Berganti Gaya untuk Tetap Eksis di Era Normal Baru
Dunia mode dinilai tidak akan ada matinya, tetapi dengan syarat harus mampu beradaptasi sesuai kebutuhan masyarakat, khususnya di era adaptasi kebiasaan baru.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang fashion atau mode dituntut mampu beradaptasi dengan tren permintaan konsumen yang berubah dan memanfaatkan penjualan secara dalam jaringan pada era normal baru. Sejauh ini, industri mode berperan besar dalam menopang kegiatan perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2018, dari total 64,14 juta unit usaha mikro dan kecil, jumlah perusahaan mikro dan kecil industri pakaian jadi mencapai 564.745 unit. Adapun jumlah perusahaan mikro dan kecil industri tekstil sebanyak 261.524 unit.
Pada triwulan III-2019, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tumbuh 15,08 persen dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 1,5 juta orang.
Kompas mencatat, Indonesia berada di urutan ke-8 dari 10 besar eksportir pakaian jadi. Nilai ekspor pada 2018 sebesar 9 miliar dollar AS yang menjadikan Indonesia berkontribusi 1,8 persen pada ekspor pakaian jadi secara global.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop dan UKM) Teten Masduki menyampaikan, meski tampak kecil, para pelaku usaha di bidang mode memiliki peran besar bagi ekonomi Indonesia. Pemerintah pun berupaya memberikan bantuan dari segi pembiayaan, mulai dari kredit usaha rakyat, stimulus, hingga pelatihan.
”Kami menaruh harapan kepada para pelaku UMKM bidang mode dan industri tekstil produk tekstil dari hulu, tengah, hingga ke hilir karena kalianlah yang menentukan kelangsungan industri dan produksi tekstil Tanah Air. Semoga UMKM mode siap melakukan perubahan dan inovasi dengan memanfaatkan platform daring (dalam jaringan),” tutur Teten dalam webinar Strategi UKM Fesyen di Era Kenormalan Baru, Kamis (23/7/2020).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, pelaku usaha mode harus menyusun strategi bisnis di masa adaptasi kebiasaan baru. Mulai dari optimalisasi produk dan layanan bagi konsumen hingga meluaskan pasar melalui platform daring.
Inovasi atau terobosan baru juga harus dihadirkan untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat di era adaptasi kebiasaan baru. Oleh sebab itu, perlu ada kemauan dari pelaku usaha untuk mengubah model bisnis dan keluar dari zona nyaman.
Kami menaruh harapan kepada para pelaku UMKM bidang mode dan industri tekstil produk tekstil dari hulu, tengah, hingga ke hilir karena kalianlah yang menentukan kelangsungan industri dan produksi tekstil Tanah Air.
Sebagai contoh, industri pakaian kini bisa memproduksi masker kain sebagai bagian dari mode masyarakat. Selain itu, bisa juga memproduksi pakaian rumah mengingat masyarakat kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
”Tekstil ini enggak akan ada matinya dengan catatan pemerintah harus mendukung kegiatan usaha tersebut. Untuk itu, mari kita duduk bersama agar kami tahu apa yang perlu disubsidi sehingga pelaku usaha bisa berdaya saing,” kata Gati.
Dampak Covid-19 bagi dunia usaha dirasakan langsung oleh Riri Rengganis, pemilik usaha mode dengan merek Indische dan Rengganis. Ia mengatakan, omzet menurun hingga 80 persen saat awal-awal pandemi.
”Penjualan kebaya dan kain batik sempat menurun dan kemudian saya berinovasi dengan mencari produk yang paling relevan, yaitu masker. Ternyata, masker ini menyelamatkan usaha saya,” kata Riri.
Perlu ada kemauan dari pelaku usaha untuk mengubah model bisnis dan keluar dari zona nyaman.
Inovasi yang ia lakukan adalah memadankan masker dengan koleksi lama untuk ditawarkan kepada pelanggan setia. Selain itu, masker juga dapat menjadi ”pancingan” untuk mengenalkan merek kepada para pelanggan baru.
Menurut dia, dalam beradaptasi dengan kebiasaan baru, tidak cukup hanya bertransformasi digital. Pelaku usaha harus memiliki hubungan personal dengan pelanggan, menjadikan teman sebagai modal utama, dan memiliki koleksi yang siap pakai.
Dukungan
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menyampaikan, dalam rangka mendukung produktivitas dari UMKM di bidang mode, para anggota asosiasi akan mengadakan pusat penjualan tekstil dalam skala kecil. Upaya ini dilakukan agar para pelaku usaha tidak terhambat memenuhi bahan baku.
Jemmy mengatakan, proyek percontohan untuk mengadakan pusat penjualan tekstil ditargetkan pada Agustus 2020 di Bandung. Proyek ini akan dihadirkan secara digital melalui katalog elektronik yang akan menjadi tempat bagi pelaku UMKM untuk berbelanja.
”Jadi, nantinya pelaku UMKM bisa membeli tekstil, misalnya hanya 5 atau 10 meter. Kalau proyek ini sukses, kami akan hadirkan juga di setiap provinsi sehingga memberi kemudahan bagi UMKM yang selama ini jarang dilirik, padahal berpotensi besar,” kata Jemmy.
Besarnya penyerapan bahan baku oleh pelaku UMKM di bidang mode dirasakan oleh Direktur Perusahaan Asia Pacific Rayon Basrie Kamba. Asia Pacific Rayon merupakan produsen serat terintegrasi pertama dan terbesar di Indonesia yang memproduksi serat rayon sebagai bahan baku industri tekstil dengan kapasitas produksi mencapai 240.000 ton per tahun.
”Saat banyak pusat perbelanjaan sulit bernapas, pelaku UMKM ternyata cukup banyak menyerap bahan rayon dalam negeri yang kami produksi. Untuk itu, kami juga ingin bekerja sama dengan asosiasi dalam membantu pelaku UMKM memenuhi kebutuhan bahan baku tekstil,” kata Basrie.