Gang Hijau, Sumber Pangan Warga Jakarta di Kala Pandemi Covid-19
Menanami permukiman dengan aneka jenis tanaman memberikan keuntungan bagi warga dan lingkungan. Selain udara segar, warga juga bisa memanfaatkan buah atau sayur dari tanaman ini.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan gang hijau di sejumlah wilayah Jakarta tidak sekadar memperindah penampakan kampung. Lebih dari itu, gang hijau ternyata menjadi sumber pangan bagi warga sekitar, terutama selama pandemi Covid-19.
Tidak ada kesan pengap saat melintasi Gang Hijau Nanas di RT 003 RW 007, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Jalan selebar kurang dari 2 meter tersebut juga tidak terlihat sempit. Ratusan tanaman yang dipajang di kanan-kiri gang seakan membuat pelintas hanya merasakan keasriannya.
Tanaman hias dan tanaman obat keluarga (toga), seperti lidah mertua (Sansevieria), daun ungu (Graptophyllum pictum), kelor (Moringa oleifera), atau gelombang cinta (Anthurium), hampir bisa ditemui sejak pintu masuk hingga sepanjang 500 meter gang. Tidak hanya itu, sejumlah tanaman jenis sayuran juga bercokol pada sejumlah rak hidroponik di sisi-sisi gang.
”Sayuran-sayuran dari hidroponik ini kami bagikan secara gratis kepada warga PSBB kemarin,” kata Rafael Sugito, Ketua RT 003 RW 007, Kelurahan Srengseng.
Sebelumnya, sayuran, seperti kangkung, bayam, dan sawi hijau, dijual kepada warga sekitar RT 003 ataupun RT lain dengan harga murah. Sebagai perbandingan, jika satu ikat kangkung di pasaran dijual Rp 20.000, kangkung hasil panen mereka hanya dijual Rp 10.000.
”Hasil penjualan tersebut kami belikan bibit dan nutrisi agar kami bisa menyemai lagi,” katanya.
Gang hijau di Kelurahan Srengseng pertama kali muncul berkat inisiatif dari Sugito. Pada 2016, ia mengikuti pelatihan hidroponik di Pluit, Jakarta Utara. Hasil dari pelatihan itu langsung ia praktikkan di lapangan bulu tangkis kampungnya.
Warga yang melihat kreasi Sugito tertarik mengikuti jejak Sugito. Karena lahan yang ada sangat terbatas, warga kemudian membuat hidroponik bersama. Mereka juga membentuk Komunitas Petani Kota Gang Hijau Nanas.
Seiring berjalannya waktu, warga RT 003 tidak hanya menanam sayuran di hidroponik. Mereka juga menanam tanaman hias dan toga. Tidak mengherankan jika saat ini ratusan toga bercokol di sisi-sisi gang.
”Pada 2017 dulu ada bantuan tanaman dan pot dari Suku Dinas Ketahahan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) Jakarta Barat,” tambah Sugito.
Warga tidak hanya mengandalkan bantuan, mereka juga mengumpulkan uang secara swadaya untuk membeli pot dan tanaman yang lebih banyak. Tidak ada tanaman milik perorangan di Gang Hijau Nanas. Semuanya milik bersama.
Dari situ, warga memiliki tanggung jawab yang sama dalam merawat tanaman yang terletak di depan rumah masing-masing. ”Setiap 17 Agustus kami adakan lomba. Bagi yang tanaman di depan rumahnya paling bagus dan terawat, kami berikan hadiah. Daster untuk ibu-ibu, baju untuk bapak-bapak,” kata Sugito.
Jika keberadaan sayuran dan toga dapat dikonsumsi warga, tanaman hias bukan sekadar untuk menambah keasrian gang. Menurut Sugito, keberadaan tanaman hias juga cukup krusial untuk menyerap polutan. Seperti diketahui, setiap kemarau seperti sekarang ini, kualitas udara di Jakarta cenderung memburuk.
Penggiat gang hijau ”Ampar Adhum” yang berlokasi di RT 007 RW 008, Kelurahan Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur, Fikri Husin, mengatakan, pihaknya kini telah memiliki 30 rak hidroponik. Setiap rak memiliki 64 netpot atau pot berukuran kecil.
