Hasil Pengujian Menjanjikan, Pengembangan Bahan Bakar Berbasis Kelapa Sawit Berlanjut
Bahan bakar minyak berbasis kelapa sawit terus dikembangkan di Indonesia. Dari hasil kajian, bahan bakar ini dinilai lebih ramah lingkungan. Hal lain yang tak kalah penting adalah bisa diproduksi di dalam negeri.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) terus mengembangkan bahan bakar minyak berbahan baku minyak kelapa sawit atau CPO untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan. Pengembangan tersebut untuk menghasilkan bahan bakar jenis gasoil, gasolin, dan avtur.
Pengujian green diesel atau diistilahkan sebagai D-100 untuk kendaraan roda empat berhasil dilakukan dan siap diproduksi massal. D-100 adalah produk turunan dari CPO yang sudah diproses lebih lanjut untuk menghilangkan getah, bau, dan bermacam kotoran lainnya. Dalam proses berikutnya, katalis dan gas hidrogen ditambahkan untuk menghasilkan bahan bakar green diesel tersebut.
Bahan bakar D-100 sudah diuji coba pada kendaraan yang menempuh jarak 200 kilometer sepanjang pekan lalu. ”Berdasar hasil uji laboratorium, angka setana (cetane number atau angka yang menunjukkan kualitas pembakaran) bahan bakar ini minimal 60 atau lebih tinggi dari bahan bakar diesel yang ada saat ini. Selain itu, emisi yang dihasilkan juga berkurang dari 2,6 persen menjadi 1,7 persen,” ujar Deputi CEO PT Kilang Pertamina Internasional Budi Santoso Syarif dalam keterangan tertulisnya.
Sebagai perbandingan, biosolar yang dijual Pertamina memiliki angka setana 48, sedangkan merek dexliter memiliki angka setana 51. Adapun solar yang lebih mahal yang diproduksi Pertamina, yakni pertamina dex, memiliki angka setana 53. Semakin tinggi angka setana, mutu bahan bakar tersebut semakin bagus.
Pertamina adalah satu-satunya dan yang pertama kali mengembangkan bahan bakar green gasoline dari produk turunan CPO.
Selain mengolah produk turunan CPO untuk bahan bakar jenis solar (gasoil), lanjut Budi, pihaknya juga sedang mengembangkan pemanfaatan untuk menghasilkan bahan bakar jenis bensin (gasolin) atau dikenal dengan istilah green gasoline.
Menurut dia, Pertamina adalah satu-satunya dan yang pertama kali mengembangkan bahan bakar green gasoline dari produk turunan CPO. Namun, pengembangan green gasoline masih sebatas skala laboratorium.
”Uji coba pemanfaatan produk turunan CPO menjadi bahan bakar avtur atau green avtur akan kami lakukan pada akhir 2020 di kilang Cilacap, Jawa Tengah,” kata Budi.
Green diesel atau D-100 diproduksi perdana di kilang Dumai, Riau. Pertamina saat ini sedang membangun kilang di Plaju yang khusus untuk mengolah produk turunan CPO menjadi berbagai jenis bahan bakar nabati. Kapasitas kilang tersebut 20.000 barel per hari dan ditargetkan rampung pada tahun 2023.
Sejak tahun 2006, Pertamina menggunakan produk turunan CPO untuk program bahan bakar biodiesel. Tahun ini, program tersebut dinamai B-30 atau pencampuran biodiesel 30 persen dan solar murni 70 persen tiap liternya. Program B-30 tahun ini membutuhkan serapan biodiesel sebanyak 8,3 juta kiloliter.
Sementara itu, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna mengatakan, saat ini pemerintah tengah meneliti dan mengembangkan program B-40 atau bahan bakar campuran biodiesel 40 persen dan solar murni 60 persen. Selain untuk memanfaatkan sumber daya CPO yang melimpah di dalam negeri, bahan bakar jenis ini terbukti lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar dari fosil.
”Saat ini sedang dikembangkan dan diujicobakan B-40, termasuk pengembangan bahan bakar nabati lainnya yang diharapkan bisa menghasilkan green diesel (D-100), green gasoline (G-100), dan green avtur (J-100) yang berbasis produk turunan CPO,” kata Andriah.
Desakan untuk menghapus BBM kotor dan tak ramah lingkungan di Indonesia sudah berulang kali disuarakan. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan bernomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O.
Dalam aturan penggunaan BBM bagi kendaraan roda empat itu, RON minimal yang dipersyaratkan adalah 91. Produk BBM di Indonesia yang memenuhi kriteria itu adalah jenis pertamax dengan RON 92.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan di masa mendatang akan ada penggantian energi yang lebih bersih untuk mengurangi beban lingkungan.
Beberapa waktu lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, di masa mendatang akan ada penggantian energi yang lebih bersih untuk mengurangi beban lingkungan. Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi VII DPR terkait rencana penghapusan bahan bakar minyak jenis premium dari pasaran. Namun, belum ada kejelasan lebih jauh kapan rencana tersebut diwujudkan.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin telah berulang kali merekomendasikan pemerintah untuk berkomitmen memperbaiki kualitas udara. Oleh karena itu, BBM dengan kandungan sulfur tinggi sebaiknya dihilangkan dari pasaran. Rekomendasi tersebut menyebut premium, pertalite, solar, dan dexlite sebagai BBM yang tak ramah lingkungan.
”Kualitas BBM di Indonesia paling rendah dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Selain menjadi beban bagi lingkungan, BBM kotor juga tak sesuai dengan spesifikasi mesin kendaraan yang ada sekarang. Sekarang waktunya bagi pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan harga BBM dan menyediakan jenis BBM yang lebih ramah lingkungan,” ujar Ahmad.