Susi: Nelayan Lebih Untung Jual Lobster Konsumsi Ketimbang Benih
Kebijakan ekspor benih lobster dinilai sulit menyejahterakan nelayan. Nelayan bisa memperoleh harga jauh lebih bagus justru jika menangkap lobster ukuran konsumsi, bukan sekadar menjual benih.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta membenahi tata kelola lobster agar memberikan manfaat bagi pengembangan budidaya lobster di Tanah Air. Kebijakan ekspor benih bening lobster dinilai lebih menguntungkan negara lain ketimbang pelaku usaha di dalam negeri karena tidak menikmati nilai tambah.
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan itu ditetapkan 4 Mei 2020 itu menggantikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/2016 yang antara lain melarang penangkapan dan/atau pengeluaran benih lobster.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH M Maksum Mahfud menyatakan, pengelolaan sumber daya alam dinilai harus mengedepankan keadilan, keberlanjutan, kepentingan publik, dan lingkungan hidup sesuai amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ekspor benih lobster membuka tantangan dan peluang sehingga perlu dicermati sejauh mana implementasinya menjamin keadilan bagi pelaku ekonomi, sumber devisa negara, serta keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.
Ia menambahkan, perbedaan harga jual yang tinggi selalu menarik bagi pemburu rente untuk memburu kuota perdagangan sebesar-besarnya. Selisih harga yang tinggi akan memicu dorongan ekspor. Ekspor bahan mentah yang tanpa nilai tambah harus dicermati sejauh mana implikasinya terhadap keberlanjutan.
”Semakin besar perbedaan harga, maka semakin merangsang sumber rente. Oleh karena itu, negara harus cermat mengelola (sumber daya) agar rente ekonomi bisa ditekan sebaik-baiknya sehingga distorsi bisa ditekan dan tidak merusak lingkungan hidup,” katanya dalam diskusi Telaah Kebijakan Ekspor Benih Lobster yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Kamis (23/7/2020).
Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin berpendapat, Indonesia perlu melakukan pembenahan agar warga tidak justru menjadi budak dan kuli bagi bangsa lain. Pihaknya perlu menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melakukan perbaikan agar masyarakat mampu mengelola lobster dan tidak menjual benih lobster.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti, nelayan bisa memperoleh harga jauh lebih bagus jika menangkap lobster ukuran konsumsi dibandingkan sekadar menjual benih. Negara-negara yang memiliki sumber benih lobster, seperti Filipina dan Australia, tidak menjual benih lobster karena memikirkan keberlanjutan dan ekosistem. Indonesia dinilai akan menjadi negara besar jika lautnya dikelola dengan benar dengan mengedepankan ekonomi berkelanjutan.
Susi meragukan alasan kebijakan ekspor benih lobster untuk kesejahteraan nelayan benih. Nelayan benih lobster masih bisa memperoleh pendapatan dari ikan jenis lain atau lobster konsumsi. Sebaliknya, ekspor benih lobster hanya akan menguntungkan Vietnam yang mengandalkan benih lobster asal Indonesia untuk dibesarkan.
Nelayan bisa memperoleh harga jauh lebih bagus jika menangkap lobster ukuran konsumsi dibandingkan sekadar menjual benih.
”Apabila kita tidak menjual benih lobster, budidaya lobster Vietnam akan hancur total. Kenapa kita harus menghidupkan Vietnam? Negara wajib melindungi sumber daya alam unutk digunakan sebesar-besarnya kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat,” katanya,
Direktur Ekskekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan, kebijakan ekspor benih lobster menguntungkan Vietnam, tetapi merugikan Indonesia. Ia menilai mustahil nelayan benih lobster bisa sejahtera.
Harga benih lobster jenis pasir di tingkat nelayan, misalnya, saat ini anjlok di kisaran Rp 3.000-Rp 4.500 per ekor. Padahal, harganya di tingkat pengepul Rp 15.000-Rp 20.000 per ekor atau 5-6 kali lipat dari nelayan. Sementara Vietnam memperoleh untung berlipat dari hasil pembesaran benih lobster.
