Kebijakan legalisasi cantrang dan benih lobster dinilai sebagai bentuk kegagalan pemerintah untuk menjaga komitmen keberlanjutan dan peningkatan kesejahteraan nelayan. Konflik antarnelayan berpotensi makin marak.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah membuka ekspor benih lobster dan melegalkan alat tangkap cantrang dan sejenisnya dikhawatirkan menyulut konflik horizontal antarnelayan semakin marak. Pemerintah dinilai mengabaikan perlindungan terhadap nelayan kecil dan sebaliknya lebih berpihak kepada kepentingan investor.
Legalisasi ekspor benih lobster dan penggunaan alat tangkap cantrang dan sejenisnya merupakan bagian dari revisi 18 peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan di sektor perikanan tangkap. Kebijakan ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditetapkan pada 4 Mei 2020.
Pemerintah juga segera merevisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang dilarang akan diizinkan untuk digunakan lagi. Alat tangkap itu, antara lain, trawl udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik. Ada juga pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Situs kkp.go.id merilis kebijakan pelarangan cantrang yang menyebut cantrang sebagai alat tangkap yang merusak ekosistem lautan. KKP mengutip data WWF Indonesia di mana 60-82 persen hasil tangkapan cantrang merupakan tangkapan sampingan atau tidak dimanfaatkan. Selain itu, penggunaan cantrang telah menimbulkan konflik horizontal antarnelayan.
Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia Masnuah, Selasa (21/7/2020), mengemukakan, rencana pemerintah melegalkan cantrang dan sejenisnya menimbulkan kegelisahan perempuan nelayan di Demak yang selama ini menggantungkan pendapatan dari tangkapan rajungan. Cantrang yang tergolong alat tangkap pukat tarik memiliki banyak varian dan penyebutan di daerah, seperti arad, garok, dan dogol.
Konflik kerap terjadi dengan nelayan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Kapal nelayan rajungan kerap ditabrak oleh kapal arad dan jaring rajungan hilang. Tidak ada penyelesaian sesama komunitas nelayan.
”Ketika cantrang dilarang, masih banyak terjadi konflik antara nelayan dan nelayan cantrang. Apabila cantrang diizinkan lagi, konflik horizontal antarnelayan akan semakin besar,” kata Masnuah dalam telekonferensi pers yang digelar Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Konflik kerap terjadi dengan nelayan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Kapal nelayan rajungan kerap ditabrak oleh kapal arad dan jaring rajungan hilang. Tidak ada penyelesaian sesama komunitas nelayan.
Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara Tris Zamanzyah menyatakan, kebijakan legalisasi pukat harimau dan sejenisnya, termasuk cantrang, merupakan langkah mundur KKP. Dampak legalisasi cantrang dinilai akan menimbulkan kerugian luar biasa bagi nelayan tradisonal.
Faktanya, cantrang dan sejenisnya itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mengeruk berbagai jenis ikan dari ukuran kecil sampai besar, serta merusak lingkungan.
”Kami akan terus menolak cantrang dan sejenisnya dengan berbagai cara demi keberlangsungan sumber daya ikan di nusantara. Kami menjaga laut untuk keberlangsungan sumber kehidupan kami di laut,” katanya.
Tris menambahkan, kebijakan pemerintah seharusnya berpihak pada nelayan tradisional dan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Eksploitasi ikan besar-besaran akan menghancurkan stok sumber daya ikan. Legalisasi cantrang juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Perikanan yang melarang alat tangkap tidak ramah lingkungan.
”Pemerintah seharusnya melihat lebih jauh sejarah trawl, bagaimana sejarah alat tangkap ini dan perlawanan nelayan tradisional yang melawan alat tangkap merusak lingkungan, agar paham akar masalah penggunaan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati mengemukakan, dinamika kebijakan kelautan dan perikanan kehilangan arah dalam konteks kedaulatan dan kesejahteraan. Arah kebijakan legalisasi cantrang dan ekspor benih lobster dinilai mendorong liberalisasi pemanfaatan sumber daya ikan, tetapi tidak berpihak pada nelayan tradisional ataupun pembudidaya lobster.
”Era sebelumnya, KKP menyebut cantrang merusak. Kini, ganti menteri, cantrang dilegalkan lagi. Jangan sampai kebijakan di KKP hanya dibuat seusai pesanan. Muncul kesan, pemerintah membuka menu kepada para investor besar dan tidak bicara dalam konteks nelayan tradisional,” katanya.
Era sebelumnya, KKP menyebut cantrang merusak. Kini, ganti menteri, cantrang dilegalkan lagi. Jangan sampai kebijakan di KKP hanya dibuat seusai pesanan.
Susan juga menyoroti kebijakan ekspor benih lobster yang merupakan kegagalan pemerintah. Dari 32 perusahaan yang sudah memperoleh rekomendasi izin ekspor benih lobster, sebanyak 25 persen di antaranya perusahaan baru. Ia mempertanyakan transparansi dan mekanisme pemilihan perusahaan eksportir, serta jaminan keberlanjutan sumber daya lobster.
”Pemerintah berlindung di balik benih lobster yang berlimpah, tetapi mengabaikan fakta bahwa ada rantai pangan dan ekosistem yang terganggu jika eksploitasi benih lobster berlangsung bersa-besaran. Nelayan mana yang didorong sejahtera?” ujarnya.
Di sisi lain, kata Susan, ekspor benih lobster juga melanggar Permen KP No 12/2020 yang mensyaratkan eksportir benih telah berhasil budidaya lobster. Masa pembesaran lobster membutuhkan waktu satu tahun, sedangkan ekspor berlangsung satu bulan sejak peraturan diterbitkan.
”Pemerintah telah menerabas peraturan yang dibuat sendiri,” katanya.
Kepala Riset Kebijakan Ekonomi Kelautan Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana menuturkan, legalisasi cantrang bertentangan dengan komitmen pemerintah mendorong keberlanjutan perikanan dan mengulang kembali perdebatan lama terkait kelayakan cantrang.
Di sisi lain, sudah ada kesepakatan nelayan cantrang untuk beralih ke alat tangkap yang ramah lingkungan. ”Pemerintah seharusnya mengawal pengalihan cantrang ke alat tangkap ramah lingkungan dan bukan mengulang perdebatan lama yang tidak kunjung selesai,” katanya.
Secara terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengemukakan, tantangan pasar ekspor perikanan semakin besar karena ketatnya persyaratan impor negara tujuan dan persaingan di antara negara eksportir perikanan. AS yang merupakan negara tujuan utama ekspor perikanan menerapkan persyaratan semakin ketat, mencakup unsur keamanan produk pangan ataupun keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan.
Persyaratan ketat AS itu di antaranya penerapan regulasi terkait keamanan pangan dan program pengawasan impor produk makanan laut. Dalam waktu dekat, AS juga akan memberlakukan Ketentuan Impor Undang-Undang Perlindungan Kelautan Mamalia AS (US Marine Mammal Protection Act Import Provisions).
”Ini tantangan bagi eksportir perikanan Indonesia, sekaligus peluang, mengingat Indonesia memiliki kebijakan yang sejalan dengan Pemerintah AS dalam hal keamanan produk pangan dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam,” katanya dalam seminar daring Tantangan dan Peluang Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan ke Amerika Serikat, Selasa.