Perbankan Masih Kesulitan Dorong Kredit ke Sektor Riil
Perbankan berpotensi membantu membangkitkan sektor usaha yang terdampak pandemi dengan program restrukturisasi dan penyaluran kredit baru.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbankan berpotensi membantu membangkitkan sektor usaha yang terdampak pandemi dengan program restrukturisasi dan penyaluran kredit baru. Namun, belum pulihnya aktivitas usaha, yang didorong daya beli, membuat perbankan terkendala dalam menyalurkan kredit.
Sejak awal pandemi Covid-19 berdampak pada aktivitas perekonomian di Indonesia, sektor perbankan diberi tugas oleh pemerintah untuk membantu korporasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tugas itu adalah membantu merestrukturisasi utang dan menyalurkan kredit untuk modal kerja pelaku usaha terdampak.
Kepala Ekonom dari Divisi Perencanaan Strategis Bank BNI Ryan Kiryanto, Jumat (17/7/2020), mengatakan, mereka masih mengurusi program restrukturisasi kredit, yang diamanatkan Peraturan Ototiras Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020. Sampai dengan 25 Juni 2020, BNI telah memproses pengajuan penundaan pembayaran utang 183.359 debitor UMKM senilai Rp 24,3 triliun.
Sementara, BNI juga menerima dana penempatan pemerintah Rp 5 triliun untuk menambah likuiditas. Sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 70/PMK.05/2020, BNI berkomitmen untuk mengembangkan dana tersebut hingga tiga kali lipat dalam bentuk kredit ke sektor riil.
”Secara umum kita lihat, kredit belum bagus karena sebagian besar pelaku usaha sibuk merestrukturisasi. Kalaupun kredit, permintaannya lemah,” katanya dalam webinar bertajuk ”Peran Perbankan Memulihkan Perekonomian Saat New Normal”.
Ryan memprediksi, aktivitas usaha di triwulan kedua dan ketiga 2020 masih akan menaikkan sektor usaha primer, antara lain, kesehatan dan pangan. Sementara, sektor usaha sekunder akan tetap stagnan, apalagi sektor usaha tersier yang didukung permintaan barang tahan lama, yang masih lemah.
Sehari sebelumnya, dalam webinar berjudul ”Langkah Penting Perbankan dalam Mendorong Bisnis UMKM di Masa Pandemi”, Direktur Utama BRI Sunarto juga mengatakan, mereka masih fokus menjalankan restrukturisasi kredit yang sejak 16 Maret-6 Juli 2020 telah mencapai Rp 177 triliun untuk 2,887 juta pelaku usaha, dari beragam sektor.
Bulan lalu, BRI juga telah menerima Rp 10 triliun yang harus dikembangkan sampai Rp 30 triliun. Sejak 25 Juni-15 Juli, BRI sudah menyalurkan kredit ke 295.617 pelaku usaha senilai Rp 13,59 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, outstanding kredit pada April 2020 turun 1,8 persen dari Rp 5.712 triliun menjadi Rp 5.610 triliun. Selanjutnya pada Mei 2020, outstanding kredit turun lagi menjadi Rp 5.583,4 triliun.
Adapun menurut survei Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit secara keseluruhan di tahun 2020 dinilai hanya akan sebesar 2,5 persen. Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan kredit tahun 2019 sebesar 6,1 persen.
Untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan, terlebih dalam mendukung adaptasi kebiasaan baru untuk memulihkan perekonomian, seluruh pemangku kebijakan perlu bersinergi untuk memperbaiki sisi permintaan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menilai, kebijakan pemerintah saat ini hanya fokus menstimulasi sisi penawaran, seperti kebijakan restrukturisasi kredit, pemotongan suku bunga, insentif perpajakan, hingga penempatan dana untuk BUMN juga perbankan.
BI juga kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4 persen. Kebijakan yang diumumkan pada Kamis (16/7/2020) lalu ditetapkan untuk mendorong pemulihan ekonomi di tengah pandemi.
”Bank itu basisnya bisnis. Jadi kalau enggak ada bisnis yang jalan, ya enggak ada permintaan kredit. Permintaan kredit perlu didorong dengan peningkatan kemampuan belanja,” katanya dalam webinar hari ini.
Agar perbankan berperan dalam pemulihan ekonomi, Aviliani menyarankan agar semua pemangkut kewenangan memaksimalkan kebijakan dari sisi permintaan. Misalnya, triliunan rupiah dana yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk bantuan sosial hingga bantuan langsung tunai perlu dinilai ulang jumlahnya dan efektivitas penyerapannya.
”Lalu, terkait belanja pemerintah yang belum banyak, mungkin di triwulan ketiga dan keempat, dana belanja pusat harus dipakai untuk membeli produk domestik. Lalu, substitusi impor dikembangkan. Kartu Prakerja untuk melatih pelaku usaha juga perlu untuk adaptasi, tinggal diatur mana yang perlu langsung atau melalui online,” pungkasnya.