Sekelompok muda-mudi pegiat di Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya, Jawa Timur, mencoba melawan gaya hidup ”hypebeast” dengan gerakan ”hypeabizz” yang pada prinsipnya bangga jadi diri sendiri, apa adanya dan adanya apa.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Gaya hidup hypebeast, berbusana trendi, terkini, dan bermerek diyakini turut membawa dampak negatif, terutama bagi muda-mudi dari keluarga miskin. Bahkan, segelintir dari mereka terpaksa tercebur dalam pelacuran anak dan remaja demi mengikuti gaya hidup tadi.
Tak ingin akibat buruk hypebeast meluas, khususnya di kalangan anak dan remaja, sekelompok muda-mudi pegiat di Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya, Jawa Timur, melawan. Mereka menggemakan hypeabizz yang disebut apa pun cara untuk menghabisi hypebeast, gaya hidup amat konsumtif yang memiskinkan.
Mereka kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Sebagian dari muda-mudi ini dulunya anak-anak yang didampingi oleh pegiat Alit yang berdiri sejak 1998 di Surabaya. Ketika dewasa dan kuliah, anak-anak dampingan ini kemudian bergabung menjadi sukarelawan di Alit untuk meneruskan dan mengembangkan program.
Kelompok ini (Frienship and Solidarity) dikembangkan dengan semangat indie, bangga menjadi diri sendiri.
Ranah Nirvananda alias Kojo (16), siswa SMA Negeri 4 Surabaya, sejak kecil bergabung di klub olahraga Troy yang dikelola oleh Alit. Selain kemampuan olahraga, khususnya atletik, Kojo ternyata bertalenta dalam musik. Bersama rekan-rekan di Alit dan musisi asal Surabaya, Kojo membentuk Friendship and Solidarity untuk mengenalkan lagu-lagu mereka yang ramah anak.
Bahkan, pada masa wabah Covid-19 (coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) ini, Kojo dan kelompoknya telah mengunggah setidaknya empat komposisi ke Spotify, aplikasi internet dalam layanan musik, siniar (podcast), dan video komersial.
Keempat komposisi itu ialah ”Jembatan”, ”Masa Kecilku”, ”Nanti”, dan ”Rindu”. ”Jembatan” adalah lagu tentang perlindungan diri dan anak-anak. ”Masa Kecilku” bercerita tentang keindahan alam dan budaya Nusantara. Nanti mengenai kerinduan terhadap teman-teman bermain karena pembatasan sosial selama masa wabah Covid-19.
Masih terkait dengan wabah, ”Rindu” mengisahkan suasana belajar di sekolah yang sejak pertengahan Maret belum bisa lagi dinikmati oleh kebanyakan pelajar di Nusantara karena pembatasan sosial untuk menekan potensi penularan Covid-19.
”Kelompok ini (Frienship and Solidarity) dikembangkan dengan semangat indie, bangga menjadi diri sendiri,” kata Kojo, Jumat (24/7/2020), di sekretariat Alit.
Produksi lagu dan proses kreatif lainnya, yakni rekaman dan pembuatan video klip, dilakukan secara mandiri bersama teman-teman di Alit. Bahkan, untuk aksesori, terutama kaus oblong, diproduksi dan diedarkan oleh mereka secara indie. Dalam produksi musik, mereka dibantu musisi Hubert Henry Limahelu yang juga dikenal sebagai pembetot bas grup rock Boomerang.
Menurut Kojo, proses kreatif secara indie punya makna lebih jauh sebagai kritik keras terhadap Rancangan Undang-Undang Permusikan. Yang utama, menjadikan semangat indie dalam proses berkesenian sebagai kultur pelawan hypebeast.
Muhammad Taufik (20), tim produksi Alit menambahkan, membuat berbagai produk dan aksesori, yakni kaus, masker, tas, dan topi secara indie. Seperti distro-distro atau produsen busana kekinian, mereka menawarkan produk pakaian yang trendi atau keren, tetapi dengan harga yang amat rasional atau murah.
”Untuk menjadi keren tidak harus mahal, tetapi banggalah menjadi diri sendiri,” kata Taufik.
