Pemahaman manfaat pajak bagi pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat perlu terus diperluas dan ditanamkan sejak dini. Di sisi lain, pemerintah juga harus menjaga kepercayaan masyarakat terkait pengelolaan pajak.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban membayar pajak harus dipahami sebagai kewajiban untuk berkontribusi bagi kesejahteraan dan pembangunan negara, bukan sebagai hukuman. Untuk itu, perlu pemahaman sejak dini terkait pentingnya membayar pajak.
Sebagai instrumen fiskal, pajak berperan penting dalam menjalin hubungan antara negara dan warganya. Sebab, negara membutuhkan pajak sebagai sumber keuangan untuk membangun bangsa dan menyejahterakan kehidupan masyarakat.
Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak merupakan kontributor utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak 2009, kontribusi penerimaan pajak di atas 70 persen dengan tren terus meningkat hingga mencapai sekitar 80 persen pada 2020.
Namun, rasio pajak Indonesia dinilai masih berkutat di kisaran 10-11 persen. Bahkan, semua jenis pajak pada 2019 tumbuh di bawah pertumbuhan 2018 sebesar 16 persen, berturut-turut PPh Pasal 21 (14,93 persen), PPh Badan (3,4 persen), pajak atas impor (minus 1,05 persen), dan PPN dalam negeri (minus 2,9 persen) (Kompas, 30 Juli 2019).
Direktur Jenderal Pajak Diretkorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyampaikan, keadaan ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk terus bertutur tentang pajak dalam konteks pemahaman, bukan hanya membayar. Pemahaman bagi seluruh masyarakat sejak dini tentang manfaat membayar pajak.
”Tujuannya, agar tidak hanya bagi yang sudah punya penghasilan tetapi bagi mereka yang nantinya akan mendapatkan penghasilan juga paham kenapa harus membayar pajak. Sebab, pajak ini, kan, dikumpulkan dan dibayarkan kepada negara untuk membiayai pembangunan dan aktivitas negara dalam rangka menyejahterakan masyarakat juga,” kata Suryo, Rabu (15/7/2020).
Paparan ini disampaikan dalam webinar pajak bertutur bertemakan ”Dengan Semangat Gotong Royong Generasi Muda Dukung Negeri Bangkit Bersama Pajak”. Acara yang diselenggarakan oleh Ditjen Pajak dihadiri pula oleh ekonom dan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Muhammad Chatib Basri; Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Fadjar Hutomo; dan Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hendarman.
Muhammad Chatib Basri menilai, tema bangkit bersama pajak dengan semangat gotong royong sangatlah relevan dengan keadaan saat ini. Sebab, sebagai masyarakat kita membutuhkan barang-barang publik yang tidak bisa dimiliki secara pribadi.
”Sebagai contoh, kita, kan, enggak membayar secara langsung petugas keamanan, lampu jalan, dan jalan umum yang kita gunakan dalam keseharian kita. Tetapi secara tidak langsung, kita membayarnya melalui pajak untuk menikmati barang publik itu,” kata Chatib.
Memang, kata Chatib, ada kutipan yang mengatakan, denda adalah pajak karena melakukan suatu kesalahan, sementara pajak adalah denda karena kita melakukan sesuatu yang benar. Pemikiran ini yang terkadang membuat orang sulit mengerti konsep pajak.
Padahal, kalau dilihat lebih jauh logika berpikirnya, pajak dibayar oleh orang yang melakukan hal yang benar. ”Kalau kalian enggak melakukan yang benar, kalian enggak bayar pajak,” ujarnya.
Aktivitas ekonomi
Chatib menjelaskan, pajak berfungsi bukan sekadar untuk mengumpulkan uang masyarakat, melainkan untuk menggerakkan ekonomi. Salah satunya untuk redistribusi dari mereka yang memiliki pendapatan tinggi bagi kelompok miskin dalam bentuk bantuan sosial agar memiliki daya beli.
Untuk itu, koersi dan fungsi pelayanan harus berjalan beriringan agar masyarakat memahami untuk apa uangnya digunakan. Kepercayaan dari masyarakat pun menjadi hal penting bagi pemerintah dalam mengelola pajak yang sudah dibayarkan.
Fadjar Hutomo mengatakan, meski sektor pariwisata sangat terpuruk akibat pandemi Covid-19, untuk sektor ekonomi kreatif diharapkan dapat tetap tumbuh, antara lain kuliner, aplikasi dan pengembang gim, suvernir dan kerajinan tangan, desain interior, fotografi, musik, serta penerbitan.
Para pelaku usaha, kata Fadjar, diharapkan dapat taat membayar pajak. Sebab, pajak akan sangat bermanfaat di era digital yang disebut dengan kredibilitas digital ketika nantinya mau mengajukan kredit atau pinjaman.
”Saya percaya dengan kita taat pajak itu secara tidak langsung membentuk kredibilitas perusahaan. Dengan begitu, akan lebih memudahkan catatan perkembangan usaha kepada lembaga keuangan,” kata Fadjar.
Tugas bersama
Suryo menyampaikan, pada 2020, disusun nota kesepahaman dengan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Agama agar materi inklusi kesadaran pajak dapat dimasukkan ke unit pendidikan di bawahnya. Strategi besar pada 2020 hingga 2024 akan mengarah pada memperluas program inklusi kesadaran pajak pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, baik formal maupun informal.
Selain itu, strategi besar pada 2020 hingga 2024 juga melibatkan 32 kantor wilayah Ditjen Pajak, 279 perguruan tinggi, dan 7.732 sukarelawan pajak. Mereka akan terlibat tidak hanya dalam program asistensi penyampaian SPT Tahunan, tetapi akan ikut dalam program Business Development Service.
Hendarman menyampaikan, proses bertutur mengenai pentingnya pajak menjadi tanggung jawab bagi kita semua. Tidak hanya petugas pajak, tetapi setiap masyarakat dapat berkolaborasi dan menjadi agen perubahan.
Kesadaran membayar pajak membutuhkan proses dan konsistensi dalam pendampingan sampai mereka mengerti. Sampai akhirnya, mereka bisa mengajak orang lain juga untuk membayar pajak.
”Kami mengusulkan adanya gerakan di kalangan anak muda, ’keren kalau bayar pajak’. Gerakan ini diharapkan menjadi perbincangan yang menyadarkan anak muda untuk membayar pajak,” kata Hendarman.