Jalan Panjang dan Terjal Pemulihan Ekonomi
Indonesia harus menempuh jalan panjang pemulihan ekonomi karena ada tiga kurva tajam yang harus dilewati, yaitu kurva pandemi, kurva resesi ekonomi, dan kurva lonjakan utang.
Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi. Begitu tema laporan ”Prospek Perekonomian Indonesia Edisi Juli 2020” yang dirilis Bank Dunia, 16 Juli 2020. Melalui laporan itu, Bank Dunia mengingatkan Indonesia tentang jalan terjal pemulihan ekonomi nasional yang terimbas pandemi Covid-19. Keseriusan, tanpa bumbu politis atau demi kepentingan tertentu, sangat dibutuhkan.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia memproyeksikan, pertumbuhan Indonesia diperkirakan akan pulih selama dua tahun ke depan dengan asumsi bahwa ekonomi akan dibuka kembali secara bertahap dan stabil. Konsumsi swasta diperkirakan pulih lebih cepat, diikuti oleh investasi sektor swasta.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh 0 persen pada 2020 dan 4,8 persen pada 2021. Akselerasi pertumbuhan ekonomi terjadi pada 2022 menjadi 6 persen jika konsumsi rumah tangga dan investasi yang menjadi penopang ekonomi kembali menggeliat.
Proyeksi dasar ini mengasumsikan produk domestik bruto (PDB) global akan terkontraksi atau minus 5,2 persen pada tahun ini. Hal itu juga melihat upaya pemerintah melonggarkan pembatasan mobilitas secara bertahap pada Juni, Juli, dan akan dibuka sepenuhnya pada Agustus 2020. Asumsi lainnya adalah tidak terjadi lonjakan kasus positif dan gelombang kedua Covid-19 yang mengharuskan perpanjangan atau penerapan kembali karantina sebagian wilayah.
Jika kondisi eksternal memburuk dan perekonomian global tergelincir ke dalam resesi yang lebih parah, dengan PDB global terkontraksi atau minus 7,8 persen, investasi dan ekspor akan semakin terpukul. Dalam skenario seperti itu, perekonomian Indonesia pada tahun ini diperkirakan akan minus 2 persen.
Ada tiga jalan panjang dan terjal yang perlu dilalui Indonesia. Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander menuturkan, Indonesia harus menempuh jalan panjang pemulihan ekonomi karena ada tiga kurva tajam yang harus dilewati, yaitu kurva pandemi, kurva resesi ekonomi, dan kurva lonjakan utang. Jika ketiga kurva itu berhasil dilewati, Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi.
”Indonesia mesti menyiapkan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif,” kata Sander dalam telekonferensi di Jakarta.
Selain pertambahan jumlah kasus Covid-19 dan penurunan indikator makroekonomi, tantangan utama Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini adalah meredam meningkatnya jumlah penduduk miskin. Baru awal Maret 2020 atau awal merebaknya kasus Covid-19, jumlah penduduk miskin di Indonesia sudah bertambah 1,63 juta orang.
Badan Pusat Statistik mencatat, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang 25,14 juta orang. Angka kemiskinan Indonesia per Maret 2020 sebesar 9,78 persen naik dari September 2020 yang sebesar 9,22 persen.
Baca juga: Baru Maret 2020, Penduduk Miskin Sudah Bertambah 1,63 Juta Orang
Bank Dunia juga menyebutkan, pandemi Covid-19 akan mendorong 5,5 juta hingga 8 juta orang Indonesia ke dalam kemiskinan pada 2020 jika pemerintah tidak memberikan bantuan sosial bagi rumah tangga. Kenaikan jumlah penduduk miskin dipengaruhi penurunan pendapatan rumah tangga berkisar 5-7 persen dan hilangnya pekerjaan 2,6 juta-3,5 juta orang. Penurunan pendapatan paling tajam terjadi pada sektor jasa tradisional dan pertanian, diikuti manufaktur. Peningkatan angka kemiskinan akan dibarengi dengan pelebaran ketimpangan.
Bank Dunia juga menyebutkan, pandemi Covid-19 akan mendorong 5,5 juta hingga 8 juta orang Indonesia ke dalam kemiskinan pada 2020 jika pemerintah tidak memberikan bantuan sosial bagi rumah tangga.
Untuk itu, percepatan pemulihan ekonomi nasional jangan mengesampingkan masalah kemiskinan dan jurang ketimpangan yang kian dalam. Indonesia harus menyiapkan skema pemulihan yang berkelanjutan dan inklusif agar ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi di masa depan.
Managing Director, Development, dan Partnerships Bank Dunia Mari Elka Pangestu menuturkan, peningkatan angka kemiskinan akibat Covid-19 bukan hanya dialami Indonesia, melainkan mayoritas negara di dunia. Pandemi akan mendorong 73 juta dan 100 juta penduduk jatuh ke kemiskinan tingkat ekstrem.
”Fokus sekarang adalah benar-benar memastikan bahwa pemerintah mencegah angka kemiskinan seminimal mungkin, mengatasi, dan memastikan respons kebijakan saling terkait agar ketimpangan tidak semakin lebar,” kata Mari dalam telekonferensi di Jakarta, Kamis.
Fokus sekarang adalah benar-benar memastikan bahwa pemerintah mencegah angka kemiskinan seminimal mungkin, mengatasi, dan memastikan respons kebijakan saling terkait agar ketimpangan tidak semakin lebar.
BPS juga mencatat, pada Maret 2020, rasio gini 0,381 atau naik 0,001 poin dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 0,38. Namun, lebih rendah 0,001 poin daripada Maret 2019, yakni 0,382. Ketimpangan ditunjukkan melalui rasio gini yang berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar.
