Terdampak Pandemi, Produk Bernilai Tambah Jadi Solusi
Menurunnya daya beli sebagai efek pandemi Covid-19 juga ikut memengaruhi penghasilan petani rakyat. Untuk keluar dari masalah itu, pengolahan hasil pertanian menjadi produk bernilai tambah menjadi solusi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menurunnya daya beli sebagai efek pandemi Covid-19 juga ikut memengaruhi penghasilan petani rakyat. Untuk keluar dari masalah itu, pengolahan hasil pertanian menjadi produk bernilai tambah menjadi solusi.
Strategi itu menjadi bagian pembinaan Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Baprida terhadap komunitas petani hortikultura Berkat Saraba Kawa (BSK) di Kabupaten Tapin dan Banjar, Kalimantan Selatan. Petani komunitas itu memproduksi, antara lain, tomat, melon, terung, dan cabai hijau besar.
Ketua Komunitas BSK Bambang mengatakan, masa-masa pandemi menurunkan penyerapan komoditas pertanian tertentu, seperti cabai Hiyung dan melon. Omzet hasil pertanian itu menurut catatan mereka turun 25-30 persen.
”Harga cabai sempat turun sampai Rp 7.000 per kg karena enggak terserap,” katanya di sela-sela acara Penyerahan Mesin Pertanian dan Sharing Komunitas Petani Hortikultura Berkat Saraba Kawa secara virtual, Jumat (24/7/2020). Padahal, harga cabai tersebut biasa di atas Rp 50.000 per kg.
Koordinator LPB Baprida, Joko Hantono, pada kesempatan sama, mengatakan, kerugian tersebut dapat ditangani dengan mengolah kembali hasil panen yang tidak terjual menjadi produk bernilai tambah.
Produk cabai Hiyung, misalnya, diolah menjadi abon dan cabai bubuk. Adapun harga 10 gram cabai bubuk bisa mencapai Rp 14.000. Selain menambah nilai, waktu simpan cabai juga menjadi bertambah, dari hanya seminggu jika dibiarkan mentah menjadi berbulan-bulan.
”Kami bekerja sama dengan teman-teman anggota BSK agar ketika panen melimpah atau harga jatuh seperti kemarin, cabai Hiyung bisa kita buatkan produk pasca-panennya,” katanya.
Produk pertanian yang bernilai tambah tersebut juga diharapkan tidak menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga agar produk pertanian di sana dapat menjangkau pasar internasional lewat kegiatan ekspor.
Serap tenaga kerja
Di sisi lain, usaha pertanian menangguk peluang di tengah pandemi dengan menyerap masyarakat yang menganggur karena kehilangan pekerjaan. Hal itu dilihat LPB Baprida dan Komunitas BSK setelah sejumlah masyarakat meminta bergabung untuk mendapat pelatihan bertani.
”Pertanian ini penyelamat teman-teman kita yang di-PHK. Di Komunitas BSK ada yang mau gabung karena kehilangan pekerjaan di perusahaan dan cara paling cepat ya ke pertanian,” kata Joko.
LPB juga mengadakan pembinaan untuk pelaku usaha di sektor perikanan, peternakan, dan kuliner.
Pengurus BSK sekaligus Koordinator Kelompok Tani Simpang Empat, Misrani, mengatakan, lahan komunitas mereka yang mencapai hampir 13 hektar masih bisa digarap lebih banyak sumber daya pertanian. Saat ini, lahan tersebut baru dikelola 28 petani yang tergabung dalam komunitas.
”Regenerasi petani, khususnya petani usia muda, sangat penting. Sejauh ini, kami sedang melatih 25 anggota petani muda usia di bawah 30 tahun,” katanya.
Selain kebutuhan sumber daya manusia tani, mereka juga masih membutuhkan SDM khusus di bidang administrasi dan pemasaran. Tenaga kerja dengan keahlian khusus itu dibutuhkan untuk mendukung produksi yang tertib administrasi dan memperluas jangkauan pasar hingga ke luar Kalimantan, bahkan luar Indonesia.