Simplifikasi Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Kala Pandemi Makin Rumit
Kebijakan cukai hasil tembakau memiliki banyak tujuan, yaitu pengendalian konsumsi, penerimaan negara, serta aspek bisnis dan ketenagakerjaan. Di kala pandemi, upaya mencapai tujuan dan simplifikasinya makin rumit.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berimbas pada upaya penyederhanaan kebijakan cukai hasil tembakau. Persoalan penyederhanaan kebijakan itu menjadi kian kompleks mengingat penerimaan negara pada tahun ini bakal jeblok akibat imbas penyakit yang disebabkan virus korona baru itu.
Partner of Tax Research and Training Services DDTC B Bawono Kristiaji mengatakan, kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) memiliki banyak tujuan, yaitu pengendalian konsumsi, penerimaan negara, serta aspek bisnis dan ketenagakerjaan industri hasil tembakau. Upaya menyeimbangkan ketiga hal tersebut dinilai cukup rumit dan merupakan dilema dari tahun ke tahun di Indonesia, apalagi di tengah pandemi ini.
”Menyeimbangkan tiga agenda itu dalam kebijakan CHT adalah sebuah seni tersendiri. Sesuatu yang cukup rumit,” kata Bawono dalam seminar daring bertajuk ”Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang Berkepastian dan Berimbang” di Jakarta, Selasa (21/7/2020.
Kebijakan CHT memiliki banyak tujuan, yaitu pengendalian konsumsi, penerimaan negara, serta aspek bisnis dan ketenagakerjaan industri hasil tembakau. Di tengah pandemi Covid-19, persoalan dan upaya penyederhaan kebijakan untuk mencapai tiga tujuan itu semakin kompleks.
Di tengah pandemi Covid-19, persoalan dan upaya penyederhaan kebijakan untuk mencapai tiga tujuan itu semakin kompleks. Pertama, konsumsi tetap perlu dikendalikan untuk menjaga kesehatan serta daya beli masyarakat.
Kedua, industri hasil tembakau juga tetap perlu berjalan karena banyak melibatkan berbagai elemen penopang ekonomi, seperti petani tembakau, asosiasi usaha, dan berbagai unit pemerintahan, mulai dari sektor keuangan, perindustrian, hingga kesehatan.
Ketiga, saat ini kondisi keuangan negara hampir terkuras habis untuk pembiayaan penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Negara juga tengah membutuhkan pemasukan pendapatan dari pajak dan cukai, salah satunya CHT.
Menurut Bawono, apabila kebijakan CHT hanya berorientasi pada pengendalian konsumsi, aspek lain bisa jadi tidak terlalu menggembirakan. Demikian pula sebaliknya.
Peninjauan dan penataan kembali kebijakan CHT dinilai penting dan mendesak dilakukan. Saat pandemi Covid-19 ini, keuangan negara sedang tidak terlalu menggembirakan. Penerimaan pajak tidak optimal ketika aktivitas ekonomi tengah lesu.
”Aspek kesehatan pun perlu dikedepankan karena pandemi Covid-19 menyangkut krisis kesehatan. Namun, di sisi lain, menjaga iklim usaha dibutuhkan untuk menghindari pemutusan hubungan kerja dan penutupan kegiatan operasional perusahaan,” katanya.
Aspek kesehatan pun perlu dikedepankan karena pandemi Covid-19 menyangkut krisis kesehatan. Di sisi lain, menjaga iklim usaha dibutuhkan untuk menghindari pemutusan hubungan kerja dan penutupan kegiatan operasional perusahaan.
Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro menuturkan, persoalan yang selama ini dihadapi antara lain tidak adanya kesesuaian antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (harga transaksi pasar/HTP) dan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (HJE). Akibatnya, predatory pricing dan perang harga antarpabrikan sulit untuk dihindari sehingga fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi rokok tidak optimal.
Selain itu, kenaikan tarif CHT dan HJE kerap tidak menentu, baik antargolongan maupun antarjenis hasil tembakau. Penetapan tarif CHT dan HJE yang tidak konsisten dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi produktivitas para pelaku pasar. Kondisi ini juga dapat berpengaruh pada peredaran rokok ilegal.
”Apabila kenaikan HJE terlalu tinggi, konsumen berpotensi memilih untuk mengonsumsi produk ilegal dengan harga yang lebih murah. Apalagi, HJE merupakan harga penentu keputusan konsumen,” ujarnya.
Menurut Denny, dampak dari beragam persoalan ini berpotensi menyebabkan shortfall (realisasi lebih rendah dari target yang ditetapkan) penerimaan CHT pada 2020. Ini juga karena pelemahan ekonomi sebagai dampak Covid-19.
”Kami memperkirakan akan terjadi shortfall penerimaan CHT sebesar Rp 1,37 triliun menjadi Rp 163,58 triliun. Penerimaan ini lebih rendah dari target CHT yang telah ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan APBN 2020, yakni Rp 164,95 triliun,” katanya.
Kami memperkirakan akan terjadi shortfall penerimaan CHT sebesar Rp 1,37 triliun menjadi Rp 163,58 triliun.
Untuk itu, DDTC Fiscal Research memberikan sejumlah rekomendasi dan usulan kebijakan terkait dengan CHT. Pertama, melanjutkan peta jalan simplifikasi strata tarif CHT yang mengacu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 146/2017.
Kedua, menetapkan nilai optimal atas jarak tarif CHT dan HJE. Ketiga, menghapus diskrepansi (ketidakcocokan, ketidaksesuaian) rasio HTP dan HJE untuk mengoptimalkan fungsi pengendalian konsumsi produk tembakau.
Keempat, menjamin rencana simplifikasi struktur CHT nasional yang telah disusun dalam Peraturan Presiden No 18/2020 dan PMK No 77/2020 dapat diimplementasikan efektif ke dalam suatu cetak biru kebijakan CHT.