Nelayan Kesulitan Mendapat BBM Bersubsidi dan Bantuan Sosial
Pandemi Covid-19 membuat nelayan kian terimpit masalah hulu-hilir. Masalah distribusi bantuan yang tidak merata, kesulitan melaut akibat minimnya akses BBM bersubsidi, serta lemahnya akses pasar masih terus berulang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah memukul usaha nelayan. Di tengah pendapatan yang merosot, nelayan kecil terkendala operasional karena kesulitan mengakses bahan bakar minyak bersubsidi. Sepanjang triwulan I-2020, realisasi penyaluran BBM bersubsidi baru 118.253 kiloliter (kl) atau 6,15 persen dari kuota 1.921.155 kl tahun 2020.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Dani Setiawan mengemukakan, survei yang dilakukan KNTI terhadap 2.068 pelaku usaha perikanan di lima wilayah, yakni Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh pada 15 Mei-19 Juni 2020 memperlihatkan kondisi nelayan kian terimpit akibat pandemi Covid-19. Sebanyak 1.000 responden mengalami penurunan pendapatan.
Pendapatan mereka turun karena akses penjualan tertutup dan harga ikan turun. Sementara 51 persen responden tidak menerima bantuan sosial.
”Pemerintah memberikan bantuan nelayan dengan basis data kepemilikan kartu nelayan Kusuka. Akan tetapi, masih banyak nelayan kecil belum terdaftar dan memiliki kartu nelayan,” ujarnya, dalam diskusi publik nasional ”Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Posisi Nelayan Menghadapi Covid-19 dan Akses Nelayan terhadap BBM Subsidi”, yang diselenggarakan Koalisi Ketahanan Usaha Perikanan (Kusuka) Nelayan secara daring, Senin (27/7/2020).
Pemerintah memberikan bantuan nelayan dengan basis data kepemilikan kartu nelayan Kusuka. Akan tetapi, masih banyak nelayan kecil belum terdaftar dan memiliki kartu nelayan.
Menurut Dani, kondisi itu diperparah dengan kesulitan nelayan memperoleh surat rekomendasi BBM bersubsidi dan mengakses kuota BBM bersubsidi. Sebanyak 69 persen responden menyatakan kesulitan memperoleh BBM bersubsidi.
”Nelayan kecil terpaksa beli BBM eceran yang harganya lebih mahal. Diperlukan terobosan layanan pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat layanan BBM nelayan,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat Pengaturan Bahan Bakar Minyak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) I Ketut Gede Aryawan mengungkapkan, masih banyak nelayan tidak memperoleh BBM bersubsidi. BPH Migas mengaku telah menyalurkan kuota BBM bersubsidi bagi nelayan, tetapi dalam laporan penyaluran masih jauh di bawah kuota.
Tahun 2019, pemerintah mengalokasikan kuota BBM bersubsidi jenis solar untuk usaha perikanan sebesar 1.931.155 kl, tetapi realisasi penyaluran solar bersubsidi itu hanya 494.539 kl atau 25,61 persen. Pendataan nelayan dan penerbitan surat rekomendasi BBM bersubsidi dinilai sangat penting untuk mendorong penyaluran.
”Tidak mungkin kami memberikan kuota BBM bersubsidi 1,9 juta kl jika realisasi cuma 500.000 kl per tahun. Pendataan menjadi tantangan kita ke depan,” kata I Ketut.
BBM bersubsidi diberikan bagi kapal perikanan berukuran maksimum 30 gros ton (GT) yang terdaftar di KKP atau perangkat daerah serta memiliki surat rekomendasi BBM dari kepala pelabuhan perikanan. Harga BBM bersubsidi dipatok Rp 2.500 per liter.
I Ketut menambahkan, BPH Migas mulai 2020 menetapkan kuota penyaluran BBM bersubsidi untuk setiap penyalur, meliputi stasiun pengisian bahan bakar nelayan dan SPBU yang melayani nelayan. ”Kalau tidak melayani nelayan, SPBU untuk nelayan akan kami tutup dan tidak akan kami berikan kuota,” katanya.
