Pemerintah Kembali Ubah Kebijakan Sektor Hulu Migas
Peraturan yang mudah berubah menimbulkan ketidakpastian bagi iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia. Apalagi, pukulan pandemi Covid-19 di Indonesia telah menyebabkan investasi secara umum lesu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kembali mengubah kebijakan bagi hasil hulu minyak dan gas bumi atau migas. Lewat peraturan terbaru, kontraktor kontrak kerja sama migas dibebaskan memilih apakah akan menggunakan skema bagi hasil dengan pemulihan biaya operasi atau skema bagi hasil berdasarkan produksi bruto. Kebijakan yang berubah-ubah ini tak bagus bagi investasi di Indonesia.
Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2020. Inti perubahan skema bagi hasil diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan, penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama dapat menggunakan bentuk kontrak bagi hasil gross split, bagi hasil dengan skema biaya operasi yang bisa dipulihkan (cost recovery), atau kontrak kerja sama lainnya.
Regulasi baru yang ditandatangani Menteri ESDM Arifin Tasrif tersebut di atas adalah hasil perubahan ketiga dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Peraturan Menteri ESDM Nomor 8/2017 diteken Ignasius Jonan saat menjabat sebagai Menteri ESDM. Artinya, dalam kurun tiga tahun ada perubahan signifikan di sektor hulu migas di Indonesia.
Ide gross split (bagi hasil berdasar produksi bruto) diusung oleh Arcandra Tahar yang menjabat sebagai Wakil Menteri ESDM 2016-2019. Skema bagi hasil ini diwajibkan terhadap wilayah kerja migas hasil terminasi (wilayah kerja yang kontraknya tak diperpanjang dan dilelang ulang). Adapun untuk wilayah kerja migas hasil perpanjangan, kontraktor dibebaskan memilih, apakah tetap menggunakan skema bagi hasil cost recovery atau beralih ke gross split.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Minggu (2/8/2020), menilai, berubah-ubahnya kebijakan tersebut kian mempertegas bahwa iklim investasi hulu migas di Indonesia penuh ketidakpastian. Lantaran kerap ada perubahan kebijakan, setiap kebijakan yang baru bakal direspons hati-hati oleh investor. Investor seolah sudah hafal bahwa kebijakan baru belum tentu kebijakan final dan berpotensi berubah lagi.
”Akibatnya, investor akan memilih wait and see (menunggu dan melihat) sebelum berinvestasi. Jangan-jangan, perubahan kebijakan yang baru bakal berubah lagi dalam waktu dekat,” ujar Komaidi saat dihubungi di Jakarta.
Namun, kebijakan pemerintah di atas disambut baik oleh Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA). Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengemukakan, fleksibilitas skema bagi hasil migas tersebut menjadi kabar baik bagi investor. Kebijakan pemerintah tersebut dipandang dapat membantu keekonomian sebuah proyek hulu migas menjadi lebih baik.
”Kami menyambut positif kebijakan ini. Sebab, sebuah proyek itu tak bisa disamakan. Ada yang cocok suatu sistem kontrak dan proyek lainnya mungkin akan lebih cocok dengan sistem kontrak yang berbeda,” katanya.
Investasi lesu
Pandemi Covid-19 menyebabkan permintaan energi, seperti minyak mentah dan gas bumi, berkurang drastis. Dengan pasokan di pasar dunia melimpah, harga minyak mentah merosot atau yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Setelah sempat menyentuh di bawah level 20 dollar AS per barel pada April 2020, saat ini harga minyak ada di kisaran 40 dollar AS per barel, masih lebih rendah daripada harga awal tahun, yaitu 65 dollar AS per barel.
Hingga semester I-2020, realisasi investasi hulu migas Indonesia sebesar 4,74 miliar dollar AS atau masih jauh di bawah target tahun ini yang sebesar 13,8 miliar dollar AS.
Merosotnya harga minyak tersebut berdampak pada lesunya kegiatan hulu migas dunia, termasuk di Indonesia. Hingga semester I-2020, realisasi investasi hulu migas Indonesia sebesar 4,74 miliar dollar AS atau masih jauh di bawah target tahun ini yang sebesar 13,8 miliar dollar AS. Tahun lalu, realisasi investasi hulu migas di Indonesia mencapai 12,5 miliar dollar AS.
”Apabila harga minyak sampai akhir tahun ini diperkirakan ada di level 38 dollar AS per barel, proyeksi realisasi investasi hulu migas Indonesia sampai akhir tahun ini sekitar 19,91 miliar dollar AS,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, dalam diskusi publik tentang program legislasi nasional sektor energi dan pertambangan di Jakarta, mengemuka bahwa salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia adalah aturan yang mudah sekali berubah dan tak ramah investasi. Aturan yang mudah berubah menimbulkan ketidakpastian hukum. Aturan itu termasuk proses revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sampai saat ini berlarut-larut.