Ketimpangan Berpotensi Melebar pada Akhir Tahun
Dampak pandemi Covid-19 bukan sekadar meningkatkan angka kemiskinan, tetapi memperlebar ketimpangan pada akhir tahun. Rasio gini meningkat dari 0,380 pada September 2019 menjadi 0,381 pada Maret 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dikhawatirkan tak hanya meningkatkan angka kemiskinan, tetapi juga memperlebar ketimpangan pengeluaran masyarakat. Jurang ketimpangan pada akhir tahun ini juga bisa semakin dalam pada pasar tenaga kerja dan pendidikan.
Kebijakan pemerintah bisa diarahkan pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Sebab, selama pandemi Covid-19, akses teknologi informasi dan komunikasi—yang kondisinya masih senjang—berperan penting.
Masyarakat kelas menengah-atas masih bisa bekerja dan beraktivitas dengan dukungan teknologi, informasi, dan komunikasi. Sebaliknya, masyarakat kelas menengah-bawah yang tidak memiliki akses, terkendala.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dibandingkan Maret 2019, yakni 25,14 juta orang.
Angka kemiskinan per Maret 2020 sebesar 9,78 persen. Setelah bertahun-tahun, setidaknya sejak 2006, baru pada dua tahun lalu, Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia di bawah 10 persen.
Definisi di laman BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2020, garis kemiskinan sebesar Rp 454.652 per kapita per bulan.
Baca juga: Baru Maret 2020, Penduduk Miskin Sudah Bertambah 1,63 Juta Orang
Sementara, ketimpangan ditunjukkan melalui rasio gini yang berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar.
Pada Maret 2020, rasio gini sebesar 0,381. Angka ini naik 0,001 poin dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 0,38. Namun, lebih rendah 0,001 poin daripada Maret 2019, yakni 0,382.
Padahal, per 1 Juli 2020, Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income), ”naik kelas” dari negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income). Klasifikasi ini berdasarkan pendapatan nasional bruto atau PNB per kapita tahun 2019 yang 4.050 dollar AS.
Pada Maret 2020, garis kemiskinan sebesar Rp 454.652 per kapita per bulan.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, yang dihubungi Kompas, Rabu (15/7/2020), mengatakan, kondisi yang dihadapi Indonesia pada pandemi Covid-19 berbeda dengan saat krisis ekonomi 1998. Pada 1998, angka kemiskinan naik, tetapi ketimpangan cenderung turun.
”Dampak pandemi Covid-19, ketimpangan akan semakin lebar dan kemiskinan semakin dalam. Kondisi ini dipengaruhi kesenjangan akses teknologi informasi dan komunikasi antara kelompok atas dan bawah,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, penduduk miskin atau kelas bawah tidak bisa mengapitalisasi peluang yang muncul pada masa pandemi Covid-19. Sebab, sebagian besar bekerja di sektor informal yang memerlukan kehadiran fisik dan tidak bisa secara virtual.
Ketimpangan yang semakin lebar akan mempersulit upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan. Sejauh ini, pemerintah memiliki sistem yang cukup baik dan ideal untuk mengantisipasi lonjakan kemiskinan akibat pandemi. Namun, kebijakan dan sistem tersebut tidak akan berdampak signifikan jika implementasinya terkendala.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengatasi masalah kemiskinan sekaligus ketimpangan. Bantuan sosial bagi masyarakat hanya mampu menahan agar lonjakan kemiskinan tidak terlalu tinggi, tetapi tidak mengurangi ketimpangan.
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers daring, Rabu, menyebutkan, kenaikan jumlah penduduk miskin karena banyak penduduk hampir miskin yang kembali jatuh miskin. Persentase penduduk hampir miskin pada Maret 2019 mencapai 7,45 persen atau sekitar 19,91 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 61,03 persen penduduk hampir miskin bekerja di sektor informal.
”Sebagian besar penduduk hampir miskin bekerja di sektor informal dan tidak terlindungi jaring pengaman sosial sehingga sangat rentan,” ujarnya.
Suhariyanto menambahkan, program jaring pengaman sosial tidak mampu menahan dampak Covid-19 terhadap penurunan pendapatan masyarakat. Selain itu, pandemi Covid-19 juga berdampak pada perubahan perilaku, aktivitas ekonomi, dan pendapatan penduduk sehingga menambah orang miskin baru.
Dunia usaha terbatas
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani secara terpisah menyampaikan, intervensi dunia usaha untuk membantu menahan lonjakan kemiskinan terbatas. Hampir semua sektor usaha tertekan karena tidak ada permintaan. Jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) 6,3 juta orang.
”Kondisi saat ini sangat sulit sehingga dunia usaha tidak bisa berbuat banyak. Kalau permintaan sudah kembali tumbuh, penyerapan tenaga kerja bisa kembali meningkat,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah mesti lebih serius menangani Covid-19 agar dunia usaha tidak semakin terpukul. Stimulus mestinya diarahkan untuk menumbuhkan daya beli masyarakat melalui bantuan langsung tunai. Regulasi pembatasan harus dilakukan secara terukur agar tidak semua aktivitas ekonomi terhambat.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 berkisar 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Angka kemiskinan itu sekitar 26,2 juta-27,5 juta orang atau ada tambahan 3,9 juta penduduk miskin pada tahun ini. Peningkatan kemiskinan dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 1 persen sampai dengan minus 0,4 persen.
Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat masyarakat rentan jatuh miskin. Penduduk pada kelompok rentan miskin memiliki peluang 55 persen menjadi kelompok miskin. Sementara, rata-rata peluang penduduk miskin menjadi miskin kronis 55 persen.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Pungky Sumadi menyampaikan, selain lewat bantuan sosial, pengentasan rakyat dari kemiskinan dilakukan melalui perbaikan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan skala ekonomi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kualitas sumber daya manusia ditingkatkan melalui kerja sama sekolah menengah kejuruan dengan dunia usaha. Pemerintah menyiapkan peta jalan reformasi sistem vokasi agar kualitas tenaga kerja sesuai kebutuhan industri.
Diharapkan, pasar tenaga kerja masa depan menggambarkan realitas kebutuhan industri.
Sementara, Menteri Sosial Juliari P Batubara mengatakan, pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial akan dilakukan mulai 2021. Ia mengakui, data terpadu kesejahteraan sosial tidak pernah diverifikasi dan divalidasi ulang sejak 2015. Verifikasi dan validasi data ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan Kemensos hanya mengonsolidasikan data.
”Harus diakui data tidak relevan lagi, tetapi data ini paling lengkap yang dimiliki Indonesia mencakup 40 persen penduduk termiskin dari total populasi,” kata Juliari dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu.
Pemerintah berencana melakukan pemutakhiran dan perluasan basis data terpadu kesejahteraan sosial dari 40 persen menjadi 60 persen penduduk. Data ini akan dipadangkan dengan data milik beberapa institusi, seperti Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.