BPK memberikan opini WTP terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019. Namun, risiko fiskal jangka panjang perlu diwaspadai, terutama pada tahun ini yang tantangannya lebih kompleks dari tahun lalu.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyoroti risiko fiskal jangka panjang akibat kenaikan rasio utang dan rasio defisit terhadap produk domestik bruto, serta keseimbangan primer. Kesinambungan fiskal perlu didukung peraturan untuk menjamin keberlanjutan dan konsistensinya.
BPK menyampaikan hal itu dalam laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2019. Laporan memuat hasil pemeriksaan laporan keuangan 87 kementerian/lembaga tahun 2019 yang disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
”BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas LKPP tahun 2019. Namun, penting untuk ditekankan bahwa dengan opini WTP tidak berarti bebas dari masalah,” kata Ketua BPK Agung Firman Sampurna.
BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas LKPP tahun 2019. Namun, penting untuk ditekankan bahwa dengan opini WTP tidak berarti bebas dari masalah.
LKPP yang telah diaudit oleh BPK mencakup tujuh komponen laporan keuangan, yaitu laporan realisasi anggaran, laporan perubahan saldo anggaran lebih, neraca, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
Dari hasil tinjauan BPK, pemerintah perlu memperhatikan risiko fiskal akibat tidak tercapainya rasio utang dan rasio defisit terhadap PDB, serta keseimbangan primer positif sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
RPJMN 2014-2019 menetapkan rasio utang terhadap PDB di bawah 30 persen dan terus menurun hingga 19 persen tahun 2019. Defisit anggaran di bawah 3 persen dan pada 2019 menjadi 1 persen PDB. Selain itu, keseimbangan primer diupayakan surplus sebelum tahun 2019.
Namun, Agung menilai, pemerintah belum sanggup memenuhi target dalam RPJMN 2014-2019 tersebut. Defisit anggaran tahun 2019 sebesar Rp 348,65 triliun atau 2,2 persen PDB, sementara posisi utang pemerintah terhadap PDB sebesar 30,23 persen. Keseimbangan primer masih negatif Rp 18,44 triliun pada 2019.
Pemerintah memang telah menyusun analisis kesinambungan fiskal jangka panjang yang mempertimbangkan berbagai skenario kebijakan yang akan diambil dan indikator yang dimonitor. ”Namun, kesinambungan fiskal masih perlu didukung peraturan untuk menjamin keberlanjutan dan konsistensinya,” ujar Agung.
Di tingkat daerah, hasil tinjauan BPK menunjukkan sebagian besar pemerintah daerah belum mandiri secara fiskal. Kemandirian fiskal daerah mencakup empat level penilaian, yaitu belum mandiri, mandiri, menuju mandiri, dan sangat mandiri. Dari 542 pemerintah daerah, hanya satu daerah yang mencapai level sangat mandiri, yaitu Kabupaten Badung, Bali.
”Hanya Kabupaten Badung yang 83,47 persen belanja daerahnya didanai oleh pendapatan asli daerah. Angka itu lebih tinggi dari Provinsi DKI Jakarta yang memiliki kapasitas fiskal terbesar di Indonesia sebesar 71 persen,” kata Agung.
Agung berpendapat, penilaian opini WTP di satu tahun bukan jaminan untuk mendapatkan opini yang sama pada tahun berikutnya. Terlebih, persoalan yang terjadi sepanjang tahun 2020 jauh lebih kompleks dari tahun lalu. Kompleksitas masalah selama 2020 baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun pertanggungjawaban akan jauh lebih sulit dari 2019.
Persoalan yang terjadi sepanjang tahun 2020 jauh lebih kompleks dari tahun lalu. Kompleksitas masalah selama 2020 baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun pertanggungjawaban akan jauh lebih sulit dari 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan menuturkan, ketidakpastian global sepanjang 2018 dan 2019 menekan perekonomian Indonesia, terutama akibat konflik dagang Amerika Serikat-China. Harapan perbaikan ekonomi yang diproyeksikan terjadi pada 2020 sirna akibat pandemi Covid-19.
Koreksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menyebabkan dilema pengambilan kebijakan makin pelik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diproyeksikan minus 0,4 persen sampai 1 persen. Jauh lebih rendah dari proyeksi awal 5,3 persen. Dalam situasi serba terbatas, respons kebijakan harus diarahkan untuk mencegah pemburukan lebih dalam.
”Pengambil kebijakan sering kali tidak dihadapkan pada kemewahan untuk mendesain kebijakan dalam situasi tenang,” katanya.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah akan tetap melakukan ekspansi fiskal untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Belanja negara akan naik cukup tinggi, sementara pendapatan negara menurun. Situasi ini akan meningkatkan rasio utang dari kisaran 30 persen menjadi 37-38 persen PDB.
Risiko kesinambungan fiskal juga pernah diungkapkan Bank Dunia. Dalam laporan belanja publik yang dirilis Juni lalu, Bank Dunia memperingatkan Indonesia akan mengalami pengetatan ruang fiskal pascapandemi Covid-19. Tanpa reformasi kebijakan yang signifikan, pendapatan negara akan merosot lebih rendah dari sebelum terjadi pandemi.
Pendapatan Indonesia pascapandemi berpotensi di bawah level 2018. Pendapatan yang rendah dipengaruhi tren pemulihan harga komoditas global yang diperkirakan berlangsung lambat serta kebijakan pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 20 persen pada 2023.
Ekonom senior Bank Dunia, Ralph van Doorn, menekankan, kebutuhan biaya penanganan Covid-19 tahun ini akan meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia secara signifikan mulai tahun 2021 dan seterusnya. Reformasi perpajakan sangat penting untuk membiayai belanja pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan pascapandemi Covid-19.