Dengan menekuni pekerjaan sayuran hidroponik, dia total mengubah ritme untuk mencapai ketenangan hidup, dari seorang pekerja profesional di Amerika Serikat menjadi petani sayur di Temanggung, Jawa Tengah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Sepuluh tahun tinggal di Amerika Serikat, bekerja sebagai konsultan proyek dan jadi staf di Dana Moneter Internasional (IMF), Bayu Sagoro (56) kembali ke kampung halaman untuk bertani dan berjualan sayuran. Dia tidak ingin hidupnya berhenti di satu titik.
Sejak tahun 2015, Bayu bersama Ida (52), istrinya, merintis usaha pertanian sayur hidroponik berlabel madinaFarm di rumahnya di Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dengan menekuni pekerjaan itu, dia total mengubah ritme untuk mencapai ketenangan hidup, dari seorang pekerja profesional di AS menjadi petani sayur di kampung halaman.
Prinsipnya, berwirausaha tidak semata mencari keuntungan, tetapi melayani dan membantu orang lain. Bayu berusaha memenuhi kebutuhan dan selera setiap konsumen. Oleh karena itu, ketika ada pelanggan yang mengeluhkan sayuran yang diterima, Bayu tidak akan bertanya terlalu banyak, tetapi langsung menawarkan dua alternatif kompensasi, yakni ganti uang atau ganti sayuran.
Jual beli sayur bisa dilakukan secara tatap muka di rumah Bayu. Namun, dia juga melayani pemesanan secara daring. Sayur akan diantar ke rumah pemesan tanpa ongkos kirim. Khusus untuk di wilayah Temanggung, Bayu tidak membatasi jumlah minimal pesanan atau jarak pengantaran. ”Beli satu ikat pun tetap saya antar gratis,” ujarnya.
Selama enam tahun menjalankan usaha itu, Bayu pernah mengantar pesanan terjauh, yakni hingga jarak lebih dari 20 kilometer. Dia juga melibatkan karyawan, tetapi tidak untuk jasa angkutan daring. Layanan pengantaran langsung diberikan karena Bayu ingin relasi dengan pelanggan terjaga dengan baik.
Pelibatan pihak lain, seperti penyedia jasa angkutan daring, tidak dilakukannya. Dengan cara ini, Bayu berharap bisa menjalin komunikasi secara langsung dengan pembeli. ”Kami berharap bisa langsung mendapatkan saran dan masukan atas sayuran yang diterima pembeli saat itu juga,” ujarnya.
Tidak hanya menanam dan menjual sayuran, Bayu memperkaya pengetahuan tentang manfaat dan khasiat sayuran yang dia tanam dan jual. Dengan tambahan pengetahuan itu, Bayu dan Ida memberikan resep dan cara mengolah sayuran ke konsumen.
Resep disesuaikan dengan kebutuhan dan keluhan kesehatan setiap pembeli. ”Dengan upaya ini, kami berharap semakin banyak orang tergerak untuk hidup sehat dengan mengonsumsi sayur,” ujarnya.
Gerakan menanam dan makan sayur ini menginspirasi orang lain untuk berbuat serupa. Saat ini setidaknya sudah ada tiga petani hidroponik lain yang belajar dari kebun Bayu tentang bagaimana merancang kebun dan merawat tanaman. Mereka tersebar di Magelang, Secang, dan Parakan.
Merintis usaha
Awalnya, Bayu bekerja sebagai konsultan proyek pembangunan gedung di Jakarta. Selama kurun 2003-2005, dia bolak-balik Jakart-AS karena Ida yang semula bekerja di Kantor Bank Dunia di Jakarta pindah ke AS. Pada tahun 2005, Bayu diterima bekerja di IMF. Namun, dia hanya betah bekerja enam bulan lalu kembali sebagai konsultan proyek.
Pada tahun 2013, Bayu memutuskan pulang ke Tanah Air dan meninggalkan profesi menjanjikan yang penuh gengsi serta tantangan dan harapan masa depan di negeri orang. Keputusannya untuk pulang, antara lain, didorong oleh keinginan mencari ketenangan hidup sekaligus memperdalam kegiatan agama dan sosial. Setelah melalui beberapa proses tinggal di Jakarta dan Yogyakarta, dia memutuskan kembali ke kampung halaman orangtuanya di Temanggung.
Pada tahun 2015, dia membeli tanah seluas sekitar 3.000 meter persegi di Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, untuk menanam sayuran. Dia memutuskan untuk menanam dengan sistem hidroponik karena dia menganggap masih belum banyak orang melakukannya.
Ilmu bertani dengan sistem hidroponik dia dapatkan dari sejumlah teman yang pernah melakukannya. Bayu kemudian mempraktikkannya sendiri di lapangan. Karena melakukan semuanya secara otodidak dan melakukan uji coba sendiri, Bayu justru belajar dan menemukan hal-hal kecil yang ternyata memperkaya pengetahuannya tentang bagaimana menumbuhkan tanaman. Hal kecil itu antara lain soal ukuran pot. Ukuran pot yang terlalu besar berpotensi menimbulkan kegagalan panen pada jenis tanaman tertentu.
Proses belajar itu tidak semuanya berjalan mulus. Selain gagal panen, Bayu belajar dari pengalaman ditipu konsumen yang membatalkan pembelian sayuran dalam jumlah besar. Dia juga belajar tentang bagaimana memasarkan sayuran. Pada tahap awal, dia melakukan pendekatan ke dua rumah sakit di Temanggung, lalu membangun jaringan dari kenalan dan rekan-rekan yang dia temui.
Kepada setiap pelanggan, dia selalu berupaya mengajaknya untuk melihat langsung kebunnya. ”Saat pengunjung datang, saya sekaligus memberi tahu khasiat sayuran hingga cara penanamannya,” ujarnya.
Bayu menjalin kedekatan dengan konsumen dengan intens berkomunikasi melalui ponsel. Info panen disampaikan sesuai karakter dan kebutuhan konsumen.
Pada tahun 2018, usaha madinaFarm berkembang dan bisa berjalan lebih lancar. Permintaan dari puluhan pelanggan datang secara rutin. Dengan dibantu empat karyawan, saat ini Bayu telah mengembangkan lebih dari 20 jenis sayuran yang ditanam secara hidroponik dan dijual dengan kisaran harga Rp 8.000-Rp 10.000 per ikat atau per kemasan.
Dengan ”hidup baru” di kota kecil itu, Bayu merasa lebih tenang dan lebih berarti dalam menjalani hidup. Selain lebih leluasa dalam berkarya, profesi petani membuatnya bisa menikmati hal-hal sederhana secara lebih baik. Dengan membantu orang lain menjalankan pola hidup sehat, usahanya menanam sayuran jadi semakin berarti, tak semata mencapai keuntungan materi.