Harga kopi arabika di Solok Selatan, Sumatera Barat, yang sempat anjlok akibat pandemi Covid-19 mulai membaik sejak pemberlakuan normal baru. Petani pun kembali bersemangat untuk memanen dan merawat kopi arabika.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Harga kopi arabika di Solok Selatan, Sumatera Barat, yang sempat anjlok akibat pandemi Covid-19 mulai membaik sejak pemberlakuan normal baru. Dengan harga yang membaik, petani pun kembali bersemangat untuk memanen dan merawat kebun kopi mereka.
Harga kopi arabika merah baru dipetik (cherry) saat ini Rp 7.000 per kilogram. Sebelumnya, pada Maret-Mei 2020, yang momennya bersamaan dengan masa panen dan pembatasan sosial, harga cherry anjlok Rp 4.000 per kilogram. Dua minggu menjelang normal baru di Sumbar yang dimulai pada 8 Juni 2020, harga cherry naik menjadi Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram.
Kasimo (49), Ketua Kelompok Tani Sumber Rezeki, mengatakan, harga cherry Rp 7.000 per kilogram berlangsung sebulan terakhir. ”Harga cherry sudah mulai stabil Rp 7.000 per kilogram. Meskipun belum normal, harganya sudah bagus,” kata Kasimo, petani kopi arabika di Jorong Bukit Malintang Timur, Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir, Solok Selatan, ketika dihubungi dari Padang.
Menurut Kasimo, dalam kondisi stabil, harga cherry Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram. Harga Rp 7.000 per kilogram, meski belum normal, sudah menguntungkan petani. Dengan harga demikian, biaya perawatan kopi sudah tercukupi dan petani juga bisa mengupah orang untuk membantu panen.
Adapun sebelumnya, kata Kasimo, ketika harga cherry Rp 4.000 per kilogram, para petani menjadi patah semangat. Sebagian petani sempat tidak memanen kopi. ”Jangankan merawat kopi, untuk memanennya saja malas,” ujar Kasimo. Walaupun sekarang harga kopi relatif bagus, Kasimo berharap harganya kembali seperti semula.
Harga kopi arabika yang membaik juga mulai dirasakan oleh Kristiono (48), petani kopi arabika di Jorong Bukit Malintang Barat, Nagari Lubuk Gadang. Cherry yang dipanen Kristiono dan rekan-rekannya saat ini dihargai Rp 6.000-Rp 6.500 per kilogram oleh prosesor.
Jangankan merawat kopi, untuk memanennya saja malas (Kasimo)
Kristiono, yang juga Ketua Kelompok Tani Camintoran Sepakat, mengatakan, harga itu lebih baik dibandingkan sebelumnya Rp 5.000 per kilogram. Meskipun masih lebih rendah daripada harga di prosesor lain, harga yang membaik membuat para petani mulai bersemangat.
Sebenarnya, harga Rp 6.000-Rp 6.500 per kilogram masih cukup. Idealnya Rp 9.000-Rp 10.00 atau setidaknya minimal Rp 8.000 per kilogram. ”Namun, dengan harga Rp 6.000-Rp 6.500, sudah bisalah petani merawat kopi dan mulai bersemangat kembali, kebun sudah dibersihkan lagi,” kata Kristiono.
Mulai meningkat
Ketua Koperasi Petani Kopi Rakyat Loeboe Gadang, Abdul Aziz, mengatakan, membaiknya harga cherry dipicu sejumlah faktor. Selain masa panen kopi arabika yang mulai landai, pemberlakuan normal baru juga berpengaruh. ”Permintaan dari eksportir dan kafe-kafe mulai meningkat,” kata Aziz.
Aziz melanjutkan, saat ini koperasi yang berada di Nagari Lubuk Gadang ini memilik stok sekitar 1 ton kopi arabika yang sudah dikelupas dan dijemur (green bean). Greenbean itu merupakan hasil dari pemrosesan cherry yang dibeli koperasi dari petani kopi sekitar.
Menurut Aziz, harga eceran tertinggi greenbean kopi arabika Solok Selatan tetap normal sekitar Rp 75.000 per kilogram. Harga greenbean sebenarnya tidak terlalu terpengaruh akibat pandemi Covid-19 karena bisa disimpan. Sementara itu, harga cherry anjlok karena stok greebean melimpah karena minimnya permintaan dan prosesor tidak sanggup menampung hasil panen petani.
Budidaya kopi arabika mulai dilakukan petani di Solok Selatan sejak 2014 dan semakin banyak tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Dinas Pertanian Solok Selatan, jumlah petani kopi arabika di kabupaten itu sebanyak 360 orang yang tersebar di kaki Gunung Kerinci. Luas wilayah perkebunan sekitar 1.021 hektar, yaitu 658 hektar sudah menghasilkan dan 363 hektar belum menghasilkan.