Segmen usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki daya juang dan cukup lentur dalam berusaha, termasuk dalam menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun, tak semuanya menang. Ada juga UMKM yang kalah.
Oleh
DEWI INDRIASTUTI
·3 menit baca
”Kami akan tutup untuk seterusnya,” tulis Andika, melalui pesan singkat, Selasa (28/7/2020) siang.
Isi pesan singkat itu bukan kabar yang menyenangkan. Apalagi, disampaikan di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan perekonomian dunia dan banyak negara, termasuk Indonesia.
Andika dan beberapa rekannya bergabung menjalankan usaha kafe kopi dan makanan di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Meskipun masih terbatas, usaha yang termasuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu sudah memiliki karyawan dan aset. Namun, langkah yang masih tertatih-tatih itu harus berhenti karena tak sanggup lagi menahan pukulan pandemi Covid-19.
UMKM itu sudah berusaha menjembatani hubungan dengan konsumen melalui media sosial dan bergabung dengan penyedia layanan penjualan dalam jaringan. Namun, bendera putih tanda menyerah terpaksa dikibarkan.
Lain lagi cerita Fitria di Yogyakarta. Ia mesti menggunakan segala cara untuk menjual ratusan produk kerajinan berbasis kain lurik di tengah kondisi perekonomian yang merosot akibat pandemi Covid-19. Semula, bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam perkumpulan, Fitria bersiap menjadi peserta pameran kerajinan dan produk ekonomi kreatif di Jakarta. Namun, pandemi Covid-19 membuyarkan rencana itu. Ratusan produk tak jadi dibawa ke pameran, yang direncanakan berlangsung pada April 2020, yang batal karena pandemi. Produk itu pun ditawarkan ke konsumen melalui media sosial dan secara dalam jaringan.
Banyak cara dilakukan pelaku UMKM untuk bertahan menghadapi terpaan badai ekonomi akibat pandemi Covid-19, antara lain menggunakan platform dalam jaringan dan beralih produk. Cara-cara itu dilakukan agar mereka bisa menjaga perputaran roda produksi. Hasilnya tak hanya untuk pemilik usaha, tetapi juga untuk karyawan yang selama ini ikut berjibaku membantu kegiatan produksi tetap berjalan.
Selama pandemi, belum dapat diketahui secara pasti, berapa banyak UMKM yang bertahan, berapa banyak yang menghentikan kegiatan usaha, dan berapa banyak yang berhenti sesaat sambil menunggu kondisi ekonomi membaik.
Banyak cara dilakukan pelaku UMKM untuk bertahan menghadapi terpaan badai ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang UMKM, usaha mikro adalah usaha yang memiliki aset maksimal Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Adapun omzet maksimal usaha mikro Rp 300 juta dalam setahun.
Kondisi ekonomi yang merosot membuat usaha mikro rentan ambruk. Oleh karena itu, pelaku usaha mikro perlu didampingi, diajak bicara, bahkan jika memungkinkan diberi ide agar usaha mereka tetap bisa berjalan dan bertahan di tengah badai pandemi.
Mengutip cerita direktur utama sebuah bank yang sebagian besar debitornya dari kelompok usaha mikro dan di bawah mikro, umumnya pelaku usaha di segmen ini tangguh. Mereka memiliki daya juang yang tinggi dan lebih lentur dalam berusaha sehingga lebih mudah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi terkini. Bankir itu mengisahkan, pelaku usaha mikro yang semula menerima pesanan menjahit baju mengubah usahanya menjadi memproduksi masker nonmedis. Dengan cara yang lentur itu, usaha yang memiliki satu karyawan tersebut tetap berjalan di tengah situasi ekonomi yang tak menentu.
Mereka memiliki daya juang yang tinggi dan lebih lentur dalam berusaha.
Daya juang segmen UMKM memang tak terbantahkan meskipun, pada akhirnya, ada yang menang dan ada yang kalah.