Pembubaran Tim Transparansi Industri Ekstraktif Disayangkan
Indonesia masih bermasalah dalam hal transparansi dan keterbukaan di sektor pertambangan. Pembubaran Tim Transparansi Industri Ekstraktif oleh Presiden dikhawatirkan kian memperburuk keadaan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Sejumlah kalangan menyayangkan keputusan Presiden Joko Widodo yang membubarkan Tim Transparansi Industri Ekstraktif yang dibentuk pada 2010. Pembubaran itu dikhawatirkan menyebabkan tata kelola industri ekstraktif Indonesia kian tertutup dan berpotensi menurunkan penerimaan pajak.
Pada 2018, rasio pajak terhadap produk domestik bruto Indonesia termasuk yang terendah di kawasan Asia Pasifik.
Pembubaran tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang ditetapkan pada 20 Juli 2020. Tim Transparansi Industri Ekstraktif adalah salah satu dari 18 lembaga yang dibubarkan Presiden. Mengutip keterangan di laman Sekretariat Kabinet RI, pembubaran tersebut untuk perampingan organisasi dan penghematan anggaran. Tugas lembaga yang dibubarkan diserahkan kepada kementerian terkait.
Menurut Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah, kekhawatiran koalisi masyarakat sipil atas pembubaran tim tersebut adalah kemungkinan preseden menghindari keterbukaan dan transparansi di sektor industri ekstraktif yang sudah dijalankan selama ini. Apalagi, inisiatif transparansi industri ekstraktif yang berlaku nasional sejak 2019 meningkatkan standar keterbukaannya, seperti kepemilikan (beneficial ownership), transparansi kontrak, dampak lingkungan, sosial, dan perubahan iklim.
Kekhawatiran koalisi masyarakat sipil atas pembubaran tim tersebut adalah adanya preseden untuk menghindari keterbukaan dan transparansi di sektor industri ekstraktif yang sudah dijalankan selama ini.
”Dengan dibubarkannya tim ini, ada potensi tata kelola industri ekstraktif Indonesia makin tertutup. Tak menutup kemungkinan penerimaan pajak dan nonpajak untuk negara sulit meningkat lantaran transparansi yang sulit diawasi,” ujar Maryati saat dihubungi di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Maryati menambahkan, inisiatif yang dilakukan Tim Transparansi Industri Ekstraktif di masa lalu terbukti dapat meningkatkan kepatuhan perusahaan di sektor industri ekstraktif dalam hal pembayaran pajak dan royalti lantaran laporannya dibuka kepada publik. Transparansi juga mampu mencegah pengelakan pajak yang menjadi salah satu sebab rendahnya rasio pajak di Indonesia terhadap produk domestik bruto nasional.
Transparan semakin kuat
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, yang pernah duduk di dewan Extractive Industries Trancparency Initiative (EITI) di tingkat internasional, berpendapat, keputusan pembubaran tim seakan-akan menunjukkan komitmen yang rendah dari pemerintah dalam hal keterbukaan tata kelola industri migas dan tambang di Indonesia. Padahal, katanya, Indonesia sudah bersusah payah agar bisa diterima sebagai negara yang terbuka dan transparan dalam hal tata kelola industri ekstraktifnya pada 2010.
”Keterbukaan dan transparansi menjadi kunci untuk mendorong investasi sekaligus membangun kepercayaan publik,” ujar Fabby.
Erry Riyana Hardjapamekas, unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2003-2007, dalam keterangan resminya, menyatakan, semakin transparan sektor industri ekstraktif di Indonesia, maka pencegahan korupsi di sektor ini makin kuat. Dari sudut pandang investor, industri tersebut akan kian dipercaya lantaran kepatuhannya menunaikan kewajiban keuangan kepada negara.
Dari data KPK, lebih dari 10.000 IUP yang ada di Indonesia, sekitar 90 persen tidak menyetorkan dana jaminan reklamasi lahan, 70 persen tidak membayar pajak dan royalti, serta 36 persen tidak memiliki NPWP.
”Jika memang fungsi dan tugas EITI dilimpahkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Keuangan, sebaiknya standar-standar transparansi dan keterbukaan yang berlaku secara internasional tetap dipatuhi dan dijalankan,” ujar Erry.
KPK pernah mengungkapkan data kejanggalan di sektor tata kelola pertambangan di Indonesia sejak 2014. Kejanggalan itu berupa kewajiban perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tak dijalankan. Dari data KPK, lebih dari 10.000 IUP yang ada di Indonesia, sekitar 90 persen tidak menyetorkan dana jaminan reklamasi lahan, 70 persen tidak membayar pajak dan royalti, serta 36 persen tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Tahun ini, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor pertambangan mineral dan batubara ditargetkan Rp 44,4 triliun atau nyaris tak jauh beda dengan perolehan pada tahun lalu yang sebesar Rp 44,8 triliun. Pada 2018, PNBP sektor mineral dan batubara sebesar Rp 49,6 triliun. Target PNBP tahun ini diperkirakan sulit tercapai lantaran harga komoditas batubara yang rendah sejak awal tahun akibat pandemi Covid-19.