Serapan Rendah, Evaluasi Stimulus bagi Dunia Usaha
Perlu dievaluasi apakah insentif dunia usaha efektif atau tidak. Kalau tidak efektif, alihkan saja sebagian dananya untuk bantuan langsung tunai.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mengevaluasi stimulus dunia usaha karena efektivitas dan penyerapannya rendah. Sebagian anggaran stimulus dunia usaha sebaiknya dialihkan ke bantuan langsung tunai untuk mengungkit daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penyerapan insentif dunia usaha per 17 Juli 2020 baru Rp 13,53 triliun atau 11,22 persen dari pagu. Pemerintah mengalokasikan insentif dunia usaha Rp 120,61 triliun untuk tahun ini, yang sebagian besar berupa insentif Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menteri Keuangan periode 2013-2014 M Chatib Basri, Senin (20/7/2020), menuturkan, penyerapan dan efektivitas stimulus dunia usaha sangat minim karena tidak ada permintaan. Produktivitas perusahaan masih rendah sehingga urgensi mengajukan insentif pajak dikesampingkan. Kondisi ini berkorelasi dengan lambanya transmisi penurunan suku bunga acuan dan rendahnya pengajuan kredit.
Banyak perusahaan merugi dan tidak mampu bayar pajak karena pandemi Covid-19 menekan sisi permintaan dan penawaran. Rendahnya pendapatan menyebabkan pengusaha tidak mengajukan insentif pajak. Kondisi ini menyebabkan realisasi penyerapan stimulus pajak ke dunia usaha pun sangat rendah.
”Perlu dievaluasi apakah insentif dunia usaha efektif atau tidak. Kalau tidak efektif, alihkan saja sebagian dananya untuk bantuan langsung tunai,” kata Chatib dalam diskusi daring bertajuk ”Menjaga Kelangsungan Ekonomi Indonesia dari Pandemi Covid-19” di Jakarta.
Menurut Chatib, jalan panjang pemulihan ekonomi nasional mesti diawali dengan menumbuhkan daya beli masyarakat. Setelah daya beli tumbuh, baru berbagai kebijakan moneter dan stimulus dunia usaha bisa terserap. Kebijakan moneter mesti didukung program penjaminan pemerintah dan subsidi suku bunga untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Kebijakan efektif untuk menumbuhkan daya beli adalah bantuan langsung tunai (BLT). Program BLT bukan hanya untuk penduduk miskin, melainkan juga penduduk kelas menengah bawah. Pemberian bantuan tunai lebih cepat memutar roda ekonomi karena langsung dibelanjakan oleh masyarakat.
”Dulu hemat pangkal kaya, sekarang belanja pangkal pemulihan ekonomi,” katanya.
Jalan panjang pemulihan ekonomi nasional mesti diawali dengan menumbuhkan daya beli masyarakat. Setelah daya beli tumbuh, baru berbagai kebijakan moneter dan stimulus dunia usaha bisa terserap.
Chatib menambahkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia, bukan sebaliknya. Jika konsumsi tumbuh, investasi pada triwulan depan dipastikan ikut tumbuh. Konsumsi rumah tangga menjadi lompatan untuk memulai pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, semua program bantuan sosial (bansos) diperpanjang dari semula sampai September menjadi Desember 2020, termasuk bantuan langsung tunai (BLT). Target penerima BLT tetap, tetapi besaran dikurangi 50 persen. Penyaluran BLT efektif mendorong daya beli.
”Program bansos diperpanjang karena pandemi Covid-19 diperkirakan terjadi sampai akhir tahun. Sebelumnya, pemerintah mengira Covid-19 hanya berlangsung 3-6 bulan,” ujarnya.
Program bansos diperpanjang karena pandemi Covid-19 diperkirakan terjadi sampai akhir tahun. Sebelumnya, pemerintah mengira Covid-19 hanya berlangsung 3-6 bulan.
Mengutip Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sejauh ini pemerintah baru memberikan BLT kepada 30 keluarga melalui empat program, yaitu 10 juta keluarga melalui Program Keluarga Harapan (PKH), 9 juta keluarga penerima bansos tunai, dan 11 juta keluarga penerima BLT desa. Besaran BLT setiap program berbeda.
PKH diberikan untuk kelompok rumah tangga di bawah 10 persen sampai 20 persen (desil 1 dan 2), bantuan sosial tunai untuk kelompok 40 persen termiskin (desil 4), dan BLT desa untuk kelompok 40-50 persen termiskin (desil 4-5). Rumah tangga dalam kelompok 30 persen termiskin tidak mendapat BLT.
Pembukaan ekonomi
Chatib berpendapat, situasi belum normal kendati kegiatan ekonomi sudah dibuka secara bertahap mulai Juni 2020. Sebagian penduduk masih bekerja dari rumah, terutama kelompok kelas menengah atas. Jumlah kunjungan ke mal atau toko juga relatif rendah atau di bawah 50 persen dari sebelum terjadi Covid-19.
Laporan mobilitas penduduk per 12 Juli 2020 yang dirilis Google menyebutkan, kegiatan ekonomi sudah berjalan, tetapi masih 20 persen di bawah normal. Geliat di sektor makanan dan obat-obatan 23 persen di bawah normal. Penduduk yang bekerja dari rumah mulai berkurang dibandingkan Maret, tetapi masih 10 persen di atas normal.
”Kalau toko dan mal mulai dibuka, tetapi kunjungan dan pembelian masih rendah, ini harus diantisipasi,” kata Chatib.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengemukakan, bauran kebijakan moneter dan fiskal dibutuhkan dalam kondisi saat ini. Setidaknya ada tiga hal yang dibutuhkan melalui bauran kebijakan pemerintah dan BI, yaitu pemberian penjaminan, injeksi likuiditas, dan bansos.
Perlambatan kegiatan ekonomi masih akan berlangsung sampai akhir tahun, bahkan sampai vaksin ditemukan.
Pembagian beban (burden sharing) antara pemerintah dan BI bukan tanpa risiko. Beberapa risiko yang perlu diwapadai adalah laju inflasi, kurs rupiah, dan modal internal BI. Ketiga risiko itu sudah dimitigasi dan dijamin tidak terjadi tahun ini. Inflasi masih diperkirakan berkisar 2-4 persen dan kurs rupiah akan stabil.
”BI punya bauran kebijakan untuk memitigasi dampak Covid-19 atau semasa pemulihan ekonomi,” katanya.
Destry menambahkan, pemulihan ekonomi nasional akan lebih lambat dari perkiraan awal. Kemungkinan pola pemulihan ekonomi membentuk huruf U bukan V karena puncak pandemi Covid-19 di Indonesia belum terlihat. Perlambatan kegiatan ekonomi masih akan berlangsung sampai akhir tahun, bahkan sampai vaksin ditemukan.