Pandemi Covid-19 merubah perilaku konsumen dan membuka peluang bisnis daring yang lebih luas. Namun, peluang belum bisa dimanfaatkan mayoritas pelaku UMKM, terutama soal keterbatasan akses dan penguasaan digital.
Oleh
Agnes Theodora / C Anto Saptowalyono / M Paschalia Judith
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan gerak dan tuntutan menjaga jarak fisik akibat pandemi Covid-19 membentuk kebiasaan baru yang mendorong lahirnya ”ekonomi dari rumah”. Peluang baru muncul seiring perubahan besar perilaku konsumen, yakni dari jalur luring ke daring, yang ditopang oleh teknologi digital.
Peluang itu semestinya bisa dinikmati oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 64 juta unit dan menyerap 116,98 juta tenaga kerja nasional. Namun, problem akses dan literasi digital membuat peluang itu tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras, Senin (27/7/2020) berpendapat, pemberdayaan UMKM di tengah pandemi tak lepas dari pemanfaatan teknologi digital. Namun, ada ketimpangan penguasaan dan akses digital di antara pelaku usaha, baik antara kota maupun desa serta Jawa maupun luar Jawa.
Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan, baru sekitar 13 persen atau 8 juta UMKM yang memanfaatkan marketplace untuk berjualan. Pemerintah menargetkan, pada akhir 2020, sebanyak 10 juta pelaku UMKM masuk ke ekosistem digital.
Menurut Farras, UMKM tidak bisa sekadar didorong berjualan secara daring tanpa kebijakan afirmatif dari pemerintah. Tantangan yang harus dijawab kompleks, mulai infrastruktur telekomunikasi yang tidak merata, biaya internet yang mahal, hingga minimnya literasi digital pelaku UMKM untuk mengoperasikan bisnisnya secara daring.
Sejalan dengan hal itu, hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 9-12 Juni 2020 terhadap 995 responden di 32 provinsi menunjukkan, 68,5 persen pelaku UMKM merasa belum puas terhadap program bantuan pemerintah kepada UMKM selama pandemi ini.
Beberapa bantuan yang dibutuhkan UMKM adalah akses modal secara merata, pelatihan dan peningkatan keterampilan teknologi digital untuk berjualan lewat marketplace, serta dukungan membukakan jaringan dan akses ceruk pasar baru.
Terdampak pandemi
Survei Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) terhadap 679 responden di 24 provinsi menemukan, 94,69 persen responden mengalami penurunan penjualan. Adapun responden yang penjualannya tetap atau naik masing-masing hanya 2,65 persen. ”Penurunan terbesar dialami UMKM yang mengandalkan toko fisik,” kata Kepala P2E LIPI, Agus Eko Nugroho, Senin (29/6).
UMKM dari kelompok ultramikro dan mikro yang mengandalkan penjualan secara fisik dan usia bisnis relatif muda, merujuk hasil survei itu, perlu mendapat perhatian khusus. Sebanyak 55,2 persen responden survei itu memiliki lama usaha 0-5 tahun.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyatakan, meskipun terdampak pandemi Covid-19, pihaknya mencatat ada pelaku UMKM yang dapat bertahan dan bahkan tumbuh. Mereka adalah para UMKM yang sudah terhubung ke ekosistem digital serta berhasil beradaptasi dan berinovasi.
”Beruntung ada pembangunan infrastruktur jaringan internet 5 tahun ini, termasuk infrastruktur fisik. Data pengelola e-dagang, 97 persen wilayah Indonesia sudah terhubung marketplace online, tinggal 3 persen yang belum terhubung,” kata Teten.
Secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyebutkan, aktivitas ekonomi dari rumah telah ditopang oleh infrastruktur telekomunikasi. Namun, Indonesia masih membutuhkan infrastruktur, terutama jarak menengah dan jarak akhir. ”Dari 83.218 desa/kelurahan yang terdata secara administratif di Indonesia, 12.548 desa/kelurahan di antaranya belum terjangkau sinyal 4G,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (24/7).