”Berarti kami punya sekitar 1.920 netpot di gang hijau kami,” katanya dalam webinar ”Strategi Pengembangan Gang Hijau yang Asri dan Produktif di DKI Jakarta”.
Jika keberadaan sayuran dan toga dapat dikonsumsi warga, tanaman hias bukan sekadar untuk menambah keasrian gang. Menurut Sugito, keberadaan tanaman hias juga cukup krusial untuk menyerap polutan. Seperti diketahui, setiap kemarau seperti sekarang ini, kualitas udara di Jakarta cenderung memburuk.
Setiap rak minimal dapat memanen sayuran rata-rata 4 kilogram. Jika ada 30 rak, ada sebanyak 120 kilogram sayuran dalam sekali panen. Jumlah tersebut tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan warga RT 007 RW 008, tetapi juga warga di RT dan RW lain.
”Terutama saat bulan Ramadhan yang lalu. Warga banyak memasak dari sayuran yang dipanen dari sini,” ujar Fikri.
Menurut Fikri, keberadaan gang hijau di kampungnya memberikan kesempatan bagi warga kampung untuk menikmati sayuran yang bernutrisi dan higienis. Ia menilai, hal itu hanya bisa dinikmati masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas selama ini.
”Kemarin ada supermarket juga yang tertarik membeli produk kita. Namun, masih kami diskusikan dengan warga. Jangan sampai mereka kekurangan,” katanya.
Menurut Fikri, keberadaan gang hijau di kampungnya memberikan kesempatan bagi warga kampung untuk menikmati sayuran yang bernutrisi dan higienis.
Sementara itu, hampir satu tahun lamanya Gang Hijau RT 008 RW 009, Kelurahan Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat, menanggalkan kesan kumuhnya. Sejak Agustus 2019, gang ini resmi dinamakan gang hijau setelah 500 tanaman dipajang di sisi-sisi gang.
Warga beruntung mendapatkan bantuan ratusan tanaman tersebut dari PLN melalui program PLN Peduli. Semenjak saat itu pihak RT mewajibkan setiap warganya untuk menyumbangkan satu tanaman setiap bulan.
”Sebelumnya gang di sini kumuh dan pengap. Namun, dengan banyaknya tanaman, kesan tersebut berubah total,” kata pengelola Gang Hijau Kota Bambu RT 008 RW 009, Kelurahan Kota Bambu Selatan, Juriah.
Menurut dia, kebanyakan jenis tanaman yang ditanam di Gang Hijau Kota Bambu Selatan adalah jenis toga. Tanaman tersebut, antara lain, kelor, sirih (Piper betle), sambiloto (Andrographis paniculata), dan brotowali (Tinospora cordifolia).
Toga dipilih bukan tanpa alasan. Lokasi RT 008 RW 009, Kota Bambu Selatan, terletak tepat di sebelah timur Rumah Sakit Dharmais dan sebelah selatan Rumah Sakit Harapan Kita. Di kampung tersebut banyak berdiri indekos untuk pasien yang berobat jalan di dua rumah sakit tersebut.
Keberadaan tanaman-tanaman jenis toga tersebut ternyata selama ini digemari para pasien yang indekos di sana. Pengelola juga membebaskan para pasien memetik tanaman yang mereka inginkan.
”Pasien-pasien memang sering ambil tanaman dari sini. Kami bebaskan, barangkali bisa membantu pengobatan,” katanya.
Menurut Kepala Seksi Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Pertanian DKPKP Eti Rohaeti, berdasarkan data 2017, jumlah gang di DKI Jakarta 2.258. Sementara gang yang sudah dikembangkan menjadi gang hijau 512.
”Ini merupakan potensi yang luar biasa. Jika bisa diperluas lagi, Jakarta akan memiliki kampung yang hijau, asri, dan produktif,” katanya.
Eti menambahkan, gang hijau tidak hanya memberikan manfaat dari sisi lingkungan, tetapi juga sisi ekonomi dan sosial. Sebab, di gang hijau tersebut ada ketahanan pangan dan gotong royong para warga.