Pada 2021, pertumbuhan industri manufaktur diharapkan mencapai 4,7-5,5 persen, atau sedikit di atas target capaian PDB 4,5-5,5 persen. Seiring dengan itu, lapangan kerja baru diharapkan tercipta untuk 17,9 juta orang.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi nasional di era pandemi bertumpu pada upaya revitalisasi industri dalam negeri. Untuk menggerakkan pertumbuhan industri dalam waktu cepat, pemerintah berencana menurunkan impor bahan baku produksi hingga 35 persen pada 2022.
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Prijambodo, Rabu (29/7/2020), mengatakan, perekonomian yang diproyeksikan terpuruk pada triwulan II dan III-2020 diharapkan sudah membaik pada 2021.
Pada triwulan I-2020, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas turun dari 4,8 persen pada 2019 menjadi 2,01 persen. Turunnya pertumbuhan industri itu sejalan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2020.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia mengalami penurunan terendah pada April 2020 ke titik 27,5 dan perlahan mulai meningkat ke angka 39,1 pada Juni 2020. Meski ada pemulihan tipis, kondisi itu belum mencapai titik aman.
Menurut Bambang, pada 2021, pertumbuhan industri manufaktur diharapkan mencapai 4,7-5,5 persen, atau sedikit di atas target capaian produk domestik bruto (PDB) yang sebesar 4,5-5,5 persen. Seiring dengan itu, lapangan kerja baru diharapkan tercipta untuk 17,9 juta orang.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum merevitalisasi industri, tidak hanya bersifat jangka pendek demi lolos dari jurang resesi, tetapi juga secara jangka panjang. Program substitusi impor pun menjadi perhatian utama untuk menyelamatkan roda industri.
”Tanpa harus bersikap protektif, kita harus memberikan perhatian lebih besar kepada kandungan dalam negeri,” katanya.
Pada 2021, pertumbuhan industri manufaktur diharapkan mencapai 4,7 sampai 5,5 persen, atau sedikit di atas target capaian PDB yang sebesar 4,5-5,5 persen. Seiring dengan itu, lapangan kerja baru diharapkan tercipta untuk 17,9 juta orang.
Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian Herman Supriadi mengatakan, program substitusi impor adalah opsi paling cepat untuk mendongkrak pertumbuhan industri dan mencegah resesi yang dalam dan panjang. Selama ini, impor bahan baku untuk industri dalam negeri berkontribusi hingga 70,39 persen dari total impor Indonesia.
Di tengah keterbatasan pasokan bahan baku dari negara lain karena pandemi, industri dalam negeri dipaksa beralih ke bahan baku lokal demi menggerakkan produksi nasional. Kemenperin telah menargetkan akan melakukan substitusi impor hingga 35 persen pada 2022.
Kemenperin telah menargetkan akan melakukan substitusi impor hingga 35 persen pada 2022.
Seiring dengan itu, menurut Herman, utilisasi produksi industri diasumsikan meningkat bertahap dari 76,72 persen pada 2020, kemudian 80,30 persen pada 2021, dan 85 persen pada 2022. Diharapkan hal itu bisa mendongkrak utilisasi produksi industri hingga bernilai Rp 5.868 triliun dan menurunkan impor bahan baku hingga Rp 1.245 triliun pada 2022. Sebagai perbandingan, pada 2019 lalu, utilisasi produksi industri pengolahan hanya Rp 5.197 triliun.
”Ini saat yang tepat untuk meningkatkan kemandirian bahan baku dalam negeri. Di era pandemi ini, akan terasa sekali dampaknya kalau kita tidak mandiri dan rantai suplai kita bolong di sana-sini,” ujar Herman.
Beberapa industri yang akan didorong melakukan substitusi impor adalah industri makanan, tekstil, bahan kimia dan barang kimia, logam dasar, komputer dan barang elektronik, peralatan listrik, serta mesin dan perlengkapan (kesehatan). Selama ini, jenis-jenis komoditi itu mendominasi 75 persen impor dari seluruh industri pengolahan.
Selain membenahi regulasi dan insentif untuk mendorong substitusi impor, program penggunan produksi dalam negeri (P3DN) akan dioptimalisasi untuk menyerap bahan baku dari industri dalam negeri.
”Kita harus memanfaatkan proyek yang ada untuk menggunakan produksi dalam negeri sehingga kita bisa kembali mengaktifkan produksi existing yang sudah ada,” kata Herman.
Produktivitas dan kemajuan industri besar diharapkan juga akan ikut menggerakkan industri kecil. Dengan demikian, reindustrialisasi akan berdampak berdampak tidak hanya untuk menciptakan lapangan kerja, tetapi produktivitas lebih lanjut.
Industri kesehatan
Herman mengakui, serangkaian program pemulihan ekonomi ini tetap tidak akan terlaksana selama penanganan aspek kesehatan bersifat sporadis dan tidak terintegrasi. Apalagi, perkembangan Covid-19 di Indonesia kini melesat hingga sudah melewati 100.000 kasus.
Oleh karena itu, revitalisasi industri alat kesehatan dan farmasi pun menjadi aspek penting untuk memulihkan industri sekaligus menangani penyebaran virus.
”Sambil kita melakukan penanganan Covid-19, sambil kita menumbuhkan utilisasi industri kesehatan dalam negeri,” katanya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Tirto Koesnadi mengemukakan, selama ini, industri farmasi mengimpor bahan baku active pharmaceutical ingredient/API, mempelajari dan memformulasinya, kemudian diolah dan didistribusikan. Ke depan, jika diwajibkan memproduksi bahan bakunya sendiri, industri harus mengembangkan fasilitas penelitian dan pengembangan serta tes klinis.
”Kami sebenarnya ingin sekali sudah punya industri bahan baku sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tetapi selalu gagal dan redup lagi. Baru sekarang ini dengan Covid-19, terjadi kekurangan besar, sehingga upaya ini muncul lagi,” kata Tirto.
Ke depan, jika diwajibkan memproduksi bahan bakunya sendiri, industri harus mengembangkan fasilitas penelitian dan pengembangan serta tes klinis.
Untuk mencapai tujuan itu, industri farmasi membutuhkan dukungan besar dari pemerintah, baik dari segi regulasi, insentif, maupun sumber daya manusia.
”Tanpa itu, saya kira industri farmasi akan kembali lagi seperti sekarang. Kelak, di tahun 2022, barangkali kita sudah lupa lagi dengan keinginan membangun industri bahan baku sendiri,” ucap Tirto.
Herman mengatakan, kapasitas produksi industri alat kesehatan dalam negeri diharapkan bisa tumbuh pesat selama Covid-19. Utilisasi indutri alat kesehatan untuk kebutuhan Covid-19 selama pandemi meningkat 100-300 persen dibandingkan sebelum Covid-19 pada kisaran 60-100 persen.
Diharapkan, peningkatan utilisasi ini bisa terjadi juga untuk produksi alat kesehatan non-Covid-19. Sebagai contoh, produk furnitur rumah sakit sebenarnya memiliki kapasitas produksi 141.000 per unit, sarung tangan bedah dari lateks bisa diproduksi hingga 20 juta pasang, dan perangkat jarum suntik (auto disable syringe 0,05-5 ml) berkapasitas produksi 100 juta unit.
”Dulu, market share untuk produksi dalam negeri di pengadaan alat kesehatan hanya 10 persen total kebutuhan dalam negeri. Ini diutilisasi maksimal supaya kita tidak perlu lagi berburu produk impor, yang kenyataannya semua negara kini sama-sama saling berebut,” katanya.