”Siapa yang diuntungkan dari sisi harga? Kok tega membiarkan masyarakat Vietnam hidup sejahtera dengan menikmati hilir, sedangkan masyarakat kita bergantung menangkap benih,” katanya.
Revisi peraturan
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi Publik TB Ardi Januar menyatakan, Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No 12/2020 dibuat melalui proses panjang dengan menyerap aspirasi seluruh kalangan dan kajian tim pakar. Selain itu, pemerintah juga studi banding terkait lobster ke Australia.
Ia menambahkan, ada ribuan nelayan yang bergantung hidup dari tangkapan benih lobster. Ketika penangkapan benih lobster dilarang, penyelundupan terus berlangsung. Kebijakan legalisasi ekspor benih lobster akan menguntungkan semua pihak, nelayan benih dan pembudidaya memperoleh nilai ekonomi, pengusaha ekspor mendapatkan untung, dan negara mendapatkan pemasukan.
Menurut TB Ardi, sorotan publik terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari ekspor benih lobster yang rendah karena PNBP masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 75/2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Revisi PP tersebut kini dalam tahap harmonisasi.
Dalam rancangan revisi PP, tarif PNBP dari ekspor benih lobster diusulkan pada kisaran Rp 1.000 per ekor. ”Jadi, ekspor (benih) lobster itu menggunakan aturan yang baru. Namun, karena PP-nya belum, maka kita menggunakan bank garansi. Saat ini pemasukan untuk negara sudah mencapai Rp 4 miliar,” katanya.
Terkait sejumlah perusahaan yang sudah realisasi ekspor benih meski peraturan menteri (permen) baru diterbitkan dua bulan lalu, TB Ardi menyatakan, beberapa perusahaan tersebut sudah melakukan ekspor benih lobster sejak lama.
”Ilegal? (ekspor benih sejak lama) Ilegal versi permen lama (Permen KP No 56/2016), tetapi legal bagi permen kita (Permen KP No 20/2020). Sejak menjabat, Menteri Edhy mengeluarkan maklumat bahwa tidak ada lagi penangkapan bagi nelayan-nelayan yang membudidayakan lobster,” katanya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadsilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengemukakan, pemerintah selalu beralasan kebijakan ekspor benih lobster terkait dengan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, ekspor benih lobster dilakukan dengan melanggar ketentuan Permen KP No 12/2020. Aturan itu mensyaratkan eksportir mesti berhasil membudidayakan lobster, tetapi satu bulan sejak aturan diterbitkan, ekspor benih sudah berlangsung.
Ironisnya, kata Susan, eksploitasi benih lobster semakin marak. Kiara mencatat banyak perusahaan menawarkan nelayan beralih profesi untuk menangkap benih lobster, di antaranya di Pulau Sangiang, Banten. ”Pertanyaannya, ke mana arah KKP dalam beberapa tahun ke depan. Negara tidak diuntungkan, sedangkan yang diuntungkan paling besar adalah eksportir benih dan Vietnam yang menjadi pasar terbesar benih lobster,” katanya.
Wakil Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan Bayu Priyambodo mengemukakan, benih lobster tidak tergolong spesies yang terancam punah sehingga penangkapannya tidak akan memutus mata rantai ekosistem.
Sebaliknya, mata rantai budidaya lobster perlu disiapkan. Untuk memproduksi 1 kg lobster diperlukan 20 kg pakan. Oleh karena itu, nelayan kecil perlu diedukasi untuk menyediakan pakan yang bagus. ”Mustahil memproduksi 1.000 ton lobster tanpa memperhatikan 20.000 kg pakannya. Itulah mata rantai (budidaya) yang harus dipenuhi,” katanya.
Ia menambahkan, keberlanjutan sumber daya bukan musuh ekonomi. Pengaturan dan pengelolaan lobster wajib dilakukan sehingga tidak menyangsikan spesies lobster diperdagangakan setiap tahun.