Pandemi tidak melulu berisi cerita tentang sakit, kisah sendu tentang ekonomi yang terpuruk dan lesu. Bagi sebagian orang, kondisi ini justru melecutkan semangat untuk berkreasi, merangkai cerita baru dalam hidup.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Pandemi tidak melulu berisi cerita tentang sakit, kisah sendu tentang ekonomi yang terpuruk dan lesu. Bagi sebagian orang, kondisi ini justru melecutkan semangat untuk berkreasi, merangkai cerita baru dalam hidup.
Kreator baru itu antara lain F Tuti Cudara (45), warga Gelangan, Kota Magelang, Jawa Tengah. Ketika banyak orang berupaya meningkatkan daya tahan tubuh di tengah pandemi Covid-19, dia tergerak untuk membuat racikan baru: rempah-rempah bahan jamu campur jus jambu dan sirsak.
Dia mulai meracik ”ramuan” baru itu Maret 2020. Pertama kali sejak berprofesi sebagai pembuat dan penjual jamu keliling 15 tahun lalu. ”Kalau tidak ada pandemi, saya mungkin tidak punya ide seperti ini,” ujarnya.
Dengan inovasi itu, Tuti berharap lebih banyak konsumennya menerima jamu, termasuk remaja dan anak-anak yang khawatir dengan rasa pahit jamu. Tak sekadar kesegaran dan manfaat buah, dia ingin konsumennya tetap merasakan khasiat ramuan yang diberi label ”jamu kekinian” itu.
Tak sekadar berinovasi membuat racikan baru, seruan pemerintah ke masyarakat untuk menjaga jarak fisik dan membatasi pergerakan membuat dia tidak bisa leluasa berjualan keliling. Oleh karena itu, Tuti kini mempromosikan jamu produksinya melalui akun putrinya, Deacrista Candra Kusuma (19), di Instagram. Kini dia keluar untuk mengantar jamu pesanan yang kini dikemas dalam gelas bersegel.
Promosi lewat media sosial membuat permintaan jamu meningkat dengan pembeli yang semakin tersebar hingga ke luar Kota Magelang. Dengan tambahan variasi dan perubahan metode pemasaran itu, omzet usaha Tuti jauh meningkat dibandingkan sebelumnya.
Fitnasih (29), warga Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, juga berkreasi dengan rempah. Sempat terpuruk karena pekerjaannya sebagai pemandu wisata tidak lagi menghasilkan akibat nihil kunjungan wisatawan, sejak April lalu dia beralih usaha memproduksi wedang, minuman tradisional berbahan rempah-rempah.
Hanya dengan modal Rp 100.000 yang dipakai untuk belanja aneka rempah, seperti kapulaga, cengkeh, jahe, dan kunyit, Fitnasih mewujudkan tiga jenis wedang atau minuman tradisional dalam bentuk kemasan, yaitu wedang uwuh, wedang secang, dan wedang rempah. Setiap kemasan berisi irisan rempah kering dan gula batu yang siap seduh.
Pada tahap awal, dia bisa membuat 100 kemasan. Dengan mengunggah foto produk di status Whatsapp dan Facebook, wedang buatannya direspons baik oleh teman-teman dan relasi yang dia kenal dari usaha wisata. Tak disangka, dalam dua pekan, permintaan meningkat pesat. ”Dalam tiga minggu pertama, saya sudah memproduksi dan menjual 7.000 bungkus wedang kemasan,” ujarnya.
Semangat berbagi
Badai pandemi Covid-19 memang menghantam berbagai sektor ekonomi, baik besar maupun kecil. Termasuk ratusan pelaku usaha penyablonan di Kampung Wisata Sablon Muararajeun, Kota Bandung, Jawa Barat. Penghasilan hingga belasan juta rupiah per bulan hilang.
Namun, di tengah situasi sulit itu, Asep Gunawan (49) menolak frustrasi. Tumpukan kaleng cat sablon tak terpakai menginspirasinya membuat lukisan. Dia tidak melukis dengan kuas, tetapi menggunakan spuit plastik, mirip cara membubuhkan krim pada kue.
Tak kurang 25 lukisan dengan ukuran mulai dari 40 cm x 60 cm hingga 1 m x 1,5 m dipajang di dinding rumahnya. Termasuk, di antaranya, lukisan ilmuwan Albert Einstein dan grup band The Beatles yang memakai masker, penanda lukisan dibuat di masa pandemi Covid-19.
Tiga bulan terakhir, Asep gencar mengunggah lukisan-lukisan itu di akun media sosial. Sejumlah orang tertarik membeli, tetapi tak semua lukisan terjual. Namun, Asep tidak kecewa dan justru melihat peluang. Dia membagi kemampuan melukis dengan teknik itu kepada rekan-rekannya.
Ketua Kampung Wisata Sablon Muararajeun, Wahyu Sudarto, mengapresiasi kreativitas Asep dan berencana menggelar pelatihan untuk mempelajari teknik itu. Menurut Wahyu, tak kurang dari 50 rumah tangga usaha sablon di Muararajeun terdampak Covid-19. Empat bulan terakhir, mereka bertahan dengan uang tabungan dan beralih ke usaha lain, seperti menjual bahan pokok dan membuat masker.
Arry Setiawan (59) juga tidak mau menyerah. Dia menggambar suasana perdesaan di atas kertas A3 yang bakal menjadi latar salah satu video animasi yang diunggah Tumaritis Reborn. Tumaritis Reborn adalah akun video animasi buatan Moch Iqbal (43), pegiat komik asal Bandung, beserta belasan temannya. Selain ilustrator, ikut direkrut pula pengisi suara hingga penulis cerita. Ada 14 orang yang terlibat. Hampir semuanya minim pengalaman dan usaha sebelumnya terdampak Covid-19.
Menurut Arry, pandemi menghancurkan mata pencariannya sebagai pelukis kanvas di Jalan Braga, Bandung. Tak ada wisatawan yang datang berarti tiada rupiah yang bisa ia kantongi. Saat Iqbal mengajaknya bergabung membuat latar animasi, ia cepat mengiyakan meski harus belajar hal baru. Meski memiliki kemampuan dasar, dia mendapatkan pengetahuan baru terkait rumus sudut pandang dalam menggambar latar belakang animasi.
Iqbal menuturkan, Tumaritis Reborn bukan sekadar kegiatan iseng mengisi waktu. Ada mimpi ikut meramaikan dunia animasi Indonesia meski modal terbatas. Oleh karena itu, dia terus memperkenalkannya.
Tak hanya karya baru, inovasi bisnis juga dilakukan sejumlah pengusaha kuliner di Bandung. M Nurul Hudha (44), pemilik Warung Kopi Imah Babaturan, misalnya, menyiasati situasi dengan kreativitas. Dia membangun kepercayaan konsumen dengan mengutamakan higienitas makanan melalui penjualan secara daring. Pengojek daring yang mengantar pesanan pun diberi masker dan cairan penyanitasi.
Dia juga memberikan koran secara gratis kepada pelanggan di akhir pekan. Menurut dia, kepercayaan pengunjung juga dibangun lewat bekal literasi yang tepat. (TATANG MULYANA SINAGA/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA)