JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan utang pemerintah dinilai sulit dihindari di tengah pandemi Covid-19, terutama oleh kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, agar beban fiskal tidak semakin berat dan ekonomi bisa pulih secara berkelanjutan, penggunaan utang mesti efektif.
Mantan Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) sekaligus ekonom Universitas Chicago, Raghuram G Rajan, menyatakan, ketidakpastian semasa pandemi Covid-19 mendorong peningkatan utang di hampir semua negara di dunia. Sebab, kapasitas fiskal pemerintah untuk membiayai penanganan Covid-19 dan menahan kontraksi ekonomi terbatas.
IMF memproyeksikan peningkatan utang global mencapai lebih dari 100 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2020 dengan asumsi potensi kerugian akibat pandemi Covid-19 mencapai 11 triliun dollar AS. Rata-rata defisit fiskal akan melonjak hingga 14 persen, baik di negara maju maupun berkembang.
Di negara berkembang, tingginya kebutuhan pembiayaan disiasati dengan monetisasi utang. Caranya, bank sentral membeli surat utang pemerintah dengan dibarengi penurunan suku bunga acuan. Kebijakan ini memang dibutuhkan sementara waktu, tetapi konsolidasi neraca pemerintah dan bank sentral tetap terbatas.
”Teori moneter modern mengatakan, tidak ada batasan untuk ekspansi neraca, tetapi sementara waktu terbatas sekitar 15 persen dari PDB. Beberapa negara hampir mencapai batas itu,” kata Rajan dalam telekonferensi DBS Asian Insights 2020 di Singapura, Kamis (23/7/2020).
Monetisasi utang juga dilakukan Indonesia. Bank Indonesia membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah senilai Rp 397,56 triliun berikut beban bunganya dengan mekanisme private placement. Di luar itu, BI juga berperan sebagai pembeli terakhir (last resort) SBN pemerintah yang tak terserap pasar.
Baca juga: Utang Pemerintah Naik, Penanganan Covid-19 Turut Andil
Menurut Rajan, monetisasi utang di beberapa negara berkembang tidak gratis. Di India, misalnya, bank sentral memperluas neraca untuk membeli surat utang pemerintah. Namun, dalam praktiknya, bank sentral meminjam dana dari bank dengan suku bunga acuan dan memberikan pinjaman ke pemerintah. Ada harga yang tetap harus dibayar.
Ketua Otoritas Moneter Singapura Tharman Shanmugaratnam menambahkan, pemerintah harus mengantisipasi implikasi jangka panjang dari kenaikan utang. Pasar keuangan global masih diliputi ketidakpastian akibat Covid-19 dan tensi geopolitik Amerika Serikat-China. Di sisi lain, kebutuhan anggaran untuk belanja mandatori terus meningkat, terutama pendidikan, kesehatan, dan riset.
Paruh kedua
Secara terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat, lonjakan utang tidak hanya dialami Indonesia. Beberapa lembaga internasional menyebutkan, kebutuhan dana untuk penanganan Covid-19 lebih tinggi dari krisis akibat Perang Dunia I dan II ataupun krisis finansial global tahun 1997-1998.
Indonesia tidak punya pilihan selain meningkatkan utang demi menahan kontraksi ekonomi agar tidak semakin dalam. Kementerian Keuangan memproyeksikan, rasio utang terhadap PDB melonjak dari kisaran 30 persen tahun 2019 menjadi 37-38 persen tahun 2020. Bank Dunia bahkan memproyeksikan rasio utang Indonesia akan mencapai 40 persen PDB.
”Yang harus diperhatikan, jangan sampai utang melonjak tetapi program pemulihan ekonomi nasional tidak efektif. Kondisi ini akan membuat kinerja ekonomi semakin terkontraksi,” kata Eko.
Menurut Eko, penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional pada paruh kedua akan menentukan Indonesia, apakah akan mengalami resesi atau tidak. Jika realisasi penyerapan anggaran masih di bawah 30 persen, besar kemungkinan pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan II-2020 akan berlanjut di triwulan III-2020, yang artinya resesi.
Baca juga: ”Burden Sharing” Jaga Kesinambungan Utang dan Pasar SBN
Indef memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 berkisar negatif 3,26 hingga negatif 3,28 persen, sementara pada triwulan III-2020 negatif 1,3 persen. Sementara proyeksi pemerintah, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 cukup dalam, yakni berkisar negatif 3,5 hingga negatif 5,1 persen.
”Kontraksi pertumbuhan ekonomi tak akan semakin dalam apabila indeks keyakinan konsumen membaik. Perbaikan indeks keyakinan konsumen dipengaruhi efektivitas penggunaan utang untuk program pemulihan ekonomi,” kata Eko.
Survei Konsumen oleh BI pada Juni 2020 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi mulai membaik, yakni naik tipis dari 77,8 pada Mei 2020 menjadi 83,8 pada Juni 2020.
Pemerintah daerah
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, percepatan penyerapan sejumlah program pemulihan ekonomi nasional tidak terlepas dari peran pemerintah daerah. Jika dukungan minim, pemerintah daerah dapat dikenai sanksi karena dianggap tidak menjalankan program strategis nasional.
Belanja pemerintah daerah, terutama terkait penanganan Covid-19, harus digenjot dalam enam bulan ke depan. Jangan sampai anggaran yang sudah disalurkan pemerintah pusat mengendap di rekening kas khusus daerah. Dalam kondisi normal, penyerapan anggaran memang kerap terkendala masalah teknis, politis, dan hukum.
”Saat ini pemerintah berhadapan dengan momentum dan berbagai risiko yang mengikutinya. Jangan sampai karena penyerapan anggaran rendah, perekonomian triwulan III dan IV-2020 semrawut yang berujung ke peningkatan kemiskinan,” ujarnya.