Baca juga: Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan Kian Dalam
Menurut Mari, masalah ketimpangan tidak sebatas pendapatan. Jurang ketimpangan di Indonesia mencakup jender antara lelaki dan perempuan, si kaya dan si miskin, serta kota metropolitan dan daerah terpencil. Permasalahan ketimpangan ini mesti jadi fokus pemerintah dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander menuturkan, paket stimulus yang diluncurkan pemerintah akan efektif menekan lonjakan kemiskinan dan pelebaran ketimpangan jika terimplementasi dengan baik di lapangan. Penyerapan anggaran optimal karena bantuan langsung diterima masyarakat.
”Angka kemiskinan bisa kembali turun akhir tahun ini jika implementasi paket bantuan sosial terserap dengan baik oleh masyarakat kelas bawah,” kata Sander.
Pemulihan ekonomi
Menurut Sander, Indonesia mesti menyiapkan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Sejauh ini belum diketahui kapan pandemi berakhir. Pemerintah harus menyiapkan alokasi dana yang cukup untuk mencegah penyebaran virus dan membuka kegiatan ekonomi secara bertahap. Pandemi menekan perekonomian cukup dalam sehingga Indonesia akan ada di bawah bayang-bayang resesi.
Untuk keluar dari resesi, diperlukan suntikan stimulus guna mendorong daya beli dan produktivitas dunia usaha. Lonjakan utang tak terhindarkan karena kapasitas fiskal pemerintah terbatas. Oleh karena itu, setelah pandemi dan resesi terjadi, Indonesia masih dihadapkan pada risiko peningkatan utang dampak dari respons pandemi.
Sander menambahkan, percepatan pemulihan ekonomi hanya bisa dilakukan jika Indonesia melakukan reformasi daya saing, terutama terkait keterbukaan investasi, modal manusia, dan infrastruktur. Reformasi secara bertahap akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi setelah tahun 2020 dan masa mendatang.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, dalam telekonferensi bersama Kompas, Kamis, menuturkan, fokus pemerintah dalam jangka pendek mendorong serapan stimulus, terutama bantuan sosial. Tujuannya agar pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 bisa positif.
Pemerintah masih mengupayakan pemulihan ekonomi berbentuk V atau V shape. Kontraksi ekonomi diperkirakan terjadi pada triwulan II dan III-2020. Namun, pertumbuhan ekonomi kembali positif pada triwulan IV-2020 seiring pelonggaran PSBB dan pembukaan kegiatan ekonomi secara bertahap.
”Hitungan Bappenas, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 bisa minus 6 persen,” kata Suharso.
Suharso menambahkan, Indonesia ditargetkan keluar dari jebakan kelas menengah dalam 15 tahun mendatang pada 2036 dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 persen per tahun. Produk domestik bruto (PDB) per kapita 12.233 dollar AS. Rata-rata negara membutuhkan 28 tahun untuk keluar dari jebakan kelas menengah.
Baca juga: Menyelamatkan Ekonomi dan Kesehatan Nasional
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, pemulihan ekonomi didorong dengan meningkatkan anggaran perlindungan sosial. Program perlindungan sosial saat ini telah mencakup 60 persen dari total populasi. Jangka waktu pemberian bantuan sosial diperpanjang dari semula sampai September menjadi akhir tahun.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai macam program bantuan sosial. Namun, kata Sri Mulyani, program yang ada tidak akan berdampak signifikan bagi ekonomi jika penyerapan anggaran perlindungan sosial rendah. Jika serapan rendah, daya beli masyarakat tidak akan tumbuh dan roda ekonomi tidak berputar.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi anggaran perlindungan sosial per 30 Juni 2020 sebesar 35,6 persen atau Rp 72,5 triliun dari pagu yang sebesar Rp 203,9 triliun. Realisasi tertinggi adalah Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 24,1 triliun, Kartu Sembako Rp 20,5 triliun, dan bantuan sosial (bansos) tunai Rp 15,6 triliun. Selain itu, ada juga realisasi bantuan langsung tunai (BLT) dana desa Rp 5,5 triliun, diskon tarif listrik Rp 3,1 triliun, Kartu Prakerja Rp 2,4 triliun, dan bansos sembako Rp 1,4 triliun.
Beberapa program yang sudah ada (existing) dan penyerapan anggarannya relatif baik, seperti PKH, yang sampai akhir Juni 2020 sudah 64,4 persen dari pagu, bantuan sosial tunai 48 persen, dan kartu sembako 47 persen. Adapun penyerapan yang relatif rendah adalah bantuan langsung tunai desa dan kartu prakerja masing-masing 17,3 persen dan 12,1 persen.
Baca juga: Pemerintah Daerah Harus Bantu Percepat Penyerapan Bansos
Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Eddy Satria mengatakan, per 16 Juli 2020 total penyaluran anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional Koperasi dan UMKM senilai Rp 10,24 triliun. Realisasi penyaluran PEN KUMKM ini setara dengan 8,3 persen dari total dana yang dianggarkan, yakni Rp 123,46 triliun.
”Jumlah KUMKM yang menerima manfaat program PEN adalah 383.858 KUMKM,” kata Eddy Satria melalui konferensi pers yang digelar secara tatap muka dan juga ditayangkan melalui akun Youtube Kemenkop UKM.
Baca juga: ”Wong Cilik” Kian Terjepit akibat Covid-19
Sementara itu, merujuk data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), anggaran yang disiapkan untuk program Padat Karya Tunai (PKT) tahun 2020 sebesar Rp 11,3 triliun. Program tersebar di 34 provinsi dan berpotensi menyerap 613.483 tenaga kerja. Per 10 Juli 2020, terdata penyerapan mencapai 31,9 persen atau senilai Rp 3,61 triliun.