Sebuah surat permohonan penghapusan Baduy sebagai obyek wisata kepada Presiden Joko Widodo menggegerkan masyarakat. Ada apa dengan Baduy?
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
Pertengahan April 2020, Heru Nugroho (57) mencoba mengasingkan diri dari hiruk-pikuk Jakarta dan pandemi Covid-19 dengan pergi ke Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Pelarian itu biasa ia lakukan sejak belasan tahun lalu. Selain karena memiliki rumah istirahat di Baduy Luar, ada warga Baduy Dalam yang telah dianggap sebagai keluarga keduanya.
Pada suatu kesempatan, ia dan dua rekannya bertandang ke Cikeusik, satu dari tiga kampung masyarakat adat Baduy Dalam. Di sana, ia berjumpa dengan pemimpin adat (puun) Cikeusik, Alim sebagai (pimpinan adat) Jaro Tangtu Cikeusik dan Saidi sebagai Tanggungan Jaro 12.
Dalam suasana akrab, mereka menikmati sepinya kampung tersebut dari wisatawan karena pembatasan sosial. ”Jaro Alim mencetus, ’Jadi deh wisata dihapus. Pak Saidi minta deh urusin’. Saya bilang, ’kita kirim ke Presiden aja, kalau ke Pak Saija (Jaro urusan administrasi pemerintahan) enggak beres-beres’,” kata Heru, mengulang pembicaraannya dengan tetua Baduy Dalam saat dihubungi Kompas, Senin (13/7/2020).
Proses mendengarkan dan mendiskusikan aspirasi pun terjadi. Pria yang dikenal sebagai praktisi internet dan Wakil Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) itu lantas mencari jalan agar aspirasi warga Baduy Dalam, yang juga menjadi perhatiannya, sampai ke telinga Presiden.
Heru dengan bantuan tiga rekannya, Henri Nurcahyo, Anton Nugroho, dan Fajar Yugaswara, membantu membuat surat perihal permohonan perlindungan pelestarian tatanan nilai Adat Baduy. Dalam surat, mereka menyebut diri sebagai pihak yang diberi mandat oleh tetua Lembaga Adat Baduy untuk menyampaikan sejumlah permohonan kepada Presiden Joko Widodo.
Surat tertanggal 6 Juli 2020 itu sebelumnya ia diskusikan kembali dengan pimpinan Baduy Dalam. Tiga perwakilan Lembaga Adat Masyarakat Baduy pun meninggalkan cap jari sebagai tanda setuju. Tiga orang itu adalah Saidi selaku penanggung jawab adat, Aja sebagai Jaro Dangka Cipati, dan Madali sebagai Pusat Jaro 7.
Keresahan
Surat yang sudah dikirimkan ke Presiden itu menyoroti beberapa persoalan, seperti tereksposnya gambar-gambar wilayah Baduy Dalam di Google Maps, sementara pengambilan gambar di tanah ulayat dilarang aturan adat.
Wisatawan yang menarik pedagang dari luar untuk masuk telah memicu banyaknya sampah puntung rokok hingga plastik. Tak ketinggalan, sikap dan perilaku wisatawan dalam menghargai alam, warga, dan aturan adat Baduy Dalam.
Berdasarkan keresahan tersebut, dalam surat, Presiden dan perangkat birokrasi terkait dimohon agar menghapus wilayah adat Baduy dari peta obyek wisata Indonesia. Pemerintah juga diharapkan melindungi wilayah adat Baduy tidak dipublikasikan dalam bentuk visual.
Inisiatif Heru dan kawan-kawan kemudian ramai dipublikasikan media. Kabar itu pun menimbulkan perhatian dan keresahan masyarakat, tidak terkecuali dari masyarakat Baduy Dalam yang dikenal tidak menyukai konflik.
Pada 10 Juli 2020, Lembaga Adat Baduy pun mengadakan musyawarah besar. Hasil musyawarah itu kemudian dipublikasikan Dinas Pariwisata Lebak dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Minggu, 12 Juli 2020.
Beberapa poin dicatat, seperti meminta pertanggungjawaban Heru Nugroho yang dinilai telah menimbulkan kegaduhan. Selain itu, ditegaskan bahwa urusan yang akan dibawa ke luar wilayah Baduy menjadi tugas Jaro pemerintahan, yaitu Saija.
Di luar masalah komunikasi tersebut, Lembaga Adat Baduy juga menyepakati kunjungan warga luar Baduy tetap diperbolehkan guna menjalin tali silaturahmi. Keputusan itu diikuti permintaan agar istilah ”wisata”, yang disematkan bersama kata Baduy dalam nomenklatur pemerintahan dan publikasi media diganti dengan ”saba”. Dalam bahasa Sunda, saba berarti silaturahmi.
”Konotasi wisata, menurut kami, adalah tontonan, hiburan, dan juga pengembangan. Sementara, adat budaya Baduy adalah tuntunan untuk saling menghargai dan menjaga satu sama lainnya, baik itu dengan Pencipta, manusia dan alam semesta,” demikian pernyataan Lembaga Adat Baduy yang dikutip di rilis.
Hasil musyawarah tersebut pun didukung berbagai pihak yang mengadakan forum pertemuan bersama Lembaga Adat Baduy, pada keesokan harinya. Forum itu turut dihadiri pihak Kecamatan Leuwidamar, Dinas Pariwisata Lebak, Dinas Pariwisata Banten, akademisi, aktivis, hingga pegiat dan pemerhati budaya Baduy.
