Efektivitas Penempatan Dana LPS Ditentukan Komitmen Bank
Efektivitas penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan ditentukan komitmen bank yang membutuhkan dana tersebut. Untuk meminimalisasi risiko, penempatan dana LPS dibarengi dengan jaminan aset milik pemegang saham dan bank.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Efektivitas penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan ditentukan komitmen bank yang membutuhkan dana tersebut. Transparansi dan kualitas data bank menjadi keniscayaan agar upaya penyelamatan bank bermasalah tidak sia-sia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS diberi kewenangan menempatkan dana pada bank yang mengalami permasalahan solvabilitas. Solvabilitas berarti kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajiban atau utang yang harus dibayarkan.
LPS telah menerbitkan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang pelaksanaan PP No 33/2020. Regulasi dalam PLPS 3/2020 mencakup tata cara pemeriksaan bersama OJK, mekanisme dan tata cara penempatan dana oleh LPS pada bank, serta tata cara penanganan bank selain bank sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal.
Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Supriyatno, yang dihubungi Kompas, Minggu (26/7/2020), menuturkan, penempatan dana LPS di bank bermasalah bersifat sementara. Aksi preemtif ini tujuannya untuk mengatasi gangguan yang terdapat dalam sistem keuangan ataupun gangguan likuiditas akibat pandemi Covid-19.
”Diharapkan bank-bank yang tergolong dalam pengawasan intensif bisa sehat kembali. Namun, efektivitas kebijakan ini (penempatan dana LPS di bank) ditentukan banyak hal,” kata Supriyatno.
Penempatan dana LPS di bank bermasalah bersifat sementara. Aksi preemtif ini tujuannya untuk mengatasi gangguan yang terdapat dalam sistem keuangan maupun gangguan likuiditas akibat pandemi Covid-19.
Menurut dia, setidaknya ada beberapa hal yang menentukan efektivitas penempatan dana LPS di bank. Paling utama adalah transparansi dan kualitas data bank yang membutuhkan dana tersebut. Transparansi dan kualitas data bank menjadi syarat permohonan penempatan dana yang akan dianalisis kelayakannya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Efektivitas penempatan dana LPS di bank juga ditentukan oleh jangka waktu fasilitas tersebut diberikan kepada bank yang membutuhkan. Berdasarkan PLPS 3/2020, LPS berwenang menetapkan plafon dan periode penempatan dana pada bank. Periode penempatan dana paling lama satu bulan dan dapat diperpanjang paling banyak lima kali.
Supriyatno menuturkan, sejauh ini kualitas kredit dan struktur dana BPD yang tergolong dalam bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dan 2 cukup baik. Posisi likuiditas dalam kondisi terjaga meskipun hampir semua BPD tengah melakukan program rileksasi atas debitur yang terdampak pandemi Covid-19.
”Belum ada rencana dari BPD untuk mengajukan penempatan dana LPS. Secara umum, kondisi 27 BPD cukup bak sehingga penempatan dana LPS sebagai konsekuensi PLPS No 3/2020 dapat diminimalisasi,” kata Supriyatno.
Penanganan bank gagal
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, penempatan dana LPS pada bank bukan inisiatif LPS, melainkan atas permohonan bank kepada OJK. Nantinya, pelaksanaan pemeriksaan bersama dapat diinisiasi LPS dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis ke PJK. Laporan hasil pemeriksaan menjadi dasar penanganan terhadap bank gagal.
”Penempatan dana LPS pada bank dilakukan untuk menyelamatkan sistem perbankan,” kata Halim.
LPS melalui PLPS No 3/2020 mengatur kriteria pemilihan metode penanganan bank selain bank sistemik di luar perkiraan biaya paling rendah (least cost test). Beberapa kriteria mencakup kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan efektivitas penanganan permasalahan bank.
Untuk meminimalisasi risiko, LPS mengatur jaminan penempatan dana dalam Pasal 25 PLPS No 3/2020. Jaminan penempatan dana terdiri dari aset milik pemegang saham pengendali dan atau aset milik bank. Jaminan penempatan dana harus bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain.
Menurut Halim, jaminan penempatan dana atau agunan mengutamakan aset-aset milik pemegang saham, karena jika bank gagal, maka aset dan kewajiban bank akan dikuasai LPS. ”LPS akan mempertimbangkan mana agunan yang bisa cepat dieksekusi,” kata Halim. Agunan tersebut bukan harus aset milik pemegang saham seperti ditulis Kompas, 25 Juli 2020.
Halim juga menegaskan, sumber hukum atas kewenanganan menempatkan dana pada bank sebagaimana dalam PP No 33/2020 bukan dari UU LPS, melainkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
”Kalau ada yang mengatakan mungkin kewenangan ini tidak sesuai dengan UU LPS, kami mempersilakan para pengamat untuk melihat kembali atau mengajukan judicial review. LPS sendiri tidak dalam posisi mengatakan bertentangan atau tidak,” kata Halim. Kompas sebelumnya menyebutkan, Halim mengakui penempatan dana tidak sesuai UU LPS.
Kalau ada yang mengatakan mungkin kewenangan ini tidak sesuai dengan UU LPS, kami mempersilakan para pengamat untuk melihat kembali atau mengajukan judicial review. LPS sendiri tidak dalam posisi mengatakan bertentangan atau tidak.
UU No 2/2020 sebagai sumber hukum kewenangan penempatan dana LPS pada bank dimungkinkan karena Indonesia dalam kegentingan yang memaksa akibat pandemi Covid-19. Otoritas keuangan perlu mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mencegah efek domino pandemi merembet ke sektor keuangan.
Dihubungi terpisah, ekonom PT Bank Danamon Tbk, Wisnu Wardhana, menilai, langkah LPS bersama OJK perlu diapresiasi dalam hal menjaga likuiditas suatu bank yang belum dinyatakan gagal. Penempatan dana LPS pada bank juga tetap mengedepankan prinsip pertanggungjawaban utama oleh pemegang saham pengendali sebelum bank dapat menerima bantuan likuiditas dari LPS.
LPS dan OJK tetap perlu memformulasikan pemantauan serta pemanfaatan aset dari pemegang saham pengendali agar prinsip keadilan tetap terjaga.
Meski demikian, LPS dan OJK tetap perlu memformulasikan pemantauan serta pemanfaatan aset dari pemegang saham pengendali agar prinsip keadilan tetap terjaga. Hal ini mencakup validitas, valuasi, kekuatan hukum, bahkan hingga pemanfaatan aset yang nantinya akan diambil alih oleh LPS apabila bank gagal.
”Formulasi pemantauan dan pemanfaatan aset penting untuk menjaga kedua belah pihak, baik LPS maupun bank beserta pemegang saham pengendali,” ujar Wisnu, Minggu.