Pandemi Covid-19 menyadarkan kita soal pentingnya data yang akurat. Pemutakhiran semestinya tak hanya saat bencana, tetapi berkelanjutan sehingga ada data akurat sebagai dasar bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Penyaluran anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk percepatan pemulihan ekonomi sektor kelautan dan perikanan yang terdampak pandemi Covid-19 bergulir. Bantuan diberikan mulai April 2020 hingga akhir tahun 2020. Bantuan meliputi 23 jenis program bagi nelayan, pembudidaya, dan petambak garam.
Program bantuan itu, antara lain, berupa bahan pokok, produk ikan olahan, alat kesehatan, sarana dan prasarana produksi, penyaluran kredit, serta pendidikan dan pelatihan. Meski demikian, bantuan itu belum sepenuhnya menyentuh nelayan, pembudidaya, dan petambak garam yang membutuhkan di sejumlah daerah.
Selain bantuan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mengusulkan tambahan anggaran untuk stimulus sebagai insentif bagi pelaku usaha perikanan. Di sektor perikanan tangkap, misalnya, stimulus diusulkan untuk bantuan perbekalan melaut dan alat tangkap ikan, lemari pendingin, serta bantuan sepeda motor roda tiga untuk pengangkutan ikan dari pelabuhan.
Akan tetapi, penyaluran bantuan sosial saat ini belum sepenuhnya tepat sasaran. Survei yang dilakukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) terhadap 2.068 pelaku usaha perikanan di Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh pada 15 Mei-19 Juni 2020 menunjukkan, kondisi nelayan kian terimpit akibat pandemi Covid-19. Sekitar 1.000 responden mengalami penurunan pendapatan. Namun, 51 persen responden atau lebih dari 1.000 responden tidak menerima bantuan sosial.
KKP merilis, penyaluran beberapa program bantuan telah selesai, di antaranya Bakti Nelayan periode April-Juni 2020 senilai Rp 9,67 miliar, pendanaan 269 nelayan dan akad kredit 74 debitor senilai Rp 9,519 miliar, pembagian 13.707 paket sembako untuk nelayan dan non-nelayan, serta pembagian 36.732 paket nasi ikan.
Di sisi lain, penyaluran beberapa paket stimulus lain masih belum optimal. Di sektor perikanan budidaya, paket bantuan bibit rumput laut bulan Mei-Desember 2020 yang total dialokasikan 200 ton senilai Rp 6,95 miliar baru tersalur 41 ton atau Rp 950 juta (13 persen). Stimulus perlindungan usaha pembudidaya kecil berupa asuransi senilai Rp 3,5 miliar untuk total lahan budidaya 5.000 hektar juga baru terealisasi Rp 93,98 juta atau 2,6 persen.
Rangkaian stimulus diperlukan untuk mempercepat kebangkitan usaha kelautan dan perikanan, khususnya skala mikro, kecil, dan menengah yang paling terdampak. Saat ini tercatat 4,13 juta pelaku usaha kelautan dan perikanan yang meliputi nelayan, pembudidaya, pelaku usaha pengolahan dan pemasaran, serta petambak garam. Mayoritas pelaku tergolong usaha tradisional, mikro, dan kecil. Sebagian besar pelaku usaha juga belum mengakses pembiayaan, baik komersial maupun kredit, dari program pemerintah.
Skema bantuan sosial dari pemerintah saat ini mengandalkan basis data Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka). Persoalannya, masih banyak pelaku usaha perikanan skala kecil yang belum terdaftar dan memiliki Kusuka. Baru 1,07 juta atau 25,8 persen dari pelaku usaha perikanan yang telah mengakses Kusuka. Akibatnya, banyak pelaku usaha tidak menerima manfaat kebijakan hingga program stimulus pemerintah.
Di tengah dorongan penyaluran stimulus, pekerjaan rumah besar yang mendesak diselesaikan adalah pembenahan pendataan. Data yang belum akurat memicu bantuan sosial menjadi tidak tepat sasaran. Pembenahan tidak sebatas pada data penerima bantuan sosial terkait pandemi Covid-19, tetapi juga dalam skala yang lebih luas, meliputi registrasi pelaku usaha untuk memperoleh Kusuka.
Di sektor perikanan tangkap, misalnya, Kusuka menjadi basis bagi nelayan untuk bisa memperoleh bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Faktanya, penyaluran BBM bersubsidi tersebut masih minim menyentuh nelayan kecil karena nelayan belum terdaftar program Kusuka.
Persoalan pandemi Covid-19 menyadarkan kita soal pentingnya pendataan secara akurat. Harapannya, prioritas pemutakhiran data tidak hanya berlangsung saat kondisi bencana, tetapi merupakan program berkelanjutan yang menjadi landasan pemerintah untuk merumuskan kebijakan dan program tepat peruntukan. Masalah data yang berujung program tidak tepat sasaran semoga tidak terus menjadi lagu lama.