Kelesuan Ekonomi Melanda Timur Tengah
Jatuhnya harga minyak dunia membuat negara-negara Arab mengalami penurunan pemasukan dalam APBN. Ekonomi melesu dan banyak pekerja migran yang ikut kehilangan pendapatan.
Negara-negara di Timur Tengah kaya minyak sedang terpukul pandemi. Harga dan produksi minyak anjlok. Perjalanan ke dan dari Timur Tengah sedang mandek. Semua faktor ini serentak memukul perekonomian yang ditopang minyak dan nonminyak. Dampak lanjutannya adalah eksodus jutaan pekerja migran dari Timur Tengah ke negara-negara asal.
Kiriman uang dari para pekerja migran ke negara asal anjlok. Sejak dekade 1990-an, kiriman gaji para pekerja migran ini melebihi arus investasi asing, investasi portofolio, dan bantuan pemerintah asing. Dua pihak kini sedang terpukul, negara-negara Timur Tengah kaya minyak dan negara-negara asal para pekerja migran. Inilah satu sisi terberat akibat pandemi.
Akarnya adalah harga minyak yang anjlok. Pada 2008, harga minyak mencapai 147 dollar AS per barel yang memakmurkan Timur Tengah yang kaya minyak. Pada awal 2020, harga berkisar pada angka 67 dollar AS per barel dan sempat anjlok ke kisaran 16 dollar AS per barel pada April 2020. Kini, harga di kisaran 40 dollar AS. Rezeki nomplok berkurang drastis sejak 2008 itu.
Baca juga: Evolusi Bersama Virus
Kini, di samping harga turun, penggunaan minyak global turut anjlok dari kisaran 101 juta barel per hari pada 2019 menjadi 94,2 juta barel per hari, menurut S&P Global Platts Analytics. Pandemi memukul permintaan minyak, sebagaimana dikatakan Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol, awal Juli 2020.
Penerimaan per tahun negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari minyak anjlok, dari satu triliun dollar AS pada 2012 menjadi 575 miliar dollar AS pada 2019, berdasarkan perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada 2020, penerimaan dari minyak turun lagi menjadi 300 miliar dollar AS.
Dampaknya, pengeluaran pemerintah, salah satu penggerak utama perekonomian, turut anjlok drastis. Penghematan pengeluaran menjadi pilihan pahit yang harus diambil. ”Kita menghadapi krisis yang tidak pernah terjadi dalam sejarah,” kata Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed al-Jadaan.
Baca juga: Kebiasaan Buruk Karyawan Menjadi Pintu Masuk Peretasan
Hal serupa terjadi untuk negara-negara Arab kaya minyak. Pengurangan anggaran pemerintah menjadi pilihan seragam. Ekonomi negara-negara yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (Dewan Kerja Sama Teluk/GCC) akan mengalami kontraksi perekonomian 7,6 persen pada 2020, menurut IMF. GCC beranggotakan Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Sebab, pandemi juga memukul sektor minyak dan nonminyak, seperti dikatakan Direktur IMF untuk Departemen Timur Tengah dan Asia Tengah Jihad Azour pada 13 Juli 2020. Krisis juga turut memukul negara-negara Arab yang bukan penghasil minyak, termasuk akibat efek domino pelemahan di negara-negara penghasil minyak.
Efek pada pekerja migran
Kontraksi perekonomian Timur Tengah ini menyebabkan efek lanjutan yang tidak kalah dahsyat. Kisah-kisah soal pekerja migran yang kehilangan pekerjaan hingga telantar karena belum bisa kembali ke negara-negara asal mewarnai pemberitaan soal Timur Tengah. Berdasarkan informasi dari Population Division of the United Nations Department of Economic Affairs (UNDESA), ada 35 juta pekerja migran internasional yang bekerja di GCC dan Jordania serta Lebanon. Dari jumlah ini, 30 persen adalah perempuan.
Situasi tersebut juga tentu akan menyengsarakan para pekerja asal India, Pakistan, Filipina, dan Sri Lanka yang berkontribusi 60-70 persen pada total pekerja migran di Timur Tengah. Negara-negara pemasok pekerja migran asal Timur Tengah sendiri turut terpukul. Ada lebih dari 2,5 juta warga Mesir yang bekerja di negara-negara tetangga kaya minyak atau sekitar 3 persen dari total populasi Mesir. Lima persen warga Lebanon dan juga 5 persen dari Jordania serta 9 persen warga dari teritori Palestina bekerja di Timur Tengah kaya minyak.
Baca juga: Rindu Masa Kecil
Padahal, mereka inilah, dengan kiriman uang dari gaji, yang sekian tahun turut menolong perekonomian di negara-negara asal, seperti dikatakan Wakil Direktur Pelaksana IMF Antoinette Sayeh. Kiriman uang dari pekerja asing di Timur Tengah ke negara asal mencapai 550 miliar dollar AS pada 2019. Kiriman ini, menurut Bank Dunia, akan anjlok 20 persen pada 2020.
