Ajang bincang dagang kian marak digelar secara virtual di tengah pandemi Covid-19 belakangan ini. Forum yang mempertemukan pedagang, atase perdagangan, dan pebisnis antarnegara ini memunculkan peluang-peluang baru.
Oleh
M Paschalia Judith/C Anto Saptowalyono/Aris Prasetyo
·5 menit baca
Siapa sangka tempe jadi salah satu alternatif daging di pasar global dan memiliki prospek sebagai menu baru warga Amerika Serikat. Siapa pula yang menyangka bahwa di tengah pandemi Covid-19, sejumlah importir di Jepang berupaya menjaga agar pasokan sejumlah produk dari Indonesia tidak susut, termasuk pisang, pete, dan jengkol.
Selain produk hortikultura dan rempah-rempah, pasar Jepang juga membuka pintu lebar-lebar bagi cangkang sawit asal Indonesia. Bayangkan, Jepang membutuhkan 10 juta ton cangkang kelapa sawit per tahun untuk bahan bakar pembangkit listrik. Padahal, sebagai produsen utama kelapa sawit dunia, Indonesia baru mengekspor 2,1 juta ton cangkang sawit ke Jepang tahun 2019.
Barangkali ada pula eksportir di Tanah Air yang masih gagap menjangkau pasar rempah-rempah ke Mesir dan India melalui jalur daring. Padahal, ada sederet laman e-dagang yang bisa dijadikan lapak untuk menjangkau pasar lebih besar.
Semua peluang itu berseliweran di ruang-ruang bincang dagang yang digelar secara virtual oleh sejumlah organisasi dan lembaga dua bulan terakhir. Pandemi Covid-19 mendorong penjajakan peluang, kerja sama, dan transaksi dagang berpindah ke ruang virtual. Ruang itu mempertemukan pedagang, pelaku usaha, dan birokrat perdagangan antarnegara.
”Produk alternatif daging, termasuk tempe, memiliki prospek jangka panjang untuk menjadi salah satu menu baru warga Amerika Serikat,” kata Konsul Jenderal RI di New York, Arifi Saiman, dalam seminar daring ”Potensi Bisnis Indonesia-Amerika Serikat” yang digelar Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri RI dengan Learn Business Anywhere dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, pertengahan Juli 2020.
Menurut Mayasari Effendi, diaspora pebisnis pembibitan dan pengolahan kedelai di AS, pandemi Covid-19 memberikan wawasan berbeda bagi warga AS untuk hidup lebih sehat. Tempe memiliki peluang karena itu dia berencana membangun pabrik tempe di Indiana, AS, secara bertahap.
Konsul Jenderal RI di Chicago, Meri Binsar Simorangkir, menambahkan, para pelaku usaha Indonesia yang ingin menembus pasar AS disarankan tidak mengekspor tempe mentah. Lama proses perjalanan dan perizinan ekspor dan bea cukai dapat mengubah rasa tempe. ”Ekspor dalam bentuk produk olahan, seperti keripik tempe, dinilai lebih bagus. Variasi keripik rasa tempe pun dimungkinkan, seperti rasa barbeku, keju, vanila, atau pedas.
Cangkang sawit
Peluang lain muncul dalam bincang ”Akses Pasar UKM Eksportir Indonesia ke Jepang” yang digelar pula secara virtual pada Selasa (14/7/2020). Dalam kesempatan itu, Presiden Direktur Japan External Trade Organization (Jetro) Jakarta Keishi Suzuki mengatakan, Jepang membutuhkan banyak cangkang kelapa sawit. Kebutuhan energi terbarukan di Jepang sedang tinggi. Sebab, saat ini ada 90 proyek pembangkit listrik yang sedang dikembangkan di Jepang.
Seluruh pembangkit itu akan menggunakan sumber energi terbarukan, terutama dari cangkang kelapa sawit (palm kernel shell) dan palet kayu. ”Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Cangkang kelapa sawit, yang merupakan limbah, bisa menjadi peluang ekspor yang efektif dari Indonesia. Nilainya untuk Jepang bisa mencapai 10 miliar yen per tahun,” kata Suzuki.
Sayangnya, pembeli cangkang kelapa sawit di Jepang kesulitan mendapatkan barang secara langsung dari pemasok yang ada di Indonesia. Pembeli harus melewati sebuah sindikasi besar untuk bisa mendapatkan cangkang kelapa sawit itu. Di satu sisi, pembeli di Jepang membutuhkan kestabilan pasokan dengan standar mutu tertentu.
Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri pada Kementerian Perdagangan Srie Agustina, Jepang adalah negara penting untuk pemasaran cangkang kelapa sawit asal Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang sepanjang 2015-2019 naik 49 persen. Pada 2019, volume impor cangkang kelapa sawit Jepang sebanyak 2,5 juta metrik ton.
Ekspor cangkang kelapa sawit Indonesia tercatat terus tumbuh. Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) mencatat, ekspor cangkang kelapa sawit Indonesia meningkat dari 1,33 juta metrik ton tahun 2014 jadi 1,39 juta metrik ton tahun 2016. Pada tahun 2017, ekspor cangkang sawit Indonesia diperkitakan 1,8 juta metrik ton atau 19,6 persen dari potensi produksi yang mencapai 9,18 juta metrik ton.
Rempah-rempah
Selain cangkang sawit, para eksportir Tanah Air berpeluang memasok produk hortikultura dan rempah-rempah ke Jepang. Sejumlah pelaku agrobisnis di Jepang tengah berupaya mempertahankan impor produk hortikultura dan rempah-rempah agar tidak turun selama pandemi Covid-19.
Perwakilan Yogi Tsusho Co Ltd, Hiroo Tokoro, saat seminar daring yang digelar Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC) Osaka, Jepang, Selasa (21/7/2020), menyatakan, permintaan saat ini mengarah ke produk asal Indonesia sebagai substitusi dari China. China memiliki empat musim, sementara Indonesia berada di wilayah tropis, yang semestinya unggul karena frekuensi panennya bisa lebih sering.
Menurut perwakilan dari Nanyang Trading Inc, Katsunari Kasugai, kualitas produk Indonesia lebih unggul dibandingkan produk Thailand dan Malaysia yang kadang tak lolos lantaran faktor pestisida. Produk hortikultura dan rempah yang diimpor Jepang antara lain cabai rawit merah, jantung pisang, pete, jengkol, honje, bawang merah, lengkuas, serai, kunyit, dan daun kare.
Pada kesempatan bincang dagang lain muncul peluang ekspor rempah dalam jumlah lebih besar ke India dan Mesir dengan memanfaatkan kanal daring. Atase Perdagangan RI di Kairo, Mesir, Irman Adi, menyebutkan, 41 persen pasar konsumen yang ada di Mesir berada di kelompok usia kurang dari 25 tahun. Karena konsumen tergolong muda, eksportir rempah Indonesia disarankan memanfaatkan kanal digital.
Sama seperti Mesir, Ketua Indonesian Trade Promotion Center Chennai, India, Kumara Jati menyarankan, pelaku usaha rempah Indonesia memanfaatkan penjualan secara daring di platform e-dagang India. Dengan jumlah penduduk India yang mencapai 1,3 miliar jiwa dan konsumsi rempah rata-rata 3,25 kilogram per kapita per tahun menjadi potensi pasar bagi Indonesia.