Anggota Komisi IV DPR, Luluk Nur Hamidah, menilai, kompleksitas persoalan nelayan di tengah pandemi Covid-19 tidak hanya terkait lemahnya akses bantuan sosial, tetapi juga akses pasar dan akses BBM bersubsidi. Persoalan itu terus berulang, apalagi persoalan pendataan oleh pemerintah masih tumpang tindih.
Ketimpangan pasokan BBM bersubsidi ke nelayan memperlihatkan minimnya koordinasi pemerintah. Persoalan BBM juga dirasakan pelaku usaha perikanan budidaya. Minimnya kehadiran negara untuk mengatasi masalah BBM bersubsidi menyebabkan posisi nelayan terus lemah, sedangkan permainan BBM bersubsidi yang menguntungkan mafia terus berlangsung.
”Ini yang menyebabkan preman dan mafia itu terus ada karena memanfaatkan selisih kebutuhan dan ketersediaan BBM bersubsidi,” katanya.
Kompleksitas persoalan nelayan di tengah pandemi Covid-19 tidak hanya terkait lemahnya akses bantuan sosial, tetapi juga akses pasar dan akses BBM bersubsidi.
Luluk juga menyoroti bantuan sosial nelayan yang tidak tepat sasaran. KKP dinilai menggelontorkan sejumlah bantuan sosial kepada pelaku ojek daring, tetapi minim menyentuh nelayan, pembudidaya, dan petambak garam yang terdampak pandemi Covid-19. Kementerian berlomba untuk menyelamatkan pelaku ojek daring, tetapi bukan nelayan dan sektor perikanan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Aryo Hanggono mengemukakan, pembatasan sosial berskala besar sebagai dampak pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penurunan intensitas perdagangan secara langsung, penurunan permintaan dan hambatan ekspor.
Dari data Badan Pusat Statistik, nilai tukar nelayan (NTN) terus menurun selama Januari-Mei 2020. NTN Maret-Mei 2020 berturut-turut 100,5; 98,48; dan 98,68.
”Penerimaan nelayan menurun akibat harga ikan di sebagian wilayah turun karena konsumsi yang terbatas akibat PSBB dan ekspor terhambat. Di sisi lain, harga jual BBM yang mencapai 70-80 persen dari biaya operasional melaut tidak ikut turun,” kata Aryo yang juga menjabat Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP.
Aryo menambahkan, pemerintah sudah melakukan sejumlah intervensi berupa stimulus operasional penangkapan ikan, stimulus usaha nelayan, peningkatan operasional kios pengisian solar nelayan (SPDN), dan peningkatan fasilitas pelabuhan perikanan yang belum beroperasi maksimal.
Ketua Umum DPP KNTI Riza Damanik berpendapat, sektor pangan mengalami gangguan serius di tengah pandemi Covid-19. Dari rilis Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), hambatan sektor pangan di tengah pandemi Covid-19 disebabkan keterbatasan sumber daya manusia dan gangguan distribusi. Padahal, peluang ekonomi terbuka lebar untuk pasar domestik dan global.
Dari data FAO, kebutuhan konsumsi ikan dunia tumbuh 3,1 persen per tahun atau melebihi konsumsi sumber protein lain yang 2,1 persen. Di tengah peluang ekonomi itu, kesulitan nelayan Indonesia untuk mendapatkan BBM akan mengganggu konsumsi domestik dan menghilangkan kesempatan mengisi pasar perikanan. Sebanyak 96 persen pemenuhan ikan untuk konsumsi domestik bersumber dari pasokan nelayan kecil.
”Tingginya konsumsi ikan serta terbukanya pasar dalam dan luar negeri hanya mungkin bisa dilakukan jika akses masyarakat nelayan untuk beraktivitas menangkap ikan mudah dan terpenuhi,” katanya.