”Mereka semua sepakat bahwa poin-poin yang disampaikan akan segera dilaksanakan dan ditindaklanjuti,” kata Kepala Dinas Pariwisata Lebak Imam Rismahayadin.
Ramainya aktivitas kunjungan orang luar ke Baduy Dalam terjadi setelah dibukanya perkampungan Ciboloeger, Desa Bojongmenteng, sebagai gerbang masuk wisatawan pada tahun 1992 (Kompas, 13/10/2004).
Sejak saat itu, Baduy Dalam dikunjungi ratusan orang setiap hari. Sepanjang tahun 2019, Dinas Pariwisata Lebak mencatat, Baduy menerima kunjungan 42.174 wisatawan domestik dan 54 wisatawan mancanegara atau rata-rata 115 kunjungan per hari.
Wilayah Baduy terdaftar sebagai satu dari Tujuh Keajaiban Banten (7 Wonders of Banten) bersama Kesultanan Banten, Tanjung Lesung, Sawarna, Anyer-Carita, Cisadane, dan Ujung Kulon.
Secara jarak, perkampungan Baduy hanya sekitar 38 kilometer dari kota Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Dari ibu kota Provinsi Banten, Serang, jaraknya sekitar 80 kilometer. Dari Jakarta, jaraknya diperkirakan 130 kilometer.
Menurut data Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Banten, kunjungan wisatawan tersebar di tiga obyek, yaitu Baduy Luar, Baduy Dalam, dan acara Seba Baduy. Wisatawan yang berkunjung sebagian besar berusia 35-44 tahun.
Data Asita juga mencatat tujuan wisatawan datang ke Baduy. Tujuan terbanyak adalah mengetahui dan memperdalam kebudayaan daerah Banten dan ingin mendapatkan petualangan baru dan berguna. Disusul, tujuan menghilangkan stres dan kepenatan.
Baduy menjadi unik karena pemerintah tidak mengintervensi tatanan adat budaya mereka. Pemerintah hanya memfasilitasi promosi, aksesibilitas, dan pelatihan sumber daya manusia.
”Wisata adat Baduy pun tidak masuk ke dalam target pendapatan asli daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten Lebak,” kata Imam.
Sayangnya, aktivitas wisata sulit membendung degradasi sosial, kultur, dan lingkungan di Baduy. Pariwisata menimbulkan permasalahan sampah plastik makanan dan perubahan perilaku masyarakat di Baduy, termasuk Baduy Dalam (Kompas, 13/10/2004).
Kondisi ini menjadi ironi, mengingat warga Baduy Dalam sangat menjaga alam dan tradisi mereka. Masyarakat agraris tersebut selalu mematuhi adat dengan tidak melanggar berbagai pantangan, seperti menggunakan peralatan elektronik, menumpang kendaraan, dan mengenakan alas kaki.
Warga Baduy tak pernah melanggar batas hutan untuk membuat rumah atau ladang. Kepatuhan mereka terhadap adat istiadat membuat hutan lestari hingga kini. Pedoman mereka adalah wasiat buyut yang dititipkan nenek moyang (Kompas, 17/5/2017).
Perlindungan
Pakar kebudayaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof Dr Ayatrohaedi, dalam Kompas (13/10/2004), pernah mengomentari fenomena masyarakat Baduy Dalam yang meninggalkan adat mereka untuk hidup di luar.
Menurut dia, fenomena degradasi tersebut menunjukkan bahwa pola hidup yang diyakini masyarakat adat tidak dilindungi oleh pemerintah. Di sisi lain, pelanggaran adat yang dilakukan bisa terjadi karena pengetatan adat tidak diimbangi dengan pelaksanaan adat yang baik.
”Konservasi masyarakat Indian di Amerika adalah contoh bagus,” kata Ayatrohaedi. Masyarakat Indian sangat terbuka terhadap pengunjung, tetapi tetap bangga menjadi Indian karena pemerintah memberi jaminan perlindungan bagi pola hidup mereka.
Terkait inisiatif ekstrem untuk mengajukan perlindungan kepada Presiden, Heru Nugroho juga mengaku ingin pemerintah melindungi masyarakat Baduy seperti Pemerintah Amerika Serikat melindungi komunitas Amish dengan konstitusi setara undang-undang.
Sementara itu, kehidupan masyarakat Baduy hanya diatur dalam Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Tatar Kanekes (Baduy). Aturan itu dinilai tidak cukup kuat untuk menjaga tataran adat Baduy.
”Saya ingin Baduy dilihat sebagai hal yang besar,” ujarnya. Pendapat itu didasarkan pada tua dan sederhananya peradaban di Baduy Dalam. Peradaban yang menurut dia tidak ditemui di banyak tempat di dunia itu diharapkan bisa dilindungi aturan yang lebih tinggi.
Dengan melihat fakta Baduy saat ini, Heru khawatir kelestarian tatanan adat dan masyarakat Baduy Dalam akan luruh. Bukan hanya pariwisata, ekonomi modern serta digitalisasi yang mengubah perilaku manusia luar bisa semakin kuat merasuk dan merusak kesederhanaan peradaban Baduy.