Pertanian
Ekko Rusadi (19), mahasiswa Fakultas Vokasi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, di Alit bertugas sebagai pendamping anak-anak di klub olahraga Troy. Namun, pembatasan sosial karena wabah Covid-19 mengakibatkan kegiatan di klub terhenti dan Ekko memutar otak untuk mengisi kegiatannya di Alit dengan memilih pertanian.
”Yang saya pilih ala urban farming, menanam di pot-pot dan hidroponik,” kata Ekko.
Sejak awal April, sebagian halaman sekretariat Alit diubah oleh Ekko dan teman-temannya untuk bercocok tanam. Sawi, cabai, daun bawang, kangkung, dan pisang adalah segelintir contoh tanaman budidaya yang mereka kembangkan, bahkan sudah ada yang dipanen untuk dibagikan kepada anggota, tetangga, orang yang membutuhkan, dan konsumsi mandiri di sekretariat.
”Hasil panen di sini sebagian ada yang saya olah menjadi berbagai masakan,” kata Muhammad Hadi Wibowo (19), mahasiswa Manajemen Perhotelan Fakultas Vokasi Unair.
Pemuda yang akrab disapa Chef Habo ini memang paling aktif mengolah bahan pangan untuk rekan-rekannya, anggota yayasan, dan tamu. Lelaki agak tambun ini belajar memasak secara otodidak memanfaatkan saluran dan siaran acara memasak di internet. Meski begitu, masakan dari hasil panen yang sederhana ternyata nikmat dan lezat.
Untuk anak
Direktur Eksekutif Yayasan Alit Yuliati Umrah mengatakan, pertanian urban, proses kreatif secara indie, merupakan program yang dikembangkan secara mandiri oleh para pendamping yang masih muda-muda itu. Program ini kemudian ditawarkan ke seluruh lokasi dampingan yayasan di Jatim (8 kabupaten/kota), Kabupaten Gianyar (Bali), dan Kabupaten Sikka (Nusa Tenggara Timur).
”Pada prinsipnya, program yang kami laksanakan dalam hal perlindungan terhadap anak dari ancaman kejahatan sekaligus pemberdayaannya,” ujar Yuliati.
Troy, misalnya, adalah program pembibitan atlet dari kalangan anak-anak kurang beruntung dengan harapan mereka dapat berprestasi. Dengan berolahraga, anak-anak jalanan, misalnya, tidak terpapar atau terseret dalam cengkeraman kejahatan, khususnya seksual, pencurian, dan kehidupan yang tak membahagiakan.
Begitu pula dalam program pertanian urban dan proses kreasi secara indie. Alit mengharapkan beribu-ribu anak yang mereka dampingi dapat melihat sendiri contoh nyata, yakni para senior yang kini menjadi pendamping. Para pendamping tetap kuliah, tetapi juga aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga terhindar dari potensi terseret pergaulan atau gaya hidup tak baik.
Pada prinsipnya, program yang kami laksanakan dalam hal perlindungan terhadap anak dari ancaman kejahatan sekaligus pemberdayaannya.
Ekko mengatakan, pertanian urban yang sedang digelutinya bertujuan mendorong kepercayaan diri pada adik-adiknya atau generasi muda bahwa tak usah malu menjadi petani. Bertani itu amat keren. Tanpa petani, mustahil kehidupan manusia akan terpenuhi dalam hal kecukupan pangan.
Pengurus Yayasan Alit, Ananta Lisa, menambahkan, para pendamping sukarela baru bisa bergabung sebagai pegiat jika sudah berusia 18 tahun dan kuliah dengan indeks prestasi kumulatif minimal 3. Jika mampu mempertahankan IPK di setiap semester minimal 3, Alit memberikan beasiswa atau bantuan dana kuliah sebesar 50 persen.
“Ada donor yang siap menyekolahkan mereka ke jenjang pascarsarjana agar mereka nantinya dapat kembali untuk mengembangkan program anak-anak,” kata Lisa yang juga juru bicara atau hubungan masyarakat Yayasan Alit.