Rencana membolehkan penggunaan kembali cantrang menuai protes. Konflik antarnelayan bisa terjadi. Padahal, nelayan semestinya disejahterakan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Kebijakan pemerintah melegalkan beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang menuai sorotan. Legalisasi sejumlah alat tangkap tersebut memicu polemik hingga ke tingkat nelayan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang merevisi 18 peraturan di lingkup sektor perikanan tangkap yang dinilai menghambat dunia usaha. Revisi untuk mendorong investasi itu, antara lain, berujung pada melegalkan penggunaan delapan jenis alat penangkapan ikan. Alat tangkap itu berupa pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga alat tangkap pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Pelonggaran alat tangkap diatur dalam revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan serta Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI. Dalam Permen KP No 71/2016 disebutkan, alat tangkap berupa cantrang, dogol, dan pukat udang (pukat hela dasar udang) tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi guna mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Cantrang yang tergolong alat tangkap pukat tarik memiliki banyak varian dan penyebutan di daerah, misalnya arad, garok, payang, dan dogol. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2018, terdapat 1.223 kapal cantrang dan sejenisnya di pantai utara Jawa.
Pada saat cantrang dilarang, reaksi keras muncul dari pelaku usaha dan asosiasi nelayan. Unjuk rasa bermunculan, menyuarakan ketidaksetujuan. Seiring bergulirnya unjuk rasa, pemerintah berkompromi dengan memberlakukan masa peralihan cantrang ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Selama masa transisi, kapal cantrang beroperasi terbatas berbekal surat keterangan melaut. Pemerintah menyiapkan 89 spesifikasi alat tangkap yang dinilai ramah lingkungan untuk menggantikan cantrang dan sejenisnya.
Berbalik arah
Kini, pemerintah berencana melegalkan kembali cantrang dengan harapan dapat mengendalikan dan memastikan penggunaan cantrang mematuhi standar ramah lingkungan. Penyusunan revisi aturan dinilai telah mempertimbangkan hasil kajian, karakteristik alat untuk menangkap, dan sifat alat tangkap tersebut (Kompas, 10/6/2020).
Namun, rencana legalisasi kembali cantrang menuai penolakan dari kalangan perempuan nelayan dan nelayan tradisional. Konflik antara nelayan cantrang dan nelayan tradisional serta tumpang tindih daerah penangkapan ikan berpotensi kian masif. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mencatat, hampir tidak ada penyelesaian konflik nelayan tradisional dengan nelayan cantrang.
Adapun catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan, perseteruan nelayan tradisional dengan nelayan cantrang dan sejenisnya terus berlangsung kendati penggunaan cantrang dilarang. Berdasarkan riset Kiara pada 2018, konflik horizontal nelayan tersebut, antara lain, berlangsung di Demak, Jepara, dan Kendal (Jawa Tengah); Indramayu (Jawa Barat); serta Sumatera Utara. Konflik berpotensi meluas jika cantrang diizinkan boleh digunakan lagi. Risiko lain, keberlanjutan sumber daya ikan terancam.
Namun, rencana legalisasi kembali cantrang menuai penolakan dari kalangan perempuan nelayan dan nelayan tradisional.
Investasi yang didorong pemerintah melalui sejumlah pelonggaran aturan—tanpa diimbangi pengendalian dan pengawasan—hanya akan memperlebar ruang konflik antarnelayan. Konflik horizontal yang dibiarkan akan memukul nasib nelayan kecil dan tradisional. Padahal, 97 persen dari 2,2 juta nelayan Indonesia merupakan nelayan kecil.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam sejumlah kesempatan menyebutkan, salah satu tugas utama yang dimandatkan Presiden adalah memperbaiki komunikasi dengan nelayan dan membuat nelayan sejahtera. Saat ini merupakan momentum untuk membuktikan komitmen pemerintah mengayomi semua lapisan, tidak hanya memperjuangkan kepentingan investasi.