Nelayan Kecil Semakin Tertekan, Petani Kecil Diberdayakan
Pandemi Covid-19 membuat nelayan kecil kian terimpit masalah hulu-hilir. Di sisi lain, petani kecil diperkuat melalui konsolidasi petani, lahan, logistik, dan pasar.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah memukul usaha nelayan. Di tengah pendapatan yang merosot, nelayan kecil terkendala operasional karena kesulitan mengakses bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi. Sepanjang triwulan I-2020, realisasi penyaluran BBM bersubsidi baru 118.253 kiloliter atau 6,15 persen dari kuota 1,92 juta kiloliter pada 2020.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Dani Setiawan, Senin (27/7/2020), mengatakan, survei yang dilakukan KNTI terhadap 2.068 pelaku usaha perikanan di lima wilayah, yakni Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh pada 15 Mei-19 Juni 2020 memperlihatkan kondisi nelayan kian terimpit akibat pandemi Covid-19.
Sebanyak 1.000 responden mengalami penurunan pendapatan. Pendapatan mereka turun karena akses penjualan tertutup dan harga ikan turun. Sementara 51 persen responden tidak menerima bantuan sosial.
”Pemerintah memberikan bantuan nelayan dengan basis data kepemilikan kartu nelayan Kusuka. Akan tetapi, masih banyak nelayan kecil belum terdaftar dan memiliki kartu nelayan,” ujarnya, dalam diskusi publik nasional ”Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Posisi Nelayan Menghadapi Covid-19 dan Akses Nelayan terhadap BBM Subsidi” yang diselenggarakan Koalisi Ketahanan Usaha Perikanan (Kusuka) Nelayan secara daring.
Sebanyak 1.000 responden mengalami penurunan pendapatan, karena akses penjualan tertutup dan harga ikan turun. Sementara 51 persen responden tidak menerima bantuan sosial.
Menurut Dani, kondisi itu diperparah dengan kesulitan nelayan memperoleh surat rekomendasi BBM bersubsidi dan mengakses kuota BBM bersubsidi. Sebanyak 69 persen responden menyatakan kesulitan memperoleh BBM bersubsidi.
”Nelayan kecil terpaksa beli BBM eceran yang harganya lebih mahal. Diperlukan terobosan layanan pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat layanan BBM nelayan,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat Pengaturan Bahan Bakar Minyak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) I Ketut Gede Aryawan mengungkapkan, masih banyak nelayan tidak memperoleh BBM bersubsidi. BPH Migas mengaku telah menyalurkan kuota BBM bersubsidi bagi nelayan, tetapi dalam laporan penyaluran masih jauh di bawah kuota.
Tahun 2019, pemerintah mengalokasikan kuota BBM bersubsidi jenis solar untuk usaha perikanan sebesar 1,93 juta kiloliter (kl), tetapi realisasi penyaluran solar bersubsidi itu hanya 494.539 kl atau 25,61 persen. Pendataan nelayan dan penerbitan surat rekomendasi BBM bersubsidi dinilai sangat penting untuk mendorong penyaluran.
”Tidak mungkin kami memberikan kuota BBM bersubsidi 1,9 juta kl jika realisasi cuma 500.000 kl per tahun. Pendataan menjadi tantangan kami ke depan,” kata I Ketut.
Perkuatan petani
Sementara dalam seminar daring bertema "Pengembangan Koperasi Sektor Riil: Peluang dan Tantangan" yang diselenggarakan IPB University dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Senin, disebutkan, sektor pangan di Indonesia menghadapi tantangan rantai pasok yang terlalu rumit dan panjang. Sektor ini didominasi petani kecil dengan kepemilikan lahan terbatas, sekitar 0,5 hektar per petani.
Koperasi sebagai lembaga sosial ekonomi dapat menyediakan solusi menghadapi persoalan ini melalui konsolidasi petani, lahan, logistik, dan pasar. ”Koperasi pangan kini menjadi prioritas kami,” kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki.
Koperasi sebagai lembaga sosial ekonomi dapat menyediakan solusi menghadapi persoalan ini melalui konsolidasi petani, lahan, logistik, dan pasar. Koperasi pangan kini menjadi prioritas kami.
Koperasi pangan menjadi prioritas karena sektor pangan berkontribusi sekitar 13 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia dan menyerap 29,04 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. ”Apalagi FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) sudah mengingatkan akan ada krisis pangan sehingga harus benar-benar diperhatikan,” ujar Teten.
Jumlah koperasi pangan di Indonesia per 31 Desember 2019 sebanyak 13.821 unit atau 11,23 persen dari total koperasi di Indonesia. Omzet koperasi sektor pangan Rp 11,25 triliun atau berkontribusi 7,27 persen terhadap total omzet koperasi di Indonesia.
Koperasi sebagai lembaga sosial ekonomi, lanjut Teten, bisa hadir sebagai solusi melalui konsolidasi petani perorangan dalam koperasi. Konsolidasi lahan-lahan sempit dalam skala bisnis, kemudian dihubungkan dengan pasar.
Terkait pengembangan koperasi pangan, Kementerian Koperasi dan UKM berencana bekerja sama dengan Perhutani wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan 5-10 proyek percontohan Perhutanan Sosial. Saat ini, rencana itu masuk tahapan pemetaan lahan dan pembiayaan.
Menurut Teten, kebanyakan gabungan kelompok tani (gapoktan) sudah dalam skala ekonomi minimal, yakni memiliki lahan seluas 100-200 hektar. Akan tetapi, dalam konsep pemerintah, minimal 10.000 hektar dengan setiap 1.000 hektar ada satu penggilingan padi.
Selain itu, kebanyakan gapoktan tidak mempunyai badan hukum sehingga sulit mengakses pembiayaan. "Untuk itu, pemerintah akan mentransformasi gapoktan-gapoktan dalam bentuk koperasi," kata dia.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Totok Agung berpendapat, gapoktan mesti mengorganisasikan dirinya sebagai koperasi untuk menyokong daya tawarnya. ”Dalam koperasi, gapoktan akan memiliki struktur yang lebih kuat karena adanya dewas pengawas, dewan pembina, dan dewan pengurus,” ujarnya dalam telekonferensi pers yang diadakan Koperasi Benih Kita Indonesia, Senin.
Menurut Totok, organisasi sebagai koperasi akan meningkatkan daya petani dalam rantai pasok komoditas pangan dan pertanian dari hulu ke hilir. Di hulu, koperasi berperan krusial dalam pengembangan benih sebagai sumber daya lokal.
”Koperasi akan melindungi petani yang memperbanyak benih sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Koperasi juga memiliki posisi untuk mendaftarkan benih tersebut pada Pusat Varietas Tanaman,” ujarnya.