Pertamina merespons perubahan global di sektor energi. Salah satu caranya dengan merestrukturisasi organisasi dan penguatan modal kerja. Penawaran saham perdana ditempuh untuk mengumpulkan dana.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) berencana menawarkan saham perdana anak usahanya. Langkah ini untuk memperoleh modal kerja.
Perhitungan Pertamina, perusahaan BUMN itu memerlukan dana untuk modal kerja sampai dengan 2026 sebesar 133 miliar dollar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (24/7/2020), nilai itu setara Rp 1.941 triliun.
Dari kebutuhan dana tersebut, kemampuan kas internal perusahaan sekitar 47 persen. Penawaran saham perdana anak usaha adalah salah satu cara untuk menggalang dana dari pihak luar.
Dana diperlukan untuk membiayai sejumlah proyek, di antaranya membangun kilang baru dan meningkatkan kapasitas kilang yang ada, membiayai proyek bioenergi, serta membangun sejumlah infrastruktur gas. Adapun proyek lain yang juga butuh biaya besar adalah proyek gasifikasi batubara untuk dijadikan metanol dan dimetil eter. Proyek ini bekerja sama dengan sejumlah perusahaan, seperti PT Bukit Asam Tbk, Air Products & Chemicals Inc, serta Chandra Asri Petrochemical.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, penawaran saham perdana (IPO) adalah salah satu cara Pertamina menggalang dana dari pihak ketiga. IPO memiliki akses pendanaan yang luas tanpa batas tenor atau jangka waktu. Hal ini berbeda dengan pinjaman bank atau penerbitan surat utang yang harus mempertimbangkan rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio).
”Rencana ini bukan privatisasi. Sebab, IPO dilakukan pada perusahaan sub-holding dan negara tidak punya saham di dalamnya. Cara-cara ini (IPO) adalah cara lazim yang dilakukan banyak perusahaan migas dunia,” jelas Nicke dalam webinar ”Restrukturisasi Babak Baru Pertamina sebagai Perusahaan Induk Migas”, Minggu (26/7/2020).
Cara-cara ini (IPO) adalah cara lazim yang dilakukan banyak perusahaan migas dunia.
Nicke menambahkan, perubahan signifikan pada industri migas dunia membuat Pertamina mengubah struktur organisasi. Sebagai perusahaan induk, Pertamina membentuk enam perusahaan subinduk usaha di bidang hulu migas, infrastruktur kilang, bisnis komersial, energi terbarukan, infrastruktur gas bumi, dan pelayaran. Setiap subinduk usaha tersebut membawahi sejumlah anak usaha.
”Perubahan di kancah global, seperti energi terbarukan yang tumbuh pesat, meningkatnya kebutuhan produk petrokimia, dan rencana jangka panjang pengembangan bioenergi di Indonesia, maka perlu restrukturisasi di dalam organisasi Pertamina. Restrukturisasi ini akan membuat organisasi Pertamina kian ramping dan lebih lincah merespons perubahan global,” kata Nicke.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, rencana IPO anak usaha di organisasi Pertamina adalah aksi korporasi yang lazim yang juga banyak dilakukan perusahaan migas dunia. Apalagi, sudah ada beberapa anak usaha yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, seperti PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan PT Elnusa Tbk.
Menurut dia, hal yang perlu dicermati adalah rencana IPO anak usaha di sektor hulu migas.
”Untuk bisnis di sektor hulu, posisi Pertamina tidak jauh berbeda dengan kontraktor hulu migas yang lain. Umumnya, mereka mendapat bagian 15 persen dan 85 persen menjadi bagian negara. Pada model besaran bagi hasil inilah yang akan menentukan seberapa besar kapitalisasi pasar saat IPO nanti,” ujar Komaidi.
Menyinggung apakah langkah IPO menguntungkan atau tidak dari sisi bisnis, lanjut Komaidi, hanya waktu yang akan membuktikan. Namun, ia menegaskan, tidak ada yang aneh dengan rencana Pertamina melakukan IPO untuk anak usahanya. Beberapa BUMN lain juga melakukan hal yang sama, seperti BUMN di bidang telekomunikasi dan infrastruktur.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan, dari sisi sejarah, posisi Pertamina tidak sekuat di masa lalu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, posisi Pertamina sangat kuat. Di sektor hulu, Pertamina sebagai regulator, pemberi konsesi pada kontraktor, sekaligus sebagai operator. Adapun di sektor hilir, Pertamina berperan sebagai distributor BBM, penentu harga, sekaligus pemberi subsidi.
Apabila hendak dilakukan IPO, harus melalui kajian yang ketat dan dikelola sedemikian rupa. Di dunia migas adalah hal yang lumrah melakukan IPO.
Berdasarkan UU terbaru, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, peran Pertamina dipangkas. Pertamina tak ubahnya kontraktor migas lainnya. Peran regulator dan pemberi konsesi wilayah kerja diambil pemerintah.
”Mengenai IPO, ada kekhawatiran nasib Pertamina akan seperti Indosat. Ingat, yang IPO bukan Pertamina-nya, tetapi anak usaha yang di bawahnya. Apabila hendak dilakukan IPO, harus melalui kajian yang ketat dan dikelola sedemikian rupa. Di dunia migas adalah hal yang lumrah melakukan IPO,” kata Hikmahanto.
Sebelumnya, Pertamina menetapkan program rasionalisasi anak usaha yang sudah dimulai pada tahun ini. Rasionalisasi anak usaha tersebut adalah melikuidasi atau mendivestasikan 25 anak dan cucu usaha Pertamina. Dari 25 perusahaan itu, sebagian besar bergerak di bidang hulu dan hilir migas yang sudah tidak aktif atau tidak beroperasi lagi.
Dalam laporan tahunan 2018, Pertamina tercatat memiliki 26 anak usaha. Namun, apabila dijumlahkan dengan cucu dan cicit perusahaan, beserta afiliasinya, ada 142 perusahaan di bawah naungan Pertamina. Dari 26 anak usaha tersebut, selain membidangi bisnis hulu dan hilir migas beserta jasa penunjangnya, ada juga yang bergerak di sektor perhotelan, perkapalan, jasa konsultasi pengembangan sumber daya manusia, asuransi, kesehatan (rumah sakit), dan transportasi.