Ketimpangan Infrastruktur Jadi Kendala ”Stay at Home Economy”
Pergeseran perilaku konsumen menopang lahirnya "stay at home economy" dan membuka peluang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Sayangnya, ada problem penguasaan dan akses teknologi digital.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan jaringan internet yang disokong oleh infrastruktur telekomunikasi menjadi salah satu modal vital bagi aktivitas ekonomi dari tempat tinggal. Sayangnya, masih ada sejumlah titik, utamanya di wilayah pelosok, yang belum mendapatkan akses jaringan tersebut.
Pembatasan gerak dan tuntutan menjaga jarak fisik akibat pandemi Covid-19 membentuk kebiasaan baru yang mendorong lahirnya ”ekonomi dari rumah”. Peluang baru muncul seiring perubahan besar perilaku konsumen, yakni dari jalur luring ke daring, yang ditopang oleh teknologi digital. problem akses dan literasi digital membuat peluang itu tidak bisa dimanfaatkan secara optimal
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate menyatakan, aktivitas ekonomi dari tempat tinggal ditopang oleh sejumlah infrastruktur telekomunikasi nasional, baik infrastruktur tulang punggung (backbone), jarak menengah (middle mile), maupun jarak akhir ke pelanggan (last mile).
Indonesia telah memiliki 348.442 kilometer (km) serap optik yang berada di daratan ataupun lautan Nusantara sebagai tulang punggung. Sepanjang 12.148 km di antaranya merupakan jaringan Palapa Ring yang dibangun oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi dan 336.294 km dibangun oleh operator telekomunikasi di Indonesia.
Akan tetapi, Johnny menilai, Indonesia masih membutuhkan pembangunan infrastruktur jarak menengah dan jarak akhir, salah satunya di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). ”Dari 83.218 desa/kelurahan yang terdata secara administratif di Indonesia, sebanyak 12.548 desa/kelurahan di antaranya belum terjangkau oleh sinyal 4G,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (24/7/2020).
Secara terperinci, 9.113 desa/kelurahan yang belum mendapatkan jangkauan sinyal 4G itu berada di wilayah 3T. Oleh karena itu, kata Johnny, pemerintah merencanakan dan mengusahakan model pembiayaan pembangunan jaringan fiber optic, Base Transceiver Station (BTS), dan microwave link untuk menjangkau desa/kelurahan di wilayah 3T itu hingga akhir tahun 2022.
Di tataran jarak menengah, Kementerian Komunikasi dan Informatika memetakan, ada 501.112 titik layanan publik yang membutuhkan akses internet memadai. Sebanyak 351.112 titik di antaranya berada dalam status sudah terlayani dengan baik tetapi masih ada 150.000 titik layanan publik yang belum memiliki akses internet memadai.
Untuk menjangkau titik-titik yang belum mendapatkan akses internet memadai itu, lanjut Johnny, sarana infrastruktur telekomunikasi yang paling cocok ialah satelit. Menurut rencana, pemerintah akan meluncurkan satelit Satria dalam tiga tahap sepanjang 2023-2030 dengan total kapasitas 0,9 terrabit.
Peluang bisnis
Hingga saat ini, utilisasi jaringan tulang punggung, khususnya serat optik yang dibangun oleh BAKTI belum optimal. Padahal, ada sejumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang membutuhkan akses jaringan tersebut.
Pada Maret 2020 lalu, BAKTI bersama MarkPlus Indonesia mempublikasikan survei pasar di 57 titik pusat operasional jaringan (NOC) Palapa Ring dengan radius 30 km di daerah 3T. Survei ini bertujuan memudahkan pelaku operator telekomunikasi dalam riset dan penghitungan bisnis terkait utilisasi jaringan.
Hasil survei itu menyebutkan, sebanyak 41 persen dari pelaku UMKM di wilayah kajian belum menggunakan internet. Dari segi individu, sebanyak 28 persen dari penduduk belum memanfaatkan internet.
Dari sisi kualitas, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kecepatan akses internet saat melakukan penelusuran, pengunduhan, dan pengunggahan berada di rentang 22-23 persen. Adapun tingkat kepuasan terhadap kestabilan koneksi hanya mencapai 21 persen.
Agar berdaya saing, pelaku UMKM di wilayah tersebut tak hanya membutuhkan akses internet memadai, tetapi juga layanan distribusi dan logistik. Berdasarkan penelusuran di salah satu jasa logistik, ongkos kirim dari Manokwari, Papua Barat, ke Jakarta berkisar Rp 63.000-Rp 68.000 per 1 kilogram (kg) barang dan sampai dalam waktu 2-4 hari. Di sisi lain, ongkos kirim dari Surabaya, Jawa Timur, ke Jakarta mencapai Rp 12.000-Rp 15.000 per kg dan sampai dalam 1-3 hari.
Peran operator
Penyelesaian ketimpangan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia juga membutuhkan peran dari pelaku operator. Group Head Corporate Communication PT XL Axiata Tbk Tri Wahyuningsih mengatakan, jangkauan layanan XL Axiata mencapai sekitar 93 persen dari penduduk Indonesia.
Wahyuningsih menuturkan, jangkauan tersebut mencakup penyediaan jaringan 4G di 450 kota dan area di Indonesia. ”Untuk melayani masyarakat di wilayah 3T, kami bekerja sama dengan BAKTI dan memanfaatkan jaringan Palapa Ring. Hingga saat ini, terdapat 350 BTS yang ada di wilayah pelosok dan perbatasan, seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua dan sebagian Sumatera," tuturnya saat dihubungi.
Sementara itu, SVP-Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Turina Farouk menyebutkan, jaringan Indosat telah mencakup hampir 90 persen dari penduduk Indonesia. Saat ini, Indosat tengah menguatkan layanan jaringan di area-area permukiman.