Sejuta lebih pekerja migran akan keluar dari Uni Emirat Arab. Pada laporan Juni, Jadwa Investment memperkirakan 1,2 juta pekerja migran meninggalkan Arab Saudi. Ini pukulan yang lebih parah daripada krisis 2008. Seperti diberitakan pada 1 Juli 2020, Joseph Sanchez (47), seorang satpam asal Filipina, telah tujuh tahun bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab, dan memutuskan pulang. Kontrak kerja diakhiri setelah sekolah swasta berubah ke pelajaran daring. ”Saya tidak menerima gaji empat bulan, tetapi tidak ingin tinggal di kota mahal ini tanpa gaji,” kata Sanchez, bergaji 1.950 dirham atau setara dengan 530 dollar AS dan mengirim 75 persen gaji ke negara asal. Sanchez salah satu dari sejuta pekerja migran asal Asia di Timur Tengah yang sedang menunggu waktu pulang jika pelonggaran perjalanan sudah dilakukan.
”Setiap orang takut,” kata Apisaki, asal Kenya. ”Lingkungan tidak bagus di sini. Tidak akan ada yang mendengarkan kami,” kata pekerja di Beirut, Lebanon, ini.
Para pekerja migran di Timur Tengah ini pada umumnya adalah sopir, tenaga konstruksi, pembersih rumah, serta perawat anak-anak dan warga lansia, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO). IMF melihat persoalan ini tidak sepele. ”Kita berada pada sebuah tahun yang sulit dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan begitu cepat dan cara mengatasinya adalah tantangan bagi setiap orang,” kata Jihad Azour.
Reformasi adalah pilihan
Kemelut ini hanya bisa hilang perlahan jika pandemi berakhir. Direktur Eksekutif IEA optimistis permintaan minyak tetap bisa pulih jika pandemi berakhir. Akan tetapi, IMF menyarankan sebelum perekonomian Timur Tengah pulih, ada beberapa hal yang pantas dilakukan seperti disarankan Antoniette Sayeh, juga Wakil Direktur Pelaksana IMF, dan Ralph Chami, Asisten Direktur Institute for Capacity Development, afiliasi IMF.
Negara-negara tuan rumah pekerja migran di Timur Tengah disarankan meniru langkah seperti yang diucapkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong terhadap para pekerja migran di negaranya. ”Kami akan menjaga kesehatan Anda, kemakmuran Anda, dan kehidupan Anda. Kami akan bekerja sama dengan para majikan Anda untuk menjamin pembayaran gaji sehingga Anda bisa mengirimkan uang ke rumah…. Ini adalah kewajiban dan tanggung jawab kami untuk Anda keluarga Anda,” kata Lee.
Baca juga: Sepeda, Tambora, dan Covid 19
Saran ini sangat mengena untuk Timur Tengah, mengingat kisah telantarnya para pekerja migran mewarnai pemberitaan. IMF menyarankan hal ini mengingat banyak negara asal pekerja migran yang sekian tahun tertolong.
Saran IMF yang lain adalah pengucuran bantuan sosial dari lembaga internasional bagi negara-negara asal pekerja migran yang tergolong miskin. Ini bertujuan untuk membantu negara asal pekerja migran yang juga sedang berjuang keras menghadapi pandemi. Sayangnya, semua negara sedang terpukul, termasuk AS dan Eropa, sumber bantuan pemerintahan sekian lama.
Banting setir
Lalu, bagaimana dengan prospek perekonomian negara-negara Timur Tengah? Majalah The Economist edisi Juli 2020 menyebutkan, walau pandemi memulihkan permintaan minyak, negara-negara kaya minyak akan kesulitan karena harga minyak tidak memadai untuk menopang penerimaan negara.
Aljazair membutuhkan harga minyak hingga level 157 dollar AS agar penerimaan dan pengeluaran pemerintah seimbang. Oman memerlukan harga minyak minimal 87 dollar AS untuk tujuan serupa. Tidak ada penghasil minyak di Arab, selain Qatar, yang bisa memiliki penerimaan yang seimbang dengan pengeluaran jika harga minyak di kisaran 40 dollar AS per barel.
Baca juga: Kelepak Kata di Sayap Sapardi
Tingkat harga ini, agar bisa menopang penerimaan negara, bergantung pada efisiensi dalam produksi minyak di sejumlah negara Arab. Maka, saran untuk Timur Tengah adalah efisiensi produksi minyak. Tentu aspek korupsi di pemerintahan, juga terkait bisnis minyak, menjadi hal yang wajib di atasi.
Solusi lain adalah reformasi perekonomian. Kelanjutan reformasi untuk menggalakkan perekonomian di luar minyak adalah pilihan urgen. ”Kerajaan terjebak ketergantungan pada minyak dan harus beranjak untuk bertahan,” kata Farouk Soussa dari Goldman Sachs.
Saran serupa dicuatkan harian Al Monitor edisi 15 Juli 2020. Perekonomian Arab tidak akan mudah pulih walau pandemi berakhir. Efisiensi dan pendalaman bisnis nonmigas menjadi keharusan.
Persoalan lain bagi kawasan ini adalah bagaimana mereka bisa mandiri dan bebas berekspresi demi diversifikasi ekonomi. Tantangan beratnya adalah bagaimana agar kawasan ini luput dari gangguan asing atau gurita kekuatan global yang tidak pernah mereda. (AP/AFP/REUTERS)