JAKARTA, KOMPAS — Sektor pangan di Indonesia menghadapi tantangan rantai pasok yang terlalu rumit dan panjang. Sektor ini didominasi petani kecil dengan kepemilikan lahan terbatas, sekitar 0,5 hektar per petani.
Koperasi sebagai lembaga sosial ekonomi dapat menyediakan solusi menghadapi persoalan ini melalui konsolidasi petani, lahan, logistik, dan pasar.
”Koperasi pangan kini menjadi prioritas kami,” kata Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, Senin (27/7/2020), saat menjadi pembicara kunci dalam webinar ”Pengembangan Koperasi Sektor Riil: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan IPB University dan Kemenkop UKM.
Koperasi pangan menjadi prioritas karena sektor pangan berkontribusi sekitar 13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia dan menyerap 29,04 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. ”Apalagi FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) sudah mengingatkan akan ada krisis pangan sehingga harus menjadi perhatian kita,” ujar Teten.
Jumlah koperasi pangan di Indonesia per 31 Desember 2019 sebanyak 13.821 unit atau 11,23 persen dari total koperasi di Indonesia. Omzet koperasi sektor pangan Rp 11,25 triliun atau berkontribusi 7,27 persen terhadap total omzet koperasi di Indonesia.
Baca juga: Tak Hanya Permodalan, Peran Koperasi-UMKM Diperkuat dalam Rantai Pasok
Koperasi sebagai lembaga sosial ekonomi bisa hadir sebagai solusi melalui konsolidasi petani perorangan dalam koperasi. ”Konsolidasi lahan-lahan sempit dalam skala bisnis, kemudian kita hubungkan dengan pasar,” kata Teten.
Terkait pengembangan koperasi pangan, Kemenkop UKM berencana bekerja sama dengan Perhutani wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan 5-10 proyek percontohan Perhutanan Sosial. Saat ini, rencana tersebut masuk tahapan pemetaan lahan dan pembiayaan.
Dari hasil pertemuan dengan organisasi tani, tambah Teten, kebanyakan gabungan kelompok tani (gapoktan) sudah dalam skala ekonomi minimal, yakni memiliki lahan seluas 100-200 hektar. ”Akan tetapi, dalam konsep kami minimal 10.000 hektar dengan setiap 1.000 hektar ada satu RMU (rice milling unit),” ujarnya.
Selain itu, kebanyakan gapoktan tidak mempunyai badan hukum sehingga sulit mengakses pembiayaan. ”Kami sudah bicara dengan Menteri Pertanian dan gubernur di Jabar, Jateng, dan Jatim. Kami akan melakukan transformasi gapoktan-gapoktan dalam bentuk koperasi dengan skala luas ekonomis,” kata Teten.
Kebanyakan gapoktan tidak mempunyai badan hukum sehingga sulit mengakses pembiayaan.
Pilar ekonomi
Rektor IPB University Arif Satria menuturkan, koperasi dan UMKM adalah pilar ekonomi yang harus terus diperkuat. ”Apalagi kita dihadapkan pada sebuah kondisi di mana Covid-19 sudah menjadi sumber ketidakpastian baru. Kemudian, kedua, era disrupsi. Inovasi dan teknologi terbaru kini saatnya terus dikembangkan,” ujarnya.
IPB University berupaya semaksimal mungkin memberikan dampak berganda, termasuk membina para petani untuk dapat memasok produk ke beberapa pasar modern. Salah satu persoalan pada era disrupsi adalah menciptakan teknologi yang lebih presisi untuk pertanian berbasis teknologi 4.0.
”Namun, teknologi bukan segala-galanya. Tentu yang paling penting adalah bagaimana kita mampu mentransformasi para pelaku usaha, petani, peneliti, agar bisa menghasilkan produk-produk unggul,” kata Arif.
Proses transformasi tidak mudah karena berkaitan dengan sosial budaya. Namun, diyakini salah satu ciri masyarakat Indonesia, yakni gotong royong, harus kembali ditemukan. ”Koperasi tentu basisnya adalah semangat untuk kebersamaan,” ujarnya.
Yang paling penting adalah bagaimana kita mampu mentransformasi para pelaku usaha, petani, dan peneliti, agar bisa menghasilkan produk-produk unggul.
Menurut Ketua Umum Koperasi Petani Bali Agro Nusantara (Kopebalanusa) I Gde Made Pelita, misi koperasi di antaranya sejahtera bersama anggota dan pemangku kepentingan. Selain itu, koperasi juga menciptakan nilai tambah bagi anggota dan berkolaborasi dengan banyak pihak.