Standardisasi dan Sertifikasi UKM Tingkatkan Kepercayaan Konsumen
Sertifkasi dan standarisasi produk diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan konsumen sehingga turut menaikkan penjualan produk yang kini dijajakan di lapak digital.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Promosi produk yang kini dipajang dalam etalase virtual tentu mengurangi pengalaman konsumen dalam menyentuh, memegang, bahkan mencicipi produk yang ditawarkan. Pembeli hanya bisa melihat foto dan membaca deskripsi serta ulasan produk dari layar kaca.
Untuk itu, dalam upaya meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dijual, standardisasi dan sertifikasi menjadi penting dimiliki pelaku usaha. Pemenuhan kewajiban sertifikasi pun dinilai dapat meningkatkan penjualan tidak hanya di pasar lokal, tetapi juga membuka peluang ekspor.
Catatan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang dikutip pada Senin (27/7/2020) menunjukkan produk usaha kecil dan menengah (UKM) Indonesia masih belum bisa memenuhi standar global. Hanya 1,2 juta UKM yang memiliki sertifikat merek dan 49.000 UKM yang memiliki sertifikat hak paten dari total 64,19 juta unit UKM.
Benita Adzami (28), pemilik usaha Makan Bakso, Yuk!, menyadari pentingnya sertifikasi, terlebih di tengah pandemi Covid-19. Setelah memperoleh sertifikat merek pada Desember 2019, ia kini masih menunggu proses pembuatan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (PIRT) sejak sekitar dua bulan lalu.
Sertifikasi PIRT menjadi jaminan, proses produksi makanan sudah sesuai standar dan keamanan.
”Pastinya ribet (untuk urus sertifikasi) karena harus ada penelitiannya dan dengan pembatasan membuat waktu mengurus jadi lebih lama. Namun, buat saya, sertifikat itu penting sekali karena kita enggak bisa menilai kualitas produk sendiri, butuh justifikasi dari orang lain dan lebih baik lagi kalau punya sertifikat,” kata Benita saat dihubungi Kompas.
Rumah makan di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur, yang baru dibuka pada Februari 2020 itu tentu terpukul akibat pandemi Covid-19. Padahal, menurut Benita, antusias masyarakat sangat baik pada awal pembukaan dan sudah menggelar konferensi pers untuk rencana waralaba.
Pada Maret 2020, akibat pandemi, toko harus ditutup. Penjualan secara dalam jaringan (daring) pun menjadi andalan Benita untuk mempertahankan usaha yang mempekerjakan sekitar sebelas orang itu.
Dalam satu bulan, penjualan produk bakso beku secara daring bisa mencapai 80 persen. Sementara 20 persen lainnya mengandalkan konsumen yang membeli ke rumah makan, tetapi untuk dibawa pulang.
”Jadi, konsumen itu sebenarnya enggak hilang, tetapi mereka ada di rumah. Hanya tinggal bagaimana kita (pelaku usaha) menjangkau konsumen-konsumen tersebut yang juga bisa diperkuat dengan adanya sertifikasi,” kata Benita.
Harin Riandrini (55), pemilik usaha Citra Cake and Catering Service di daerah Cilacap, Jawa Tengah, juga menghadapi situasi serupa. Meski sudah mendapatkan Sertifikat PIRT, sudah dua tahun lebih ia menunggu sertifikat halal yang dikatakan masih dalam proses.
”Saya menyadari sertifikat ini penting untuk memperluas pasar dan meningkatkan kepercayaan konsumen. Namun, memang prosesnya tidak semudah itu, saya sudah berulang kali datang ke pemerintah, tetapi tetap tidak tembus,” tutur Rini.
Rini mengatakan, omzet usaha katering yang selama ini mengandalkan pesanan dari perusahaan serta acara nikahan itu sempat turun hingga 80 persen sejak April. Untuk bertahan, Rini kini mencoba menjual masakannya melalui WhatsApp, Facebook, dan Instagram.
Meski belum berangsur pulih, Rini meyakini usaha yang telah dibangun selama 15 tahun itu dapat tetap bertahan. ”Saya enggak mungkin berhenti usaha, apalagi ada delapan karyawan yang bekerja. Jadi, saya akan coba untuk mengoptimalkan penjualan secara daring,” kata Rini.
Pendampingan
Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Victoria br Simanungkalit menyampaikan, pemerintah kini berupaya memfasilitasi proses sertifikasi global. Upaya ini dinilai dapat membantu pelaku usaha mempertahankan usahanya.
”Sertifikasi global walaupun di pasar lokal kami lakukan sehingga konsumen yakin untuk mengonsumsi produk lokal. Sekarang adalah saatnya UMKM Indonesia menunjukkan potensi dan kualitasnya untuk menyubstitusi produk impor dan menunjukkan kesetaraan kualitas,” kata Victoria.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan, pendampingan memang sangat diperlukan bagi pelaku UMKM untuk mendapat fasilitas sertifikasi. Mulai dari kualitas di sisi kesehatan, kemasan, hingga proses sertifikasi produk agar tidak menambah beban dari pelaku usaha.
”Lakukanlah pembinaan, pelatihan, dan edukasi, khususnya bagi mereka yang memang ingin masuk ke perdagangan elektronik, bahkan bertujuan ekspor. Jangan sampai produk luar bisa memperoleh standar nasional Indonesia (SNI), tetapi produk kita sendiri tidak belajar bagaimana mendapatkan SNI tersebut,” tutur Tauhid.
Dalam artikel ”Pentingnya Standardisasi dan Sertifikasi sebagai Bukti Formal Kualitas” yang diterbitkan oleh UKM Indonesia yang ditulis oleh Kinanthi Dararizki disebutkan, memang ada beberapa persoalan yang dihadapi pelaku usaha dalam mengurus standardisasi dan sertifikasi. Penyebaran informasi kepada pelaku usaha dinilai tidak merata.
Selain itu, terdapat proses panjang untuk memenuhi beberapa persyaratan dan prosedur yang harus dilalui. Ada juga biaya pengurusan yang tinggi karena banyaknya uji kompetensi yang harus dilakukan sebelum suatu produk dinyatakan memenuhi standar.
”Tapi janganlah ini menjadi hambatan bagi pelaku usaha karena sertifikasi membuat produk diakui secara nasional maupun internasional sehingga tercipta peningkatan penjualan. Pelaku usaha juga disarankan lebih proaktif mencari informasi yang bisa dilakukan dengan bergabung dalam organisasi usaha yang sejenis atau koperasi,” tulis Kinanthi.