Pemerintah Daerah Harus Bantu Percepat Penyerapan Bansos
Jangan sampai anggaran yang sudah disalurkan pemerintah pusat mengendap di rekening kas khusus daerah.
Saat ini, belanja pemerintah daerah berkontribusi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah berperan penting dan strategis untuk mempercepat penyerapan bantuan sosial ke penduduk miskin. Penyerapan bantuan sosial yang optimal akan menahan lonjakan angka kemiskinan dan ketimpangan pada akhir tahun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi anggaran perlindungan sosial per 30 Juni 2020 sebesar 35,6 persen atau Rp 72,5 triliun dari pagu yang sebesar Rp 203,9 triliun. Realisasi tertinggi adalah Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 24,1 triliun, Kartu Sembako Rp 20,5 triliun, dan bantuan sosial (bansos) tunai Rp 15,6 triliun.
Selain itu, ada juga realisasi bantuan langsung tunai (BLT) dana desa Rp 5,5 triliun, diskon tarif listrik Rp 3,1 triliun, Kartu Prakerja Rp 2,4 triliun, dan bansos sembako Rp 1,4 triliun. Secara umum, penyerapan anggaran perlindungan sosial masih menghadapi tantangan di level operasional dan proses administrasi.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, yang dihubungi Kompas, Jumat (17/7/2020), menuturkan, realisasi anggaran perlindungan sosial terkait penanganan Covid-19 dimonitor dua kali dalam seminggu. Data terbaru akan diumumkan pekan depan dengan realisasi lebih tinggi.
”Penyerapan anggaran jaring pengaman sosial relatif baik karena beberapa program sudah ada sebelumnya. Namun, persoalan saat ini lebih pada data penduduk,” kata Kunta.
Penyerapan anggaran jaring pengaman sosial relatif baik karena beberapa program sudah ada sebelumnya. Namun, persoalan saat ini lebih pada data penduduk.
Beberapa program yang sudah ada (existing) dan penyerapan anggarannya relatif baik, seperti PKH yang sampai akhir Juni 2020 sudah 64,4 persen dari pagu, bantuan sosial tunai 48 persen, dan kartu sembako 47 persen. Adapun penyerapan yang relatif rendah adalah bantuan langsung tunai desa dan kartu prakerja masing-masing 17,3 persen dan 12,1 persen.
Menurut Kunto, kendala program jaring pengaman sosial di lapangan masih berkutat pada masalah data penerima manfaat yang acap kali tidak tepat sasaran atau ganda. Perbaikan penyaluran bansos akan diperbaiki mulai Juni ini sehingga terjadi akselerasi dan risiko lonjakan kemiskinan terbendung.
Pemerintah, melalui Kementerian Sosial (Kemensos), akan memperpanjang dan menambah program bansos, yang semula berakhir pada September menjadi akhir tahun ini. ”Selain program bansos yang ada, perpanjangan juga meliputi penyaluran bansos khusus Covid-19, yaitu bansos sembako bagi 1,9 juta keluarga di Jabodetabek dan bansos tunai bagi 9 juta keluarga di 503 kabupaten/kota di luar Jabodetabek,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menuturkan, keberhasilan program perlindungan sosial tidak terlepas dari peran strategis pemerintah daerah. Jangan sampai anggaran yang sudah disalurkan pemerintah pusat mengendap di rekening kas khusus daerah.
”Yang terjadi saat ini anggaran sudah ditransfer ke daerah, tetapi serapan rendah ke masyarakat. Perlu dilihat lebih dalam bisa jadi program yang disiapkan daerah masih sebatas rencana dan alokasi bukan realisasi,” kata Robert.
Jangan sampai anggaran yang sudah disalurkan pemerintah pusat mengendap di rekening kas khusus daerah.
Belanja pemerintah daerah saat ini, lanjut Robert, berkontribusi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, sekitar 35 persen belanja dalam APBD mesti difokuskan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan bantuan dunia usaha. Pemerintah daerah wajib melakukan realokasi dan penajaman sesuai dengan prioritas nasional.
Robert berpendapat, realisasi belanja pemerintah daerah untuk tiga prioritas nasional saat ini relatif rendah. Realokasi dan penajaman belanja masih sebatas perencanaan, belum masuk tataran realisasi. Fakta ini tidak terlepas dari pemantauan dan evaluasi sampai ke tingkat daerah masih sangat rendah.
Dalam kondisi normal, penyerapan anggaran memang kerap terkendala masalah teknis, politis, dan hukum. Untuk itu, belanja pemerintah daerah, terutama terkait penanganan Covid-19, harus digenjot dalam enam bulan ke depan.
”Saat ini pemerintah berhadapan dengan momentum dan berbagai risiko yang mengikutinya. Jangan sampai karena penyerapan anggaran rendah, perekonomian triwulan III dan IV-2020 semrawut yang berujung ke peningkatan kemiskinan,” ucapnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, dampak Covid-19 terhadap perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, salah satunya jam kerja. Dari hitungan Bappenas, penurunan daya beli akibat kehilangan pendapatan di sektor manufaktur dan pariwisata bisa mencapai Rp 374,4 triliun selama 10 minggu.
Daya beli akan menurun lebih signifikan jika tekanan Covid-19 terhadap dunia usaha lebih lama. Penurunan daya beli bisa meningkat tiga kali lipat dalam 30 minggu, yaitu senilai Rp 1.158 triliun. Hitungan itu mempertimbangkan penurunan utilitasi di sektor manufaktur dan pariwisata sebesar 50 persen.
”Dengan mempertimbangkan hitungan jam kerja yang hilang, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 minus 6 persen,” kata Suharso.
Dengan mempertimbangkan hitungan jam kerja yang hilang, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 minus 6 persen.
Suharso menambahkan, pemerintah akan mempercepat penyaluran stimulus dan membuka kegiatan ekonomi secara bertahap untuk meminimalkan risiko negatif akibat Covid-19. Skenario pemulihan ekonomi diupayakan membentuk huruf U jika skenario huruf V tidak memungkinkan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 bisa tetap positif.