Petambak udang mengeluhkan perizinan yang berbelit dan minim sosialisasi. Kasus hukum yang menjerat sejumlah pembudidaya di Tanah Air dinilai tidak lepas dari problem itu. Pemerintah menjanjikan penyederhanaan izin.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha budidaya udang mengeluhkan aturan perizinan usaha yang berbelit. Saat ini, terdapat 21 izin yang harus dipenuhi petambak udang, tetapi sosialisasi terkait ketentuan tersebut dinilai masih minim.
Kasus hukum yang menjerat sejumlah pembudidaya di Tanah Air dinilai tidak lepas dari problem tersebut. Pada pelaku usaha berharap pemerintah menyederhanakan aturan agar subsektor perikanan budidaya bisa berkembang.
Mas’ud Alpatara, pembudidaya udang di Desa Labuhan, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, menyebutkan, tambak udang berukuran 30 meter x 25 meter yang dia kelola sejak tahun 1995 itu hanya berbekal surat izin usaha perikanan (SIUP) dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lamongan.
Mas’ud mengaku baru mengetahui bahwa ada 21 izin yang wajib dipenuhi ketika tambaknya diperiksa aparat pada Juni 2020. Ia mengaku sempat dipanggil kepolisian terkait terkait masalah perizinan.
”Kami selama ini belum mengurus (izin) apa pun karena tidak ada sosialisasi tentang perizinan dari dinas. Tiba-tiba kami dipermasalahkan aparat terkait perizinan yang tidak lengkap,” kata Mas’ud, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (20/7/2020).
Menurut Mas’ud, syarat 21 izin itu membebani petambak karena pengurusannya melibatkan sejumlah instansi di tingkat pusat dan daerah, antara lain, pemerintah pusat, dinas energi sumber daya mineral, dinas kelautan dan perikanan, dinas lingkungan hidup, serta dinas penanaman modal.
Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Jawa Barat Joko Sasongko berpendapat, minimnya pemahaman terkait perizinan membuat sejumlah petambak terjerat persoalan hukum. Pada tahun 2014, pihaknya mengonfirmasi terdapat 14 izin usaha tambak udang, tetapi pada 2019 jumlahnya meningkat menjadi 21 izin.
Dia mencontohkan, sebagian pembudidaya udang selama ini memanfaatkan generator set (genset) untuk cadangan listrik bagi kincir tambak. Namun, penggunaan genset saat ini wajib memenuhi sejumlah syarat, antara lain, izin operasi genset, penampungan bahan bakar minyak (BBM), dan sertifikat layak operasi.
”Yang kami sayangkan, petambak tidak pernah dapat sosialisasi dan unsur pembinaan. Begitu mereka tidak melaksanakan, terancam kena sanksi denda dan pidana,” kata Joko.
Sederhanakan
Menurut data SCI, persoalan hukum yang menimpa pembudidaya akibat perizinan, antara lain, terjadi di Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Masalah perizinan juga membebani petambak udang dengan luas lahan kurang dari 5 hektar.
”Kami berharap pemerintah menyederhanakan perizinan agar investasi tambak udang semakin giat. Kalau masalah izin (membebani) seperti ini, siapa mau investasi,” kata Joko.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menempatkan pengembangan produksi udang sebagai Program Prioritas Perikanan tahun 2019-2024. Selama kurun 2020-2024, produksi udang ditargetkan meningkat 2,5 kali lipat. Upaya itu antara lain ditempuh dengan mengembangkan sentra-sentra potensial.
Secara terpisah, Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengemukakan, pemerintah sedang melakukan penyederhanaan perizinan untuk investasi udang. ”Izin yang ada sedang diproses untuk disederhanakan dari 21 izin menjadi 6 izin, khusus untuk investasi udang,” katanya.