termasuk guru harus sehat, sekolah harus menjalankan protokol kesehatan secara sempurna. Hasil simulasi hari ini akan ditindaklanjuti oleh tim ahli beserta Gugus Tugas Kota Surabaya. ”Semuanya menunggu hasil rapat evaluasi bersama tim ahli, komite sekolah, dinas pendidikan, serta gugus tugas,” paparnya.
Kepala SMPN 15 Surabaya Shahibur Rachman menyampaikan, pihaknya bersama 20 sekolah lain ditunjuk sebagai percontohan terkait kesiapan PBM di sekolah. Termasuk kesiapan sarana prasarana, SOP protokol kesehatan, hingga sumber daya manusia (SDM). Pihaknya akan menerapkan mekanisme kuota peserta didik 25 persen. Artinya, peserta didik kelas 7, 8 dan 9 masuk, tetapi jumlah kuotanya masing-masing 25 persen.