BUMN Jangan Terlena Suntikan Dana, Waspadai Celah Korupsi
Suntikan dana pemerintah ke BUMN harus memiliki parameter jelas. Di tengah pandemi, bantuan seharusnya diberikan kepada BUMN yang masih prospektif atau memang punya peran dan manfaat strategis menggerakkan ekonomi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Suntikan dana ke sejumlah badan usaha milik negara atau BUMN dinilai tidak mendidik dan membuat manajemen terlena tanpa ikhtiar perbaikan kinerja dan tata kelola. Di tengah kondisi keuangan negara yang tertekan Covid-19, keputusan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menambah daftar penerima penyertaan modal negara tidak urgen, bahkan berpotensi menyuburkan korupsi di lingkungan BUMN.
Penyertaan modal negara (PMN) kepada tujuh BUMN disetujui DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat di Jakarta, Rabu (15/7/2020). Total dana yang akan digelontorkan itu Rp 23,65 triliun. Dana yang akan digelontorkan ke PT Hutama Karya sebesar Rp 7,5 triliun, PT Permodalan Nasional Madani Rp 1,5 triliun, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia Rp 500 miliar, dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Rp 6 triliun.
Di luar empat BUMN tersebut, Komisi VI DPR dan pemerintah, Rabu lalu, juga sepakat menambah PMN untuk tiga perseroan lain, yaitu PT Perkebunan Nusantara III sebesar Rp 4 triliun, Perum Perumnas Rp 650 miliar, dan PT Kereta Api Indonesia Rp 3,5 triliun.
Ketiga perusahaan itu awalnya direncanakan hanya mendapat dana pinjaman yang harus dikembalikan ke negara dalam jangka waktu tertentu, bukan suntikan modal dari negara. Namun, atas permintaan DPR, pemerintah menyetujui mengonversi bantuan dana pinjaman itu menjadi PMN.
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Enny Sri Hartati, Jumat (17/7/2020), mengatakan, suntikan dana pemerintah ke BUMN harus memiliki parameter jelas. Di tengah pandemi Covid-19, bantuan seharusnya diberikan kepada BUMN yang masih prospektif atau memang punya peran dan manfaat strategis menggerakkan ekonomi.
Keputusan DPR dan pemerintah tidak berlandaskan parameter jelas. Beberapa BUMN memang masih pantas diberi suntikan dana. Namun, sejumlah perseroan memiliki masalah mismanajemen serta terbelit kasus korupsi seperti PTPN III. Ada pula perseroan yang sering merugi dan dinilai tidak memiliki peran strategis langsung memulihkan ekonomi atau membantu masyarakat di tengah Covid-19.
”Dalam menginvestasikan uang negara harus ada manfaatnya. Masalahnya, sekarang tidak ada kalkulasi yang jelas, seolah-olah pemerintah punya uang banyak bisa dibagi-bagi. Politik anggaran seharusnya dikedepankan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan lobi-lobi untuk kepentingan segelintir,” katanya.
Politik anggaran seharusnya dikedepankan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan lobi-lobi untuk kepentingan segelintir. (Enny Sri Hartati)
Dalam keputusan DPR dan pemerintah disebut bahwa pemberian PMN kepada tiga BUMN tambahan disebabkan perseroan itu kepemilikan sahamnya masih 100 persen dimiliki pemerintah. Berbeda dengan PT Garuda Indonesia (Persero) dan PT Krakatau Steel (Persero) yang sebagian sahamnya dimiliki swasta. Kedua BUMN ini tetap diberi dana pinjaman berupa obligasi konversi (mandatory convertible bond).
Menteri BUMN Erick Thohir mengemukakan, BUMN yang sahamnya sepenuhnya dimiliki pemerintah bisa diberi PMN. ”Kalau Garuda dan Krakatau Steel ini perlu dicari solusi lain karena kebetulan sudah public listed. Ujung-ujungnya harus mencari solusi terbaik demi kesehatan BUMN, baik dalam bentuk PMN, pencairan utang, maupun pinjaman modal kerja,” katanya.
Vice President Public Relations PT KAI Joni Martinus mengatakan, keseluruhan dana PMN akan digunakan mendanai biaya operasional untuk menjaga arus kas akhir perusahaan tetap positif.
