Normal Baru, Hotel dan Restoran di Labuan Bajo Masih Sepi Pengunjung
Meski Nusa Tenggara Timur sudah memasuki masa normal baru, 15 Juni 2020, hotel dan restoran di Labuan Bajo, Manggarai Barat, sampai hari ini masih sepi pengunjung.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Meski Nusa Tenggara Timur sudah memasuki masa normal baru, 15 Juni 2020, hotel dan restoran di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, sampai hari ini masih sepi pengunjung. Apalagi kunjungan ke Labuan Bajo pun dilakukan secara dalam jaringan, dengan jumlah pengunjung yang terbatas.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Manggarai Barat Silvester Wanggel, dihubungi di Labuan Bajo, Sabtu (18/7/2020), mengatakan, masih minimnya tamu berdampak pada pekerja di sektor pariwisata. Sampai sekarang sejumlah hotel dan restoran masih merumahkan sekitar 1.700 karyawan. Apalagi tamu hotel dan restoran di Labuan Bajo tergantung dari wisatawan yang datang dari Jakarta, Surabaya, dan Bali.
Labuan Bajo sudah dibuka sejak 15 Juni 2020, tetapi hingga hari ini masih sepi tamu. (Silvester Wanggel)
Menurut Silvester Wanggel, di Labuan Bajo terdapat 104 hotel, mulai dari home stay hingga bintang lima dan 57 restoran. Sejak Maret, Labuan Bajo benar-benar sepi pengunjung sehingga hotel dan restoran banyak yang tidak beroperasi. Sebelum virus korona menyebar di Indonesia, Labuan Bajo tidak hanya dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara, tetapi juga menjadi tempat pertemuan serta kegiatan banyak instansi dan lembaga.
”Labuan Bajo sudah dibuka sejak 15 Juni 2020, tetapi hingga hari ini masih sepi tamu,” ujarnya. Beberapa faktor wisatawan belum melakukan perjalanan wisata ke luar daerahnya karena wajib mengikuti protokol kesehatan. Tidak hanya tamu, tetapi semua hotel dan restoran juga wajib menerapkan protokol kesehatan.
Ia mengatakan, salah satu kendala tamu datang ke Labuan Bajo karena peraturan masuk Taman Nasional Komodo melalui sistem pendaftaran masuk secara daring dengan jumlah pengunjung yang terbatas, 50 orang per hari. Kebijakan dari Balai Taman Nasioanal Komodo dan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores ini dinilai merugikan 150 pelaku usaha pariwisata di Labuan Bajo.
Dengan kebijakan pada masa normal baru ini, pariwisata di Labuan Bajo kemungkinan agak kesulitan mendapat kunjungan wisatawan. Lesunya sektor pariwisata mengakibatkan sebagian pelaku usaha pariwisata terancam bangkrut. Selain itu, 14 kapal pesiar milik agen perjalanan di Labuan Bajo rusak diterjang gelombang saat cuaca buruk menimpa wilayah tersebut.
Salah satu langkah untuk mengurangi biaya operasional, karyawan di 104 hotel yang sekitar 2.500 orang, 1.700 karyawan di antaranya terpaksa dirumahkan sampai hari. Untuk menyelamatkan bisnis pariwisata, perlu ada kebijakan untuk lebih melonggarkan aturan bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke Labuan Bajo. Sebab, dari sisi pelaku usaha, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah membebaskan pajak hotel dan restoran selama masa pandemi Covid-19 sampai hari ini.
Kepala Bidang Industri Pariwisata Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Eden Kalakik mengatakan, tahun ini NTT mengusulkan delapan destinasi pariwisata baru untuk ajang pemilihan Anugerah Pesona Indonesia 2020. Pengajuan ini untuk memperkenalkan destinasi wisata baru yang eksotik ke dunia luar. NTT memiliki lebih dari 1.000 destinasi pariwisata, tetapi sebagian besar belum dikelola dengan baik.
Delapan destinasi
Kedelapan destinasi wisata yang diusulkan itu yakni makanan tradisional daging se’i dan sentra tenun ikat Ina Ndao, keduanya di Kota Kupang; Island Hopping Pulau Meko di Flores Timur; Dataran Tinggi Fulan Fehan di Belu; Kampong Adat Namata di Sabu Raijua; destinasi baru Pulau Semau di Kabupaten Kupang; destinasi baru mulut seribu surga tersembunyi di Kabupaten Rote Ndao; serta Situs Sejarah Liang Bua di Manggarai.
Pemilihan terhadap delapan destinasi baru itu dilakukan Agustus 2020-31 Desember 2020. Masyarakat diajak memberikan dukungan terhadap delapan destinasi baru yang diusulkan mengikuti lomba Anugerah Pesona Indonesia 2020 tersebut.
Ia mengatakan, NTT memiliki lebih dari 1.000 destinasi wisata, tetapi sebagian besar belum dikelola dengan baik. Ini belum termasuk ritus-ritus adat tahunan yang digelar setiap suku di NTT, seperti ritus tolak bala, ritus panen padi, ritus memanggil pulang para perantau, dan ritus pembangunan rumah adat.
”Kami berencana menggelar festival manusia terbang di Alor, tetapi ditolak sejumlah tokoh agama dengan alasan, jika festival itu digelar seakan pemerintah memelihara kehidupan primitif dengan keyakinan yang bertentangan dengan agama resmi. Namun, sebenarnya ini tradisi lokal Alor yang masih hidup dan berkembang sampai hari ini,” kata Kalakik.