Inovasi dan Teknologi Bisa Bangkitkan Ekonomi Perikanan
Sektor perikanan menjadi salah satu yang terdampak pandemi Covid-19. Untuk membangkitkan pemulihan dan mempercepat perkembangan industri kelautan dan perikanan, dibutuhkan penerapan teknologi yang lebih masif.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor perikanan menjadi salah satu sumber ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Untuk membangkitkan pemulihan dan mempercepat perkembangan industri kelautan dan perikanan, adaptasi teknologi sesuai arah kebijakan industri 4.0 perlu diterapkan.
Hal itu menjadi salah satu topik yang dibahas dalam acara Indonesia Maritime Virtual Rountables 2020 yang diadakan organisasi Maritim Muda Indonesia, Senin (27/7/2020).
Dalam kesempatan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyampaikan, pemerintah terus berupaya memaksimalkan program dan kinerja yang dapat berkontribusi positif bagi perekonomian negara selama pandemi.
Salah satunya melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan dana bantuan usaha perikanan sebesar Rp 900 miliar dengan nilai pinjaman Rp 50 juta-Rp 20 miliar untuk tiap pelaku usaha.
Selain itu, Edhy mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menerima masukan dari akademisi dan pelaku usaha yang mau menyumbangkan inovasi kelautan dan perikanan yang berteknologi dan berkelanjutan.
”Penerapan tekonologi 4.0 di perikanan terbuka dalam berbagai hal, seperti terkait pemberian pakan, penangkapan ikan, penyimpanan hasil perikanan, budidaya garam, hingga digitalisasi pemasaran,” katanya.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Yanti menyampaikan, penerapan teknologi dibutuhkan khususnya dalam rangka memulihkan dampak pandemi.
Menurut Bappenas, pandemi membuat tidak terserapnya hasil produksi secara normal yang berimplikasi pada penurunan harga komoditas perikanan. Industri menurun karena gangguan distribusi serta penurunan permintaan dan daya beli. Di sisi lain, biaya produksi naik guna memenuhi protokol kesehatan.
”Dalam situasi ini, kita dipaksa untuk mulai berpikir inovatif, mengambil langkah percepatan digitalisasi, sebagai solusi pemulihan usaha perikanan,” katanya pada kesempatan yang sama.
Contoh inovasi yang perlu disediakan seperti pemanfaatan mahadata (big data) untuk menemukan ikan. Dengan demikian, nelayan tidak lagi mencari ikan, tetapi menangkap ikan. Lalu, mengandalkan transaksi digital, seperti melalui blockchain, untuk industri pengolahan agar mempercepat perdagangan dalam negeri dan ekspor.
Percepatan digitalisasi yang didukung penguatan dan optimalisasi penggunaan infrastruktur telekomunikasi dan informasi untuk perikanan sebelumnya juga sudah direncanakan dalam proyek Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 yang memprioritaskan pengembangan industri 4.0.
”Pada 2045, kontribusi sektor kelutan dan perikanan pada produk domestik bruto (PDB) nasional diharapkan menjadi 12,5 persen. Fokusnya ada di pembangunan konektivitas laut yang efisien dan efektif, industrialisasi perikanan yang berkelanjutan dan berdaya saing, serta pariwisata bahari yang inklusif,” tutur Sri.
Saat ini, kontribusi PDB kelautan dan perikanan baru 2,2 persen. Nilai itu terbilang kecil dengan potensi pesisir, perikanan tangkap dan budidaya nasional yang didukung 108.000 kilometer garis pantai, 17.504 pulau, 8 provinsi kepulauan (23,5 persen wilayah Indonesia), 327 kabupaten/kota pesisir, serta potensi penyerapan 45 juta tenaga kerja.
Peningkatan kapasitas
Inovasi teknologi sebagai pendukung pengembangan sektor kelautan dan perikanan juga tidak lepas dari upaya peningkatan kapasitas, antara komunitas dan fasilitas pengelolaan kelautan dan perikanan.
Dedi Supriadi Adhuri dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpendapat, ilmu pengetahuan dan teknologi baru, termasuk teknologi 4.0, semestinya diarahkan untuk bisa mendukung pengembangan bibit-bibit ekonomi kelautan dan perairan atau ekonomi biru yang sudah berkembang di komunitas.
”Sudah cukup banyak inisiatif ekonomi biru yang dikembangkan dan berkembang di komunitas. Komunitas adalah obyek pembangunan dan pembangunan sudah harus berbasis pada pengembangan bentuk-bentuk kolaborasi multipihak,” katanya.
Pendapat itu ia contohkan dengan pengembangan daerah bakau di pesisir Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara. Ekosistem bakau yang sempat rusak karena aktivitas perkebunan kelapa sawit sempat diprotes masyarakat setempat pada 2006 hingga akhirnya restorasi dilakukan.
Sejak saat itu, komunitas pesisir memiliki kemampuan mengembangkan ekonomi biru lewat pembukaan obyek pariwisata dan pengolahan hasil ekosistem bakau melalui produk makanan dan minuman.
Sementara itu, peningkatan kapasitas fasilitas pengelolaan hasil kelautan diharapkan Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) yang merasakan minimnya ekspor untuk hasil tangkapan ikan tuna. Sekretaris Jenderal Astuin Hendra Sugandhi mengatakan, kapasitas ekspor tuna Indonesia masih terbatas dibandingkan kapasitas produksinya.
”Kita masih ada gap yang besar antara produksi dan ekspor,” katanya. Menurut Astuin, volume ekspor tidak kalah penting karena terkait dengan optimal tidaknya pemanfaatan kapasitas produksi.
Agar Indonesia mampu menjadi eksportir tuna nomor satu di dunia, lima tahun ke depan Indonesia perlu mengubah kebijakan yang mendukung pemanfaatan potensi perikanan tuna yang berkelanjutan.