Sebanyak 36 persen akan digunakan untuk pemenuhan biaya pegawai, 21 persen untuk perawatan prasarana termasuk bangunan, 19 persen untuk perawatan sarana perkeretaapian, 16 persen untuk biaya bahan bakar, dan 8 persen untuk pendukung operasional lainnya.
”Awalnya kami memang mengajukan dana talangan, tetapi pertimbangannya digeser menjadi PMN karena perusahaan kami 100 persen dimiliki pemerintah sehingga lebih baik dana itu diberikan dalam bentuk tambahan modal,” ujarnya.
Efek jera
Pemerhati BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menuturkan, sejumlah perseroan seperti PTPN III dan Perumnas sempat mengalami mismanajemen tata kelola BUMN sehingga menimbulkan kerugian. Pemerintah harus aktif dan tegas memberikan rambu-rambu serta mengawasi penggunaan PMN agar kerugian seperti itu tidak terulang.
Kucuran PMN, terutama ke perseroan yang kinerjanya buruk, harus diikuti dengan peta jalan yang jelas mengenai arah restrukturisaasi perseroan, disertai kontrak kerja yang jelas dengan manajemen atau direksi. Harus ada efek jera terhadap perseroan yang tidak berhasil memperbaiki kinerja meskipun sudah diberi suntikan dana.
”Jangan sampai pengelola BUMN menganggap enteng seolah-olah kalau rugi nanti pasti disuntik PMN lagi. Kalau tidak terjadi perbaikan signifikan dalam kurun waktu tertentu, sebaiknya seluruh direksi bisa segera digantikan saja,” kata Toto.
Harus ada efek jera terhadap perseroan yang tidak berhasil memperbaiki kinerja meskipun sudah diberi suntikan dana. (Toto Pranoto)
Celah korupsi
Enny mengkhawatirkan, tanpa parameter urgensi yang jelas dan pengawasan ketat, suntikan dana ke BUMN akan berujung bancakan dan semakin membuka celah korupsi. Padahal, saat ini saja sudah banyak ditemukan kasus korupsi di lingkup BUMN. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kurun 2015-2019 terdapat 51 kasus korupsi yang melibatkan BUMN/BUMD.
Baru-baru ini, pada 8 Juli 2020, Erick Thohir mengunjungi KPK untuk membicarakan sejumlah potensi korupsi di lingkungan BUMN. Dalam pertemuan tertutup dengan pimpinan KPK, meski tidak melaporkan secara rinci temuan potensi korupsi itu, Erick meminta KPK aktif mengawasi celah korupsi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), termasuk suntikan dana ke BUMN.
Beberapa aspek yang rentan dikorupsi terdapat pada proses pengadaan barang/jasa, penjualan aset dan transaksi keuangan. ”Jika miskelola BUMN selalu ditutup dengan pemberian PMN, tanpa ada parameter yang jelas dan rasional, ini berpotensi jadi modus-modus baru perampokan uang negara,” kata Enny.
Beberapa anggota DPR sempat menolak pemberian PMN kepada BUMN. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Amin AK, berpendapat, BUMN lebih baik diberi dana pinjaman daripada PMN. Ia menilai dana pinjaman bisa mendidik manajemen bahwa mereka bertanggung jawab mengembalikan uang negara. Dengan demikian, perseroan akan terdorong bekerja keras untuk memperbaiki kinerja dan kondisi keuangan perusahaan.
Hal serupa dikatakan Nasril Bahar dari Fraksi Partai Amanat Nasional. ”Sebaiknya BUMN dibiasakan untuk bertanggung jawab dengan uang negara. Dana talangan atau dana pinjaman itu hanya istilah, tetapi intinya modal kerja yang dipinjamkan oleh negara dan pada waktu tertentu harus diberikan lagi ke negara,” kata Nasril.
Senada, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, selain karena sebagian sahamnya dimiliki swasta, alasan Garuda mengajukan dana talangan dan bukan PMN adalah agar manajemen tidak menganggap enteng keadaan. ”Supaya perusahaan dijaga kelangsungannya untuk jangka panjang, tidak semata-mata mengandalkan dana talangan,” katanya.