Hilirisasi Mineral Perlu Dukungan Industri Manufaktur
Hilirisasi di Indonesia itu sebatas mineral mentah dicuci, diolah, dan dimurnikan, tapi kemudian diekspor. Baiklah itu sudah memenuhi kategori hilirisasi. Sayangnya, itu belum masuk kategori industrialisasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri lewat program hilirisasi memerlukan dukungan sektor industri manufaktur. Sayangnya, industri manufaktur yang mengolah hasil tambang di Indonesia masih lemah. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dianggap kurang kuat mendukung program hilirisasi di dalam negeri.
Hal ini mengemuka dalam seminar daring ”Kebijakan Pengelolaan Industri Pertambangan dan Pengolahan-Pemurnian Indonesia”, Rabu (29/7/2020). Sebagai narasumber adalah ekonom senior Faisal Basri, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif, Dewan Penasihat Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rachman Wiriosudarmo, dan Ketua Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia Ryad Chairil.
Kewajiban hilirisasi diatur dalam UU Nomor 3/2020 yang merupakan hasil revisi UU Nomor 4/2009. Dalam Pasal 103 disebutkan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian mineral hasil penambangan di dalam negeri. Namun, hilirisasi batubara tidak diwajibkan.
Menurut Faisal, program peningkatan nilai tambah mineral harus disertai dengan penguatan industri di dalam negeri. Makna hilirisasi di Indonesia yang ada sejauh ini belum sepenuhnya mencapai cita-cita hilirisasi itu sendiri. Hasil hilirisasi mineral di Indonesia belum berupa barang atau produk akhir.
”Hilirisasi di Indonesia itu hanya sebatas mineral mentah dicuci, diolah, dan dimurnikan, tapi kemudian diekspor. Baiklah itu sudah memenuhi kategori hilirisasi. Sayangnya, itu belum masuk kategori industrialisasi,” kata Faisal.
Hilirisasi di Indonesia itu hanya sebatas mineral mentah dicuci, diolah, dan dimurnikan, tapi kemudian diekspor. Baiklah itu sudah memenuhi kategori hilirisasi. Sayangnya, itu belum masuk kategori industrialisasi.
Seharusnya, lanjut Faisal, produk hilirisasi harus menjadi bahan baku industri yang ada di dalam negeri. Pola pikir hilirisasi mineral harus diperkuat menjadi industrialisasi di dalam negeri. Lantaran hasil hilirisasi diekspor, itu sama saja Indonesia memperkuat industrialisasi negara lain yang menjadi tujuan ekspor hasil hilirisasi dari Indonesia.
”Ekspor manufaktur dari Indonesia termasuk yang paling rendah di kawasan ASEAN. Begitu pula ekspor produk dengan teknologi tinggi dan menengah, Indonesia jauh tertinggal dari negara lain di ASEAN. Itu disebabkan industrialisasi yang belum berjalan baik di dalam negeri,” ujar Faisal.
Sementar itu, Ryad menambahkan, kewajiban hilirisasi barang tambang di Indonesia yang diatur oleh UU Nomor 3/2020 tidak sebaik UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 4/2009. Dalam UU Nomor 4/2009 diatur kewajiban hilirisasi di dalam negeri untuk jenis mineral dan batubara. Namun, dalam UU hasil revisi, yaitu UU Nomor 3/2020, kewajiban hilirisasi untuk batubara ditiadakan.
”Mengapa kewajiban peningkatan nilai tambah hanya untuk jenis mineral saja? Apa batubara dipandang tidak penting? Jadi, konsistensi peningkatan nilai tambah di dalam negeri yang diatur dalam UU Nomor 3/2020 tampak tidak benar-benar nyata,” ucap Ryad.
Tentang kewajiban hilirisasi di dalam negeri, Irwandy berpendapat, pemerintah memberi batas waktu tiga tahun sejak UU Nomor 3/2020 disahkan. Pemerintah mengancam akan mencabut izin operasi perusahaan pemegang IUP dan IUPK yang tidak melakukan hilirisasi di dalam negara sesuai batas waktu yang ditentukan.
Namun, Kementerian ESDM mengakui, pandemi Covid-19 menyebabkan program pembangunan smelter di Indonesia menjadi terhambat. ”Apakah pandemi Covid-19 akan menyebabkan program pembangunan smelter melampaui batas tiga tahun seperti yang diatur dalam UU? Bagaimana dampaknya nanti? Itu yang sedang kami kaji,” ujar Irwandy.
Pemerintah mengancam akan mencabut izin operasi perusahaan pemegang IUP dan IUPK yang tidak melakukan hilirisasi di dalam negara sesuai batas waktu yang ditentukan.
Kendala pasokan listrik
Sebelumnya, dalam diskusi daring mengenai industri smelter, terdapat kendala dalam mendorong tumbuhnya industri smelter di Indonesia. Salah satu kendala utama adalah terbatasnya pasokan listrik. Pasalnya, lokasi industri smelter berdekatan dengan lokasi tambang mineral yang rata-rata ada di daerah yang belum terhubung dengan jaringan listrik.
”Salah satu solusinya adalah membangun pembangkit listrik sendiri. Misalnya, dengan pembangkit listrik tenaga diesel. Namun, biaya produksi listriknya menjadi mahal,” kata Direktur PT Indonesia Weda Bay Industrial Park Scott Ye.
Mengenai pasokan listrik untuk smelter, pemerintah memperkirakan ada kebutuhan pasokan listrik sebanyak 4.200 megawatt sampai 2022 untuk memenuhi kebutuhan sejumlah smelter yang sedang dibangun. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ditantang untuk memenuhi pasokan listrik tersebut sebagai dukungan terhadap program hilirisasi yang digalakkan pemerintah.
Berdasarkan data PLN, tarif listrik untuk golongan industri menengah di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Tarif listrik golongan industri menengah di Indonesia adalah Rp 1.115 per kWh, sedangkan di Malaysia Rp 1.052 per kWh.
Adapun tarif di Thailand Rp 1.077 per kWh dan di Vietnam Rp 1.090 per kWh. Besaran tegangan listrik untuk golongan industri menengah di atas 200 kilovolt ampere.