Pulau Papua memiliki kekayaan alam yang menjadikannya destinasi ekowisata terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Potensi itu membuka ruang bagi masyarakat untuk belajar menjadi wisatawan berkesadaran
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pulau Papua memiliki kekayaan alam yang menjadikannya destinasi ekowisata terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Potensi itu membuka ruang bagi masyarakat untuk belajar menjadi wisatawan berkesadaran, menyesuaikan adaptasi pascapandemi Covid-19.
Menurut data 2012, ada lebih dari 125 jenis mamalia, 223 jenis reptil, 602 jenis burung, dan 15.000-20.000 jenis tumbuhan. Kekayaan hayati itu menghidupi 255 suku di tujuh wilayah adat yang tersebar di seluruh Pulau Papua.
Aloysius Numberi selaku Program Associate Pengelolaan Sumber Daya Alam EcoNusa, Jumat (17/7/2020), memaparkan, dengan keanekaragaman hayatinya, masyarakat Papua menggantungkan pendapatan mereka dari sumber daya alam.
”Masyarakat di Papua sejatinya memanfaatkan alam secara bertanggung jawab dan ambil yang secukupnya. Jadi, ekowisata penting untuk diterapkan,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan London School of Public Relations (LSPR) dan Indonesian Ecotourism Network (Indecon).
Ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan wisata ke tempat alami secara bertanggung jawab, dengan menjaga alam serta keberlanjutan sosial dan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Ekowisata di Indonesia telah mendapat dukungan pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009.
Papua memiliki beberapa jenis ekowisata. Mulai dari ekowisata berbasis budaya, seperti yang bisa dinikmati melalui Festival Lembah Baliem setiap Agustus di Pegunungan Jayawijaya, Papua.
Ada juga wisata berbasis bahari, seperti Kampung Wisata Namatota di Kaimana, Papua Barat. Lalu, wisata alam terestrial, seperti di Lorikeet Birdwatching di Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Ary Suhandi selaku founder Indecon pun meyebut Pulau Papua sebagai ”one stop destination” atau destinasi yang menyediakan beragam pilihan tempat untuk dijelajahi. Sayangnya, potensi tersebut masih lebih banyak dinikmati wisatawan asing daripada lokal.
Selain menikmati alam, wisatawan asing juga cenderung senang berinteraksi dan belajar banyak dari masyarakat lokal. Perhatian tersebut mendorong Papua mulai mengembangkan potensinya.
”Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak teman di Papua yang sudah melek ekowisata. Kami percaya, masyarakat di sana bisa mengembangkan diri dan daerah mereka, tinggal ada yang menuntun mereka agar lebih baik lagi,” ujarnya.
Wisata berkesadaran
Pada kesempatan sama, Ary mengingatkan pentingnya wisatawan Indonesia belajar menjadi wisatawan yang berkesadaran. Prinsip tersebut serupa dengan prinsip ekowisata yang ramah pada lingkungan dan keanekaragaman hayati serta masyarakat lokal.
”Kita perlu jadikan perjalanan bermakna, dengan cari inspirasi, pengetahuan baru, dan tidak lupa dengan kesehatan, apalagi setelah kita mengalami pandemi seperti sekarang,” tuturnya.
Selain menjadi wisatawan berkesadaran, masyarakat Indonesia, khususnya anak muda, perlu menjadi agen perubahan untuk mengembangkan ekowisata. Menurut Ary, kunci dari pengelolaan ekowisata adalah memperhatikan kapasitas dan kualitas.
”Pandemi Covid-19 ini membuka mata kita bahwa kita enggak boleh mengabaikan standar layanan. Siapa yang jago? Ya, anak-anak muda yang sekarang lebih cari pengalaman atau aktualisasi diri ketika berwisata,” pesannya.