Fungsi Bank Indonesia sebagai penyedia likuiditas terakhir atau ”lender of the last resort” bagi perbankan satu per satu hilang diambil lembaga lain.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Fungsi Bank Indonesia sebagai penyedia likuiditas terakhir (lender of the last resort) bagi perbankan satu per satu hilang diambil lembaga lain. Hilangnya fungsi tersebut bisa jadi menguntungkan karena beban dan risiko Bank Indonesia menjadi berkurang. Sebaliknya, lembaga yang menjadi lender of the last resort baru akan dihadapkan pada risiko yang tak kecil di masa pandemi Covid-19 yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian.
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan yang diundangkan pada 8 Juli 2020 sebenarnya mendapuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai lender of the last resort yang baru menggantikan BI.
Pasalnya, PP tersebut memberikan kewenangan kepada LPS untuk menempatkan dana atau menyediakan likuditas kepada bank-bank yang kesulitan likuditas dalam memenuhi kewajibannya. Bank-bank yang kesulitan likuiditas umumnya merupakan bank sakit yang masuk dalam pengawasan intensif atau pengawasan khusus Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebelum ada PP ini, LPS hanya bertugas membereskan pembayaran simpanan nasabah bank yang ditutup OJK dan menyelamatkan bank gagal berdampak sistemik sesuai keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Adapun fungsi penyedia dana untuk bank yang kesulitan likuiditas dipegang BI, melalui instrumen Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi bank berdampak sistem.
Tak hanya kepada bank sakit, fungsi lender of the last resort BI untuk bank-bank yang sehat juga berpotensi hilang. Skema penempatan dana pemerintah (penempatan uang negara) dan skema bank jangkar (anchor bank) jelas akan memindahkan tugas penyedia likuiditas dari BI kepada pemerintah dan bank-bank besar, terutama bank BUMN.
Penempatan dana pemerintah membuat bank tak perlu menggadaikan surat berharga negara (SBN) yang dimilikinya ke BI untuk mendapatkan likuiditas. Dua pekan lalu, pemerintah telah merealisasikan hal ini dengan menempatkan dana senilai total Rp 30 triliun untuk empat bank BUMN, yakni BRI, Mandiri, BNI, dan BTN.
Skema bank jangkar juga akan membuat bank-bank kecil lebih tertarik mencari likuiditas ke bank-bank besar yang ditetapkan sebagai bank jangkar ketimbang ke BI. Hanya, skema bank jangkar ini belum ada kepastian kapan akan diterapkan.
Persyaratan berat
Peran BI sebagai lender of the last resort perbankan dinilai memang kurang efektif. Salah satu penyebabnya adalah persyaratan dan bunga yang diminta BI dianggap terlalu berat oleh bank-bank yang ingin menggadaikan SBN atau mengajukan PLJP.
Untuk menggadaikan (repo) SBN, bank harus membayar bunga yang setara dengan suku bunga acuan BI yang kini sebesar 4 persen. BI harus mengenakan bunga sebesar itu karena transaksi repo merupakan bagian dari operasi pasar terbuka (OPT) BI yang memang ada biayanya, baik saat melakukan kontraksi maupun ekspansi moneter.
Saat melakukan kontraksi moneter atau menyerap likuiditas, BI membayar bunga kepada bank yang membeli instrumen moneter BI. Sementara saat melakukan ekspansi moneter atau menyalurkan likuiditas seperti repo SBN, BI menerima bunga dari perbankan, yang sesuai aturan BI, tidak boleh lebih rendah dari suku bunga acuan, yakni 7-Day Repo Rate.
Tingginya bunga membuat bank enggan merepokan SBN-nya ke BI, terlebih di saat pandemi Covid-19 yang sangat memukul kinerja bank. Per akhir Juni 2020, nilai repo SBN perbankan hanya Rp 34,8 triliun dari potensi SBN milik bank yang bisa direpokan sebesar Rp 677 triliun.
Karena repo tidak efektif, pemerintah pun melakukan penempatan dana dengan bunga yang lebih rendah, yakni 80 persen dari suku bunga acuan. Pemerintah bisa melakukan hal ini karena tidak terkendala aturan.
Persyaratan PLJP bahkan lebih berat lagi karena selain harus mengagunkan kredit lancar, bank juga harus membayar bunga sebesar repo rate ditambah margin 4 persen poin. Bagi bank sakit, ini tentu sangat memberatkan. Bisa-bisa bank bisa tambah sakit. Namun, lagi-lagi BI harus menerapkan hal itu karena memang sudah diatur dalam peraturan Bank Indonesia.
Karena itulah, fasilitas PLJP ini akhirnya diambil alih LPS. Meskipun juga mensyaratkan agunan berupa kredit lancar, LPS tidak mengenakan bunga. LPS bisa melakukan hal ini karena tidak ada aturan yang melarang. Selain itu, tujuan LPS menempatkan dana adalah untuk menyehatkan bank bersangkutan, bukan transaksi yang memperhitungkan untung-rugi.
LPS memiliki kemampuan menempatkan dana karena saat ini memiliki aset Rp 128 triliun yang merupakan akumulasi dari pembayaran premi perbankan sejak LPS didirikan tahun 2004.
Pedang bermata dua
Dengan beralihnya fungsi lender of the last resort perbankan, sebenarnya risiko juga berpindah dari BI ke lembaga lain.
Penempatan dana di bank oleh LPS tentu memiliki risiko. Jika kredit yang diagunkan bank ternyata bermasalah, LPS akan menderita kerugian, yang tentu harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, LPS dan OJK harus betul hati-hati dan memiliki data yang akurat dalam melakukan penilaian (assessment).
LPS juga dihadapkan pada potensi moral hazard. Pemilik bank sakit yang nakal tentu berupaya mengelabui dan memperdaya LPS dengan segala cara agar mendapatkan suntikan likuiditas, termasuk menyuap. Di sisi lain, kewenangan ini bisa saja dimanfaatkan oleh oknum di LPS untuk mendapat keuntungan pribadi.
Intinya, dengan fungsi barunya sebagai lender of the last resort perbankan, integritas dan kredibilitas LPS akan diuji. BI telah merasakan bagaimana fungsi lender of the last resort bagai pedang bermata dua dalam kasus Bank Century tahun 2008. Semoga hal yang sama tidak